Warisan Utang, Tradisi Kotor Ala Rezim Penganut Demokrasi-Kapitalis

Indonesia, lagi-lagi cengkeraman utang yang terus menggunung menghantui seakan menjadi hal biasa bagi negara penganut sistem demokrasi-kapitalis ini. Ditambah lagi wabah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 hingga sekarang Juni 2021 bukan tidak mungkin semakin memporakporandakan perekonomian negara dan ikut menjadi alasan semakin naiknya utang negara berkali-kali lipat untuk menanganinya. 


Selain itu, penyebab utama bertambahnya utang akibat defisit anggaran yang diterapkan oleh pemerintah yang lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan.  Dikutip dari GELORA.CO, “Kementerian keuangan mencatat utang negara kini mencapai Rp 6.527,29 triliun. Dan utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi Covid-19 Hingga April 2021.” Angka ini akan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengingat keadaan perekonomian negara yang tak kunjung stabil dan cenderung melemah. 


J Rachbini dari INDEF (Institut for Development of Economics and Finance), mengatakan bahwa utang badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal dalam membayar utang yaitu mencapai Rp2.143 triliun. Tentu saja ini bukan angka yang sedikit. Menurutnya pemerintahan Jokowi bukan tidak mungkin akan mewariskan utang sebesar 10.000 triliun kepada kepemimpinan berikutnya. 


Keadaan ekonomi pemerintah yang dari tahun ke tahun semakin terseok tentu sangat sulit untuk melunasi utang yang terus bertambah dengan angka yang cukup fantastis dari waktu ke waktu. Itu baru utang pokok, belum ditambah bunga utang yang tentu saja terus meroket naik yang pada akhirnya negara hanya akan terhimpit bunga utang dan untuk membayar bunganya saja negara harus berutang lagi. Begitu terus yang entah sampai kapan akan berakhir. 


Perlu dipahami berutang dalam sistem kapitalis seperti yang dianut oleh Indonesia dengan menerapkan riba (bunga) pada akhirnya menjadi alat penjajahan bagi negara-negara kapitalis kepada negara-negara yang berkembang seperti Indonesia. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menjadi beban yang tidak semestinya generasi pendatang menanggungnya. Misalnya saja pemerintah dengan kebijakannya akan melakukan penekanan pengeluaran seperti menekan atau menghapus subsidi untuk rakyat dan menambah pemasukan dengan menaikkan pajak dari segala lini. 


Jika berkaca pada kondisi dan jumlah utang Indonesia yang terus meroket naik dan pembangunan negara hanya bertopang pada utang luar negeri bukan tidak mungkin cepat atau lambat kekuatan dan kestabilan negara menjadi rapuh dan ambruk. Bagaimana tidak, dalam berutang dan memberikan utang pun tentu saja ada kesepakatan yang harus disetujui oleh kedua belah pihak no free lunch. Dalam hal ini bisa saja negara pemberi utang meminta imbalan berupa dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara yang berdasarkan keinginan dan kemauana pemilik modal. Pada akhirnya negara pengutang menjadi tidak memiliki wibawa dan berada dalam cengkeraman negara-negara pemberi utang. 


Selain itu, jika negara sibuk mengejar pembangunan dari modal utang luar negeri, bukan tidak mungkin negara hanya seperti penyewa dalam rumahnya sendiri. Hal ini berangkat dari skema utang Indonesia yang terus bertambah dan diperkirakan Indonesia tidak akan mampu untuk terbebas dari jebakan utang sampai kapan pun. Inilah Rakyat pun akan mendapatkan warisan utang. Warisan utang merupakan tradisi kotor ala rezim penganut demokrasi-kapitalis.


Hal di atas tentu akan berbeda cerita jika negara diatur dengan sistem Islam yang orientasinya adalah kemaslahatan umat (bukan keuntungan para pemilik modal). Negara dalam pangkuan sistem Islam yang menerapkan hukum syara’ secara totalitas hanya akan sibuk melayani urusan umat mulai dari kebutuhan  pokok, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Setiap anggaran untuk menopang itu semua diambil dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara dengan sebaik mungkin sesuai dengan aturan Islam dan bukan sebaliknya menjual atau menyerahkan kepada swasta atau asing. 


Indonesia sebagai sebuah negara yang dikaruniai berbagai sumber daya alam (tambang, minyak bumi, gas, hutan dan air) dalam jumlah yang sangat besar bahkan menduduki peringkat sepuluh di dunia harusnya bisa menjadi negara yang makmur dan sejahtera jika dikelola dengan aturan yang baik dan benar yaitu sesuai dengan sistem Islam dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah. 


Selain itu dalam daulah Islam terdapat baitul mal sebagai isntitusi khusus yang mengelola dan mengalokasikan sumber pendapatan negara lainnya seperti berasal dari gahnimah, fa’i, kharaj, Jizyah, khumus, rikaz dan lainnya yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat (bukan untuk segelintir penguasa atau pemilk modal) apalagi dikuasai oleh asing.[] 


Oleh Jubaidah Yusuf

(Aktivis Dakwah, Guru)


Posting Komentar

0 Komentar