Mencegah dan Berantas Korupsi Cukupkah Dengan ‘KPK’?



Dilansir dari laman berita (kabar24.bisnis.com, 27/09/2021) bahwa ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK (GASAK) melakukan unjuk rasa di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Unjuk rasa tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 57 pegawai KPK yang diberhentikan dengan hormat karena tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Seperti diberitakan sebelumnya, BEM SI dan GASAK melayangkan surat kepada Presiden Jokowi yang berisi permintaan agar mengangkat puluhan pegawai KPK yang tak lolos TWK menjadi  Aparatur Sipil Negara (ASN). Berikut sejumlah tuntutan BEM SI dan GASAK dalam aksi unjuk rasa hari ini:

Mendesak Ketua KPK untuk mencabut SK 652 dan SK Pimpinan KPK tentang pemberhentian 57 pegawai KPK yang dikeluarkan pada tanggal 13 September yang disebabkan oleh TWK yang cacat formil secara substansi mengandung rasisme, terindikasi pelecehan, dan mengganggu hak privasi dalam beragama.

Mendesak Presiden untuk bertanggung jawab dalam kasus upaya pelemahan KPK dengan mengangkat 57 pegawai KPK menjadi ASN.

Menuntut ketua KPK Firli Bahuri untuk mundur dari jabatannya karena telah gagal menjaga integritas dan marwah KPK dalam pemberantasan korupsi.
Mendesak KPK agar menjaga marwah dan semangat pemberantasan korupsi.
Menuntut KPK agar segera menyelesaikan permasalahan korupsi seperti kasus bansos, BLBI, benih lobster, suap ditjen pajak, kasus suap Harun Masiku, dsb.

Melihat poin-poin tuntutan yang diajukan tersebut semakin memperjelas bagaimana kondisi KPK saat ini, sebagai lembaga yang sedari awal didirikan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Harapan yang disematkan rakyat kepada lembaga anti rasuah ini begitu besar. Meskipun sebetulnya dalam perjalanan riwayat pemberantasan korupsinya keefektifan dari lembaga ini masih perlu dikritisi, disebabkan tidak semua kasus korupsi kelas kakap mampu ‘dipegang’ oleh KPK.

Lihat saja kasus korupsi KTP Elektronik, BLBI, Bank Century, Rekening Gendut oknum Polri, dan masih banyak lagi kasus-kasus korupsi kelas kakap yang seolah menguap begitu saja. Sehingga patut dipertanyakan apakah betul lembaga anti rasuah ini akan mampu menghapus dan menghilangkan korupsi di Indonesia yang sudah demikian mengakar? Yang terjadi sekarang justru KPK menjadi bulan-bulanan permainan dalam sistem batil yang telah menguasai negeri ini.

Tentunya pemecatan para pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan tersebut menjadi salah satu indikasi bahwa KPK tidak lagi ideal, sehingga tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga inipun semakin menurun. Ditambah lagi sebelumnya KPK tidak pernah tuntas mengusut dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang ada. Meskipun dikatakan oleh Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas menilai bahwa merosotnya tingkat kepercayaan publik pada KPK merupakan hal yang wajar. Feri menduga kemerosotan itu terjadi karena beberapa faktor, “Akibat Undang-Undang KPK yang baru yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 dan upaya alih status pegawai KPK dan berbagai problematika yang menyentuh pimpinan KPK.” (Kompas.com, Senin, 27/9/2021).

Alih-alih adanya KPK sebagai lembaga pencegah dan pemberantas korupsi mampu mengurai benang kusut yang ada, justru semakin membuat kusut dan ricuh negeri ini dengan segala macam peristiwa yang menyertainya. Hal inilah yang menjadikan Zainal Arifin Mochtar menggaungkan usul untuk membubarkan KPK saat ini, lalu membentuk lembaga anti rasuah yang baru. Menurut Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) ini, KPK dengan UU KPK yang baru ini sudah sekarat, hanya berdenyut karena peran satu dua orang yang masih konsisten memberantas korupsi. (Kabar24.bisnis.com, 20/4/2021).

Semangat mencegah dan menghapus korupsi tidaklah cukup hanya dengan mendirikan sebuah lembaga pemberantas korupsi. Mempercayakan pemberantasan korupsi oleh sebuah lembaga di dalam sebuah sistem yang telah dikuasai oleh segelintir elit kelompok adalah sebuah fatamorgana. Berapapun banyaknya lembaga tersebut dibuat dan diisi dengan orang-orang yang dianggap memiliki integritas tetap tidak akan cukup. Karena lagi-lagi dengan sistem yang ada, membuat para sekelompok elit tadi bisa dengan mudahnya membuat dan merubah undang-undang yang ada, tentunya sesuai dengan kepentingan kelompoknya.

Sudah demikian banyak ketidakadilan dan kezaliman yang dipertontonkan di negeri ini, yang semestinya dapat membuka mata kita bahwa perbaikan yang tidak mendasar hanya akan melahirkan kesia-siaan. Kecurangan demi kecurangan, intrik, dan permainan kepentingan seakan menjadi sebuah hal yang tidak akan pernah hilang dalam sebuah sistem yang hanya mementingkan cuan, jabatan dan kekuasaan. Sehingga hal apapun akan dilakukan demi memuluskan jalan yang akan mereka tempuh termasuk membuat lumpuh atau memandulkan lembaga yang digadang-gadang mampu memberantas korupsi hingga ke akarnya.

Semua itu tentu tidak lepas dari asas hukum yang dipakai oleh negeri ini, yaitu hukum yang berasaskan sekuler kapitalis. Hukum yang jauh dari nilai-nilai agama dan juga jauh dari tuntunan Ilahi. Hukum buatan manusia yang sarat akan kepentingan pribadi dan kelompoknya, dan pastinya akan jauh dari nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan bagi semua rakyat.

Sejatinya, diharapkan tuntutan dan aksi mahasiswa tersebut tidak lagi sebatas menginginkan keadilan bagi pegawai KPK yang dipecat saja dan juga pada poin-poin yang telah dilayangkan tersebut. Tetapi lebih dari itu, yaitu menginginkan pemimpin yang ada pada saat ini sebagai seorang muslim untuk bisa menerapkan hukum Syara’ secara menyeluruh dan sempurna sehingga tidak hanya keadilan yang akan didapat bagi pegawai KPK tersebut tetapi juga keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun, pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya sebatas angan dan mimpi belaka. Tetapi akan terwujud dengan sebenar-benarnya. []

Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh Anjar ummu Nouman

Posting Komentar

0 Komentar