Dunia internasional riuh. Arab Saudi yang selama ini menjadi representasi kaum muslimin dunia dalam hal penerapan syariat Islam yang ketat, kini mempertontonkan yang sebaliknya. Ratusan ribu permuda pemudi Arab campur baur berjoget dengan antusias tertangkap mata dunia dalam sebuah konser musik akbar Festival Riyadh Season yang dibuka 20 Oktober 2021 lalu. Bahkan kabarnya, festival ini akan digelar selama 5 bulan kedepan, hingga Maret 2022, dengan menghadirkan puluhan konser musik dan beragam pertunjukkan lainnya.
Selama ini, Arab dan budaya Arab sering dijadikan alat untuk men-stigma kelompok tertentu sebagai kelompok Islam radikal, garis keras, ektrimis atau istilah serupa lainnya. Yang mengenakan cadar atau memanjangkan jenggot diserang dengan sebutan ke-arab-araban. Yang menginginkan penerapan syariat Islam di pojokkan dengan seruan “pergi sana ke Arab!”
Faktanya, syariat Islam tak lagi dipegang erat, bahkan semakin kendur atau memang sengaja dilonggarkan. Diawali dari tahun 2017 perempuan Arab mulai diijinkan mengemudi dan keluar tanpa pendamping (mahram), yang sebelumnya dilarang. Tahun 2018, Raja Salman mengijinkan bioskop beroperasi setelah 35 tahun kebijakan ini tak diberlakukan. Tahun 2019 boyband Korea BTS juga diundang tampil menghibur para muda mudi.
Dan hari ini, tahun 2021 pertama kali dalam sejarah, ajang Miss Universe digelar di negeri Arab sejak 70 tahun kontes kecantikan ini diselenggarakan di berbagai negara di dunia. Tak hanya itu, dunia juga dihebohkan dengan dibukanya pantai yang membebaskan wanita mengenakan bikini, bercampur bersama pria, berdansa menikmati musik barat dan merokok shisha.
Bagaimana jika kemudian muncul standar ganda, apa yang dilakukan Arab Saudi dijadikan dalil pembenaran yang kemudian boleh diikuti sebagai konsekuensi modernisasi?. Apakah modern identik dengan gegap gempita pesta? Hura-hura melupakan pahala dan dosa. Maka jika tanpa pesta manusia menjadi terbelakang dan hina?
Inilah bahayanya saat manusia salah menentukan konsep dalam memandang hidup dan kehidupan. Berbuat sekehendak hati tanpa peduli azab dan siksa adalah turunan dari konsep sekulerisme. Yaitu memisahkan agama yang membahas pahala dan dosa, dengan kehidupan yang mencakup seluruh perbuatan manusia. Maka kemudian perbuatan berkumpulnya pria wanita, berjoget bersama, menikmati pesta musik, bebas mengumbar aurat dan lain-lain dianggap biasa, selama masih menjalankan shalat dan puasa.
Sekulerisme perlahan namun pasti cukup efektif menggerogoti aqidah umat, kemudian merusak tatanan syariat dalam lingkup masyarakat hingga negara. Keimanan dan ketaqwaan individu semakin melemah karena diberikan begitu banyak kebebasan dalam banyak hal.
Kekuatan amar ma’ruf nahi mungkar masyarakat sebagai kontrol sosial tak lagi berjalan. Tak ada lagi yang peduli saat melihat kemaksiatan atau kezaliman karena tidak menimpa dirinya atau merasa bukan urusannya.
Hingga puncaknya negara turut andil melanggengkan sekulerisme melalui kebijakan-kebijakannya yang tak lagi bersumber dari Alquran dan Assunnah. Tetapi justru berkompromi dengan negeri-negeri kafir demi melanggengkan kepentingan para penguasanya yang terjebak nafsu dunia.
Sebagaimana diberitakan negara ini mengalami perubahan di bawah putra mahkota dan penguasa de facto, Mohammed bin Salman (MBS), yang berkuasa pada 2017. Ia sibuk mendiversifikasi sumber pendapatan negara. Negeri itu, tengah fokus membangun pariwisata untuk mencapai target menjadi salah satu pilar ekonomi di masa yang akan datang. Pariwisata akan menjadi penyokong PDB kedua setelah minyak. (cnbcindonesia.com, 23/10/2021).
Inilah dampak dari meninggalkan Islam sebagai satu-satunya pandangan hidup. Motif ekonomi mampu menyingkirkan aturan dari Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan, Allah SWT. Padahal Islam punya aturan bagaimana mengelola pendapatan, mulai dari rumah tangga hingga negara. Potensi kekayaan akan tetap diperoleh maksimal tanpa harus melanggar hukum syara’.
Masihkah stigma ke-arab-araban tersebut relevan? Faktanya justru terlihat semakin kebarat-baratan. Arab adalah negeri istimewa yang Allah pilih sebagai tempat diturunkannya syariat Islam yang mulia. Namun Arab belum tentu Islam. Dan menjadi muslimpun bukan berarti terlihat kearab-araban. Individu, kelompok bahkan negara bukanlah rujukan. Seorang mukmin hanya akan mengambil Alquran dan Assunah sebagai tolok ukur kebenaran.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar