Kegaduhan kembali terjadi mengiringi munculnya permenaker RI No. 2 Tahun 2022 ini. Pasalnya dalam permen ini tertuang syarat dan tata cara pencairan 100% dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dilakukan pada usia 56 tahun. Padahal dalam peraturan sebelumnya, JHT ini bisa dicairkan segera setelah pekerja berhenti bekerja, baik karena PHK maupun alasan lainnya.
Kebijakan pembayaran JHT ini dianggap mencederai nilai kemanusiaan dan mengabaikan kondisi masyarakat saat ini, terutama ketika pandemi berlangsung dimana banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). Semestinya pembayaran JHT ini tak perlu "ditahan-tahan" oleh pemerintah karena JHT merupakan iuran yang dibayar pekerja selama mereka bekerja.
Sedangkan pihak pemerintah menganggap penangguhan pembayaran JHT ini bisa dilakukan karena akan segera diluncurkan program JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan). Para pekerja bisa memanfaatkan fasilitas ini karena dalam peraturan barunya pun JKP diikutkan bersama pesangon, sehingga dapat menjadi bantalan sementara bagi masyarakat yang terkena PHK.
Menilik polemik ini, setidaknya ada empat hal yang perlu dikritisi. Yang pertama, dari sisi kepemilikan uang tersebut. JHT adalah iuran yang dibayarkan dari potongan gaji pekerja. Gaji pekerja yang sudah kecil itu faktanya masih harus dipotong untuk bermacam-macam jaminan. Memang ada pula subsidi dari perusahaan tempat bekerja dan dari kas pemerintah, namun jumlahnya sangat kecil.
Jadi JHT ini sejatinya adalah uang pekerja, bukan uang milik pemerintah. Karenanya sebenarnya tak ada alasan bagi pemerintah untuk menahan dana tersebut ketika diminta oleh pemiliknya kapan saja, tanpa harus menunggu usia 56 tahun. Menahan dan menunda pencairan dana saat diminta kembali oleh pemiliknya adalah sebuah kedzaliman.
Kedua, istilah jaminan sebetulnya tidaklah tepat. Sebab jika disebut jaminan seharusnya sumber dana berasal dari pihak penjamin, yakni negara. Faktanya tidak demikian. Yang lebih tepat adalah pekerja menabung dari uang hasil upahnya sendiri untuk menjamin kehidupan di hari tuanya. Karenanya sebenarnya pemerintah tak memiliki hak untuk menangguhkan pencairan dana ini.
Sistem jaminan model seperti ini lazim terjadi dalam sistem kapitalis. Sebab, dalam sistem kapitalis dana yang terkumpul itu akan diputar dengan cara diinvestasikan sehingga menghasilkan keuntungan. BPJS Ketenagakerjaan telah melaporkan total dana program JHT ini mencapai Rp 375,5 triliun pada 2021 atau naik sekitar 10,2 persen dari tahun sebelumnya.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo merinci, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada obligasi dan surat berharga di mana 92 persen di antaranya merupakan surat utang negara. Sebagian besar dana tersebut ditempatkan surat utang negara (SUN) untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kemudian, 15 persen dana ditempatkan pada deposito yang 97 persennya berada pada Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Selanjutnya, 12,5 persen ditaruh pada saham yang didominasi pada saham blue chip, yang termasuk dalam indeks LQ45. Lalu, 7 persen diinvestasikan pada reksa dana di mana reksa dana tersebut berisi saham-saham blue chip yang juga masuk dalam LQ45 (wartakota.Tribunnews.com, 18/02/2022).
Dari skema ini jelas pemerintah memiliki kepentingan dalam pengaturan pencairan dana JHT ini. Sebab jika dilakukan penarikan massal dari JHT oleh kaum pekerja ini akan mempengaruhi stabilitas keuangan negara.
Ketiga, melihat skema yang digunakan pemerintah dalam memutar dana yang begitu besar ini, wajar jika muncul banyak dugaan. Ada yang menduga dana yang besar itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur, untuk proyek IKN dan untuk proyek-proyek ambisius lainnya. Apalagi dengan kondisi hutang negara yang cukup besar dan disinyalir pemerintah kesulitan untuk mendapatkan hutang baru. Intinya kebijakan terkait JHT di tengah pandemi mengisyaratkan adanya keterbatasan likuiditas pemerintah.
Keempat, sistem kapitalis yang diterapkan saat ini memang tak pernah memberikan jaminan hari tua bagi kaum pekerja. Sebab dalam pandangan kapitalis, setiap orang harus diberi kebebasan berekonomi untuk menghasilkan uang. Sedangkan negara hanya berposisi sebagai regulator. Penerapan sistem ini pada gilirannya akan menyebabkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Ketika pemilik modal menduduki posisi kekuasaan, maka berbagai upaya bisa dilakukan untuk kian memperkaya diri atas nama rakyat. Karenanya berbagai UU dan kebijakan bisa dibuat untuk tujuan ini tanpa sedikitpun memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah salah satu contoh yang nyata untuk perkara ini. Bisa jadi pula permenaker ini pun sedang menuju ke arah sana.
Kesimpulannya, penangguhan JHT ini adalah sebuah kedzaliman yang muncul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sedang sistem kapitalis sendiri telah di prediksi saat ini sudah berada dalam kondisi yang amat sangat rapuh. Tinggal menunggu beberapa saat untuk ambruknya sistem buatan manusia ini. Lantas mengapa kita masih bertahan dengan sistem rapuh ini?
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar