Jakarta selalu jadi "magnet" bagi berita dan kabar negeri ini, tidak terkecuali gelaran pilkadanya. Aneka manuver semua paslon cagub dan cawagub untuk menarik konstituen mulai dilakukan. Tiga paslon di antaranya Ridwan Kamil-Suswono yang diusung KIM Plus, Pramono Anung-Rano Karno yang diusung oleh PDIP dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana oleh calon independen.
Beberapa manuver dilakukan, salah satunya oleh paslon Ridwan Kamil-Suswono. Paslon ini direspon kurang mengenakkan berupa penolakan warga Jakarta. Ketika mereka sedang berkunjung, dalam kerumunan di jalan menuju ke lokasi makam Mbah Priok Jakarta Utara, ramai teriakan warga mengatakan, "Turun! Turun! Anies... Anies... Priok bukan rumah ente, pulang! pulang!" ucap warga dalam video tersebut dilansir detikNews, Kamis (5/9/2024).
Begitu juga dengan respon Jakmania yang meminta agar RK (Ridwan Kamil) kunjungi Persija terlebih dahulu sebelum merangkul Jakmania. Menyikapi semua itu, RK menyampaikan bahwa itu adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Jadi, wajar saja kalau ada yang menolak atau menerima.
Sementara Pramono Anung mengklaim bahwa tim Anies-Ahok merapat kepadanya juga. Dia sempat akan mengusung Anies Baswedan beberapa waktu yang lalu tapi batal. PDIP masih menyadari kekuatan Anies untuk meraup suara Jakarta. Pramono menyampaikan sudah berkomunikasi dengan tim Anies maupun tim Ahok dan mereka banyak sekali akan mendukung pencalonannya. Begitulah aneka manuver dilakukan untuk memperoleh simpati dan opini di masyarakat Jakarta.
Hal berbeda dilakukan oleh paslon dari jalur independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang lebih pasrah dengan kondisinya yang tanpa manuver karena minimnya dana. Bahkan paslon ini tidak membentuk tim pemenangan khusus, pasangan ini menegaskan tidak punya uang melimpah, termasuk untuk blusukan. Dharma menegaskan dirinya adalah calon gubernur independen, bukan diusung partai politik (parpol) mana pun. Oleh karena itu, ia meminta warga DKI Jakarta untuk sukarela mengampanyekan dirinya dan Kun (CNNIndonesia.com, 2/9/2024).
Satu kondisi yang sangat berbeda dengan dua paslon yang diusung parpol yang habis-habisan membentuk tim pemenangan. Sementara khusus di tim independen hanya berharap aspirasi masyarakat saja. Kondisi ini menjadi wajar jika kemunculannya hanya sekadar jadi "penggembira". Sebagaimana statement yang cukup menggelitik diungkapkan oleh peneliti Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati ketika ditemui di Jakarta, Selasa (13/7/2024) bahwa paslon independen ini sengaja dimunculkan agar Pilkada Jakarta terlihat tetap demokratis tanpa ada kotak kosong. (Perludem.org, 14/8/2024). Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Yang jelas ketika pilkada serentak ini dilakukan tidak lama setelah pilpres, akan sangat mudah memetakan kekuatan dan prediksi kemenangan itu akan masuk ke mana. Banyak analisis melihat ini adalah salah satu upaya melanggengkan pengaruh dan kekuasaan bagi rezim yang berkuasa yang menginginkan cengkramannya tidak hanya di pemerintah pusat saja tapi juga di daerah. Hal yang sangat mudah ketika koalisi gemuk KIM Plus yang diusung 12 parpol. Sementara satu paslon hanya didukung satu parpol saja, termasuk munculnya harapan gubernur provinsi seharusnya tidak akan berseberangan dengan kepentingan presiden terpilih. Sehingga beberapa waktu yang lalu ramai jegal-menjegal bacagub Jakarta seperti yang dialami Anies Baswedan.
Hakekat Melanggengkan Kekuasaan dalam Demokrasi adalah Satu Hal yang Niscaya
Secara fitrah, manusia memiliki naluri mempertahankan diri (gharizah baqa') yang salah satu manifestasinya adalah mempertahankan apa yang dimilikinya atau mempertahankan kekuasaannya. Dalam demokrasi sebagai aturan yang muncul dari akal manusia, hal itu pasti akan terjadi. Karena manusia berkuasa, sehingga apa pun akan dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya tidak peduli itu akan menyalahi aturan yang berlaku.
Bahkan kalau diperlukan aturannya yang diubah, toh hukum buatan manusia tidak pasti tergantung yang berkuasa. Siapa yang berkuasa dia lah yang menang (survival of the fittest). Terlebih jika kekuasaan itu menjadikannya sejahtera maka sedapat mungkin kesejahteraan itu tidak boleh hilang, harus dijaga bahkan dipertahankan. Bentuknya bisa dengan dinasti politik atau nepotisme bagi penguasa. Sedangkan bagi penyandang dana (oligarki) adalah dengan menyokong dengan dana bagi siapa saja yang mampu menjaga kepentingannya tetap berjalan, bisa dalam bentuk kemudahan proyek baru atau lainnya.
Simbiosis Mutualisme antara Penguasa dan Pengusaha dalam Demokrasi adalah Hal Biasa
Biaya politik yang mahal tentu membutuhkan dana besar dalam pelaksanaannya dan pemasoknya adalah pengusaha yang punya dana. Kompensasi setelah itu adalah kemudahan proyeknya karena pengusaha butuh lahan untuk bisnisnya bisa dalam bentuk policy atau penyediaan lahan secara langsung. Jadi, siapa pun bakal calon yang diusung dan dari parpol mana pun dalam demokrasi intinya sama saja, yang bermain hanya elit kekuasaan dan oligarkinya. Jargon klasik demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat bergeser menjadi dari oligarki, oleh oligarki, dan untuk oligarki.
Hal yang berbeda dengan Islam, karena kekuasaan dalam Islam adalah melakukan mandat dari Allah Swt. untuk manusia sebagai Khalifah di muka bumi dengan menerapkan aturan Allah Swt. secara totalitas dalam kehidupan manusia. Khalifah di dalam Islam harus sebagai pengurus urusan rakyatnya bukan mensejahterakan diri sendiri. Biaya politik yang murah termasuk memilih orang yang bertakwa, amanah, dan takut hanya kepada Allah Swt. dalam mengurusi segala urusan dan kebutuhan rakyatnya sangat mudah didapatkan dalam Islam.
Dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR al-Bukhari)
Maka, akankah tetap mempertahankan sistem politik demokrasi yang absurd ini atau menggantinya dengan sistem Islam, semua ada dalam pilihan kita. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]Hanin Syahidah
0 Komentar