Mengenal Duck Syndrome Masyarakat Kelas Menengah

   



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Istilah duck syndrome (sindrom bebek) tampaknya kian santer terdengar di kalangan masyarakat terutama para Gen Z dan milenial. Disebutkan dalam banyak sumber bahwa fenomena ini mencerminkan kondisi masyarakat negeri yang berusaha “mati-matian” mempertahankan citra sempurna sekalipun pada kenyataannya harus berjuang keras secara ekonomi. Kondisi ini kemudian dikaitkan erat dengan kondisi mental health masyarakat dan berpotensi menimbulkan stres kronis, burnout, gangguan kecemasan, hingga depresi.  


Istilah duck syndrome pada awalnya populer di kalangan mahasiswa Universitas Stanford, USA. Para mahasiswa menganalogikan kondisi masyarakat terkini dengan seekor bebek yang tampak tenang mengapung di permukaan air tetapi pada kenyataannya kaki bebek harus terus mengayuh keras tanpa henti guna menjaga keseimbangan. Cara bebek bergerak di air semacam ini kemudian dijadikan gambaran tatkala seseorang tampak “tenang” di luar tetapi di dalam dirinya penuh kecemasan, tekanan, dan kelelahan. Lebih jauh “duck syndrome” dinilai sebagai potret buram kelas menengah Indonesia yang senantiasa mendapat tekanan sosial-ekonomi. 


Fenomena sindrom bebek sesungguhnya ‘wajar’ saja terjadi di negeri ini mengingat biaya hidup yang makin melonjak tajam, persaingan yang kian ketat hingga beratnya tuntutan gaya hidup modern. Tidak dapat dipungkiri memang, biaya hidup kian hari kian tinggi saja. Di Jakarta misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai konsumsi rata-rata per rumah tangga sebesar Rp14,88 juta/bulan di tahun 2022. Angka tersebut meningkat Rp1,43 juta/bulan dari periode pencatatan sebelumnya di tahun 2018 (mediaindonesia.com, 12/12/2024). Padahal Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta di tahun 2025 hanya sebesar Rp5.396.760. Dari sini terlihat jelas adanya ketimpangan antara nilai UMP Jakarta, yang seringnya justru tidak dicapai oleh kebanyakan masyarakat ibu kota, dengan kisaran pendapatan untuk hidup layak ala BPS yang hampir menembus angka Rp15 juta.  


Biaya hidup masyarakat yang sudah sangat berat kian diperparah dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025. Meski pemerintah berulang kali memastikan pembebasan biaya PPN untuk kebutuhan pokok, tetap saja kebijakan tersebut berdampak pada naiknya biaya hidup masyarakat khususnya di wilayah Jakarta. Kenaikan upah minimum yang hanya berkisar 3-4% per tahun dinilai tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang kian beragam dan serba mahal. Parahnya lagi situasi ini diperburuk dengan maraknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. 


Di sisi lain, persaingan yang tidak sehat di lingkungan pekerja dan akademis menjadi faktor maraknya fenomena duck syndrome. Kehidupan kapitalis yang serba materialistis menjadikan masyarakat menilai keberhasilan dari sisi materi semata. Seorang pelajar dianggap “berhasil” tatkala mendapat nilai baik atau bahkan sempurna di sekolah tanpa melihat bagaimana nilai tersebut dicapai. Begitu pula di dunia pekerja, keberhasilan diukur dari berapa banyak uang yang dihasilkan tanpa memerdulikan apakah harta tersebut diraih secara halal atau dengan cara korupsi.  


Persaingan yang tidak adil di masyarakat juga diperparah dengan adanya persaingan global seiring dengan makin terbukanya pasar ekonomi global. Produk hasil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tidak jarang justru harus saling 'adu jotos' dengan produk impor yang harganya tidak masuk akal. Celakanya, serbuan pekerja asing kian terasa di negeri ini seiring dengan kian banyaknya proyek asing berdalih investasi masuk ke Indonesia. 


Sindrom bebek juga terjadi karena tuntutan gaya hidup hedonis yang kian terjadi di kehidupan kapitalisme sekuler. Secara kasat mata, banyak masyarakat golongan kelas menengah tampak hidup berkecukupan dengan memiliki rumah, kendaraan hingga gaya hidup konsumtif. Namun pada kenyataannya, mereka senantiasa dibayang-bayangi oleh cicilan yang kian membengkak. Dengan gaya hidup kekinian yang kian mahal, masyarakat terjebak dalam pusaran utang ribawi hanya untuk tetap terlihat sukses dan berhasil. Maka wajar jika kemudian porsi besar pendapatan mereka diperuntukkan menutupi utang cicilan yang tiada habisnya dan bahkan terkadang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Alhasil, tidak sedikit masyarakat kelas menengah yang terjerumus dalam jebakan pinjol dan judol sebagai upaya tambal sulam mereka dalam menutupi utang. 


Parahnya, kehidupan serba digital saat ini justru kian memicu timbulnya fenomena duck syndrome di masyarakat. Aneka platform media sosial semacam Facebook, X, Instagram dan Tiktok didesain untuk senantiasa menampilkan “versi terbaik” pengguna bukan keadaan mereka sesungguhnya. Kita bisa melihat bagaimana para influencer kerap mempertontonkan prestasi, pencapaian hingga gaya hidup flexing dengan proses edit “habis-habisan”. Dunia digital kemudian memberi peluang munculnya ilusi “kehidupan sempurna” tanpa menunjukkan perjuangan di baliknya. Kondisi ini menciptakan tekanan psikologis baik bagi para influencer maupun penonton untuk terus menjaga citra tanpa mengukur kemampuan diri. 


Hal tersebut menyebabkan tidak sedikit anggota masyarakat yang tergerak untuk menjadikan gaya hidup influencer pujaannya sebagai standar kebahagiaan. Tidak jarang kondisi ini “memaksa” masyarakat untuk melakukan segala cara demi meraih citra yang diinginkan. Sebut saja tren sewa iPhone yang marak terjadi jelang lebaran lalu menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat ingin terlihat “sukses” dengan memiliki iPhone pada momen Lebaran (kompas.com, 27/03/2025). Kian hari kondisi semacam ini kian menjebak masyarakat pada gaya hidup konsumtif khas kapitalis yang sejatinya membuat mereka tidak pernah merasa puas akan pencapaian dunia. 


Gaya hidup khas kapitalis yang serba hedonis dan materialistis secara nyata menjatuhkan masyarakat negeri ini ke dalam jurang kehancuran. Terlebih dengan mudahnya akses utang ribawi membuat umat terus-menerus terbiasa dengan gaya hidup konsumtif. Kehidupan merusak ala kapitalis semacam inilah yang membinasakan manusia termasuk dengan merebaknya sindrom bebek di antara mereka. Padahal sejatinya dunia ini hanya sementara dan sebatas tempat menabung bekal amal untuk kehidupan abadi kelak. Allah Swt. berfirman, "Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS al-Hadid: 20). Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar