Agar Takada Lagi “Walid” di Antara Kita




#Remaja — Baca berita, nonton reel di berbagai kanal sosmed, bahkan di BC-an (broadcast) pesan WA takada yang tak bicara tentang hal berbau seksual. Mulai dari gaul bebas, hingga yang ada unsur pemaksaan atau penipuan dengan label kekerasan seksual. Naudzubillahimindzalik.



Untuk kekerasan seksual saat ini ikonnya bukan lagi Agus B*****g dari Bali, tapi sudah beralih ke Walid. Tokoh fiksi dalam sebuah film dari negeri jiran dengan ungkapan viral “Walid nak Dewi, boleh?” Ucapan yang disebut me-manipulasi korban untuk memuaskan hawa nafsunya.



Ternyata, laki-laki spek Walid di dunia nyata juga banyak, Sobi. Beritanya pasti fyp juga di medsos kalian. Pelakunya bukan orang-orang sembarangan. Ada guru besar, ada pula dokter sedang pendidikan jadi dokter spesialis, ada juga dokter yang sudah jadi spesialis. Semuanya orang-orang berpendidikan tinggi. Mau tidak percaya, tapi itulah faktanya.




Kenapa sih kok Begitu?



Orang pintar berpendidikan tinggi berlaku nista, lho kok bisa? Ya bisa aja, Dul. Jangan lupa, kalau kita hidup dalam arahan sekularisme (paham yang menganut pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi pelindung liberalisme (paham kebebasan). Sekularisme mengajarkan bahwa agama itu tidak penting, bahkan mungkin musuh jika sudah menyangkut kehidupan di luar ibadah dan dalam pengelolaan negara. Karena agama dianggap sesuatu yang bisa menghilangkan kebebasan manusia.




Akibat memakai sekularisme sebagai asas kehidupan, dalam proses pendidikan mata pelajaran agama tidak menjadi prioritas untuk diajarkan kepada peserta didik. Mereka hanya dididik untuk menjadi pintar agar punya kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan uang, tapi karakter berupa pola pikir dan pola sikapnya tidak dibangun. Hasilnya orang pintar tapi keblinger. Manusia yang derajatnya lebih rendah dari binatang. 




Sebab, pada faktanya, agama itu adalah pengendali perilaku manusia yang paling kuat. Dengan agama manusia diajari untuk takut pada Zat yang Maha Agung dan berharap keridaan-Nya. Hingga manusia akan senantiasa menyesuaikan perbuatannya dengan aturan-aturan agama. Tidak berlaku bebas mengikuti hawa nafsunya. Inilah yang akan menjadi rem bagi manusia untuk berperilaku nista.



Sementara dalam sekularisme yang menjaga liberalisme, perilaku manusia tidak akan ada stoppernya (yang memberhentikan). Mereka memang membuat undang-undang bahkan ada perundang-undangan tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar, tapi semua produk hukum itu tidak berdaya berhadapan dengan hawa nafsu manusia. Karena sekularisme sudah menyiapkan exit policy-nya, yaitu demokrasi. Dalam demokrasi asalkan wakil rakyat sepakat, UUD saja bisa diamandemen (diubah) sesuai keinginan manusia. Semua itu sah secara hukum demokrasi.



Sekularisme ini memang berbahaya. Kehidupan masyarakat yang menerapkan ide ini bukanlah masyarakat yang sehat. Mereka menjadi masyarakat yang acuh ketika terjadi perilaku menyimpang. Takada budaya saling mengingatkan, bahkan cenderung tidak saling peduli. Hasilnya, manusia makin tenggelam dalam kemaksiatan yang kian hari kian mengerikan.



Negara berasaskan sekularisme juga sama. Akan abai dalam menjaga perilaku rakyatnya. Negara malah menjadi penjaga hakiki dari perilaku bebas ini. Sepanjang tidak ada yang protes dan dianggap menguntungkan. Maka, tidak heran kalau industri pornografi dan pornoaksi yang bisa memicu perilaku asusila dan kekerasan seksual tetap marak. Negara pun tidak memberi sanksi yang proper bagi para pelaku kemaksiatan ini.



Jika tiga pilar dalam bermasyarakat sudah sakit digerogoti virus sekularisme seperti ini, lalu apa yang bisa kita harapkan lagi?




Jadi Mesti Gimana?



Simpel saja, tinggalkan sekularisme dan berbagai paham yang dijaganya, termasuk liberalisme. Nah, kalau sudah ditinggalkan jangan salah kita menentukan pilihan bagi asas penggantinya. Jangan sampai kita malah dipalingkan kepada komunisme yang tak berTuhan (Atheisme). Hasilnya akan sama saja. Sekularisme yang masih ngasih ruang agama dalam secuil dimensi kehidupan saja hasilnya begitu, apalagi paham yang mengabaikan adanya Tuhan sama sekali.



Beralihlah pada Islam. Islam kafah yang menjadi asas dan tata aturan dalam negara, masyarakat, an individu. Karena hanya Islam yang senantiasa membawa agama dalam setiap aspek kehidupan. Hanya Islam yang membawa keimanan dalam semua aktivitas manusia. Hanya Islam pula yang mengatakan bahwa manusia wajib terikat dengan aturan-aturan Tuhannya. Hanya dalam Islam, hawa nafsu manusia diperintahkan tunduk pada kehendak Tuhan Pencipta manusia yang pasti tahu segala hal yang terbaik bagi ciptaan-Nya.



Dalam Islam bukan hanya harus beriman dan beramal shalih saja. Allah Swt. memerintahkan juga untuk senantiasa bersegera untuk melakukan ketaatan. Jangan nunda-nunda. Jangan pakai nanti. Justru harus berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surah al-Imran: 133, Allah Subhanahuwataala berfirman:



وَسَا رِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَ رْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ 



"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa."



Pemahaman ini akan diemban oleh individu, masyarakat, dan negara. Individu akan senantiasa menjaga diri dari kemaksiatan, masyarakat pun akan senantiasa saling mengingatkan dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, lalu negara pun akan menerapkan aturan sesuai syariat Islam dan memberi sanksi sesuai dengan syariat Islam pada pelaku kemaksiatan. 



Insya Allah, jika semua ini terwujud, tidak akan ada lagi laki-laki atau wanita sekalipun yang berspek Walid lagi.[]





Rini Sarah











Posting Komentar

0 Komentar