Ilusi Kapitalisme Mewujudkan Keluarga Bahagia



#Bogor — Memiliki keluarga yang bahagia dan sejahtera menjadi impian bagi setiap individu masyarakat. Pasalnya, keluarga menjadi tempat ternyaman bagi setiap anggota keluarga untuk tumbuh, berkembang, dan belajar bersama membangun visi keluarga yang didambakan dengan kasih sayang dan kebersamaan. Hancurnya keluarga otomatis akan menghancurkan generasi yang lahir dari keluarga tersebut.


Berdasarkan data Sistem Peringatan Dini Pengendalian Penduduk (Siperindu), skor indeks kebahagiaan keluarga di Kota Hujan Bogor mengalami peningkatan, sebelumnya 53 naik mencapai 63. Peningkatan ini menunjukkan bahwa keluarga di kota Bogor sedang menuju kearah yang lebih berkualitas. Dengan indikator tercapainya interaksi keluarga dan sosial dalam satu keluarga serta kondisi keluarga yang penuh kasih sayang dalm menerima kondisi keluarga dan lingkungan (pikiranrakyat.com, 23/05/2025).


Indeks kebahagiaan keluarga pada umumnya diukur melalui survei dari sejumlah pertanyaan sebagai ukuran kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup anggota keluarga. Indeks ini juga bisa mengukur interaksi antar anggota keluarga, pengasuhan bersama, rekreasi, dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pendapatan keluarga dan kondisi rumah juga menjadi indikitor lain untuk mengukur indeks kebahagiaan keluarga. 


Dikutip dari laman resmi Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Jawa Barat, di tahun 2024 ada kasus 6.291 kasus perceraian di Kota Bogor menunjukkan data angka perceraian yang tinggi di Jawa Barat. Di awal tahun 2025, terjadi peningkatan kasus perceraian sebanyak 222 kasus berdasarkan data dari pengadilan agama. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Bogor, ada lebih dari 66 ribu orang warga kota bogor termasuk kategori miskin ekstrem. Ada lima ribu lebih lulusan sarjana di kota Bogor menganggur. Ada 14.000 rumah yang tidak layak huni di tahun 2019 dan baru diperbaiki sebanyak 481 unit hingga tahun 2025.


Fakta di atas bertolak belakang dengan survei adanya peningkatan indeks kebahagian keluarga di Kota Bogor. Bagaimana mungkin keluarga bisa bahagia apabila tidak memiliki sumber mata pencaharian, maraknya perceraian karena faktor ekonomi dan banyaknya masyarakat tinggal di rumah yang tidak layak huni? Survei ini tidak sesuai dengan realitas kondisi masyarakat di Kota Bogor. Karena kenyataan begitu banyak masyarakat di Kota Hujan hidup di bawah garis kemiskinan atau dengan kata lain jauh dari sejahtera.


Tidak dimungkiri standar kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh pemahaman ideologi yang diyakini. Dalam ideologi kapitalisme sekuler dan ideologi komunis sosialis memandang kebahagiaan dengan standar materi semata. Sehingga mereka menghabiskan hidupnya untuk mengejar harta dengan  menghalalkan segala cara. Kemiskinan ekstrem yang dirasakan oleh rakyat adalah buah kerakusan mereka untuk mengumpulkan harta yang banyak. Alhasil, kemiskinan berkolerasi positif dengan meningkatnya angka perceraian dan pengangguran diakibatkan sistem kapitalisme sekuler yang merampas hak milik rakyat demi meraih kebahagiaan semu ala mereka. 


Berbeda halnya dengan Islam, dalam memandang kebahagiaan bukanlah terletak pada banyaknya harta, melainkan yang menjadi standar kebahagiaan adalah mendapatkan rida Allah Swt.. Dengan menjadikan harta sebagai wasilah untuk mendapatkan rida dari pencipta-Nya. Islam pun memberi seperangkat aturan kepada kaum muslim untuk mendapatkan rida Allah. Sehingga setiap aktivitas kehidupan selalu ditujukan untuk mendapatkan rida dari-Nya.


Termasuk dalam mencari harta dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam, misalnya dengan bekerja, berdagang, dan lain sebagainya. Di sisi lain, negara menerapkan aturan Islam kafah di seluruh lini kehidupan dan memprioritaskan kepentingan rakyat agar setiap individu rakyat bisa hidup makmur dan sejahtera. Dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk memudahkan setiap individu khususnya laki-laki, untuk menafkahi keluarganya dengan cara yang layak.


Maka tidak akan kita temui rakyat yang miskin, pengangguran, hidup di rumah yang tidak layak dan maraknya perceraian, tatkala negara hadir menjadi pelayan untuk mengurusi dan menyelesaikan persoalan yang hadir di tengah-tengah rakyat. Antara penguasa dan rakyat sama-sama menginginkan keridaan Allah Swt., sehingga akan terlihat interaksi yang ada di tengah masyarakat dalam suasana keimanan dan ketakwaan serta penuh kebahagiaan.


Masyarakat yang stres dan mengalami mental illness itu hanya ada dalam sistem kehidupan kapitalisme sekuler. Alih-alih memberi kebahagiaan, justru kehadirannya menjadi malapetaka dalam kehidupan manusia. Sedangkan masyarakat dalam sistem Islam (Khilafah) adalah masyarakat yang senantiasa memandang kehidupan sebagai wasilah mengumpulkan bekal untuk kembali kepada Rabbnya.  Selalu senantiasa beramal untuk mendapatkan rida-Nya dan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.[]




Posting Komentar

0 Komentar