Lagi! Ujian Nasional Berganti Menjadi Tes Kemampuan Akademik

 



Karina Fitriani Fatimah


#TelaahUtama — Ketok palu! Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) secara resmi menjadikan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai program evaluasi belajar menggantikan skema Ujian Nasional (UN). Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah No. 9/2025 mengenai TKA. Seperti halnya UN, TKA menjadi alat ukur pencapaian akademik anak didik di akhir jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun berbeda dengan UN, TKA bersifat tidak wajib dan tidak menjadi standar kelulusan.


Serupa tapi tak sama, ujian akhir yang kini disebut TKA tidak lagi menyematkan istilah ‘ujian’. Staf ahli bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen, Biyanto, menyebut penghapusan istilah ‘ujian’ dilakukan karena memberi kesan traumatik (detik.com, 25/02/2025). Kesan horror tersebut muncul lantaran sebelumnya kata tersebut berhubungan erat dengan lulus tidaknya para peserta didik. Ke depannya untuk murid kelas 12 SMA/SMK, TKA digunakan sebagai indikator penilaian jalur prestasi masuk kampus negeri. Sedangkan jenjang lebih rendah yakni SD dan SMP, TKA hanya sebatas indikator kesiapan siswa memasuki jenjang lebih tinggi dan tidak menjadi standar kelulusan.


Gonta-ganti sistem pendidikan sebagaimana pemberlakuan TKA bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini. Sepanjang sejarahnya skema ujian nasional telah enam kali mengalami pergantian nama dan akhirnya resmi dihapuskan di tahun 2021 lalu (antaranews.com, 25/10/2024). Awalnya, skema ujian akhir diberi nama Ujian Penghabisan (1950–1964), kemudian diganti menjadi Ujian Negara (1965–1971), Ujian Sekolah (1972–1979), Ebta dan Ebtanas (1980–2002), Ujian Akhir Nasional (2003–2004), Ujian Nasional (2005–2013) dan terakhir menjadi Ujian Nasional Berbasis Komputer (2014–2021). Sedangkan sejak 2021 hingga tahun ini UN dihapus dan digantikan oleh Asesmen Nasional yang tidak dijadikan standar kelulusan. 


Cukup seringnya pergantian skema ujian akhir bersama dengan pergantian kurikulum pendidikan membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Kondisi ini terkesan transaksional karena berkaitan erat dengan momen pergantian menteri atau presiden. Padahal baik kurikulum pendidikan maupun skema ujian akhir berperan penting dalam memandu jalannya sistem pembelajaran bagi seluruh generasi muda negeri ini.


Pergantian dalam sistem pendidikan yang katanya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern saat ini tidak hanya memberi peluang tetapi juga menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan program pendidikan. Perubahan yang katanya dimaksudkan untuk merangkul dinamika global tidak jarang membuat bingung, tidak hanya untuk peserta didik tetapi juga para pendidik. Mau tidak mau seluruh komponen lembaga pendidikan harus siap beradaptasi dengan segala perubahan yang ditimbulkan.


Hal mendasar yang sesungguhnya perlu dikritisi dalam perubahan sistem pendidikan negeri ini adalah konsistensinya dalam menerapkan sistem pendidikan kapitalisme-sekuler. Baik kurikulum maupun sistem ujian akhir yang kerap berganti senantiasa diberlakukan menyesuaikan kebutuhan pasar global dan tuntutan industri. Dari sini adalah hal yang wajar jika kita menyebut pergantian rumusan pendidikan dilakukan karena ‘latah’ akan ritme revolusi industri semata.


Sejauh ini output pendidikan yang dijadikan parameter keberhasilan sistem pendidikan hanya terfokus pada kemampuan kognitif (numerasi, literasi, dan saintek) peserta didik. Output sistem pendidikan dirancang menghasilkan calon pekerja bukan para ahli ilmu. Sistem pendidikan Indonesia yang merujuk pada sistem pendidikan ala kapitalisme-sekuler lebih fokus pada penguasaan skill pekerja dan bukan untuk mencetak para generasi ilmu yang beradab dan berakhlak mulia. Hal ini tampak jelas dari bagaimana pendidikan Islam senantiasa dianaktirikan dalam sistem pendidikan negeri ini dan tidak menjadi asas. Bahkan dalam lembaga pendidikan Islam sekalipun, pendalaman Islam tidak jarang hanya berkutat pada program tahfiz Al-Qur'an atau pembiasaan ibadah mahdhah semacam salat wajib dan sunah, zakat, saum serta haji.


Sistem pendidikan kapitalisme-sekuler hanya fokus mencetak anak-anak pintar tetapi minim iman dan takwa. Paham sekuler yang memang mengklaim agama sebagai penghambat kemajuan kemudian membatasi ruang gerak Islam dalam sistem pembelajaran. Walhasil, keluaran pendidikan yang dihasilkan adalah para peserta didik berkarakter sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar kehidupannya. Sistem antiagama semacam ini membentuk karakter para anak didik yang kental dengan nilai-nilai moderat.


Sistem pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai moderat dan toleransi ala kapitalisme-sekuler secara nyata telah mengaburkan fondasi akidah. Penanaman iman dan takwa yang seharusnya menjadi kunci pendidikan justru diposisikan sebatas hapalan yang hanya dinilai benar salahnya di kertas ujian. Dari sini bukanlah hal yang aneh jika maraknya kejahatan remaja seperti kasus perundungan, perzinahan, narkoba hingga tawuran dan pembegalan masih mencoreng nama baik pendidikan negeri ini.


Ironisnya, kebobrokan sistem pendidikan saat ini kian dikukuhkan dengan penerapan sistem kehidupan kapitalisme-sekuler di seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali. Sistem kapitalisme-sekuler membentuk masyarakat materialistis nan hedonis yang menilai segala sesuatu dari kacamata untung-rugi, bukan halal-haram. Sistem kehidupan kapitalisme-sekuler juga secara nyata mengeksploitasi manusia dengan menjadikannya sebatas komoditas ekonomi yang harus menunjang kebutuhan pasar global. Di sisi lain, sistem kehidupan merusak semacam ini secara pasti menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dengan dalih kebebasan beragama dan berperilaku. Padahal penerapan sistem busuk kapitalisme-sekuler justru menjadi jalan penjajahan Barat menguasai negeri-negeri Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar