#Editorial- Terkuaknya grup fanspage Fantasi Sedarah yang beranggotakan lebih dari 32 ribu orang cukup mengentak naluri kemanusiaan dan akal sehat kita. Bagaimana bisa ada segerombolan manusia yang bukan sekadar memiliki orientasi seksual menyimpang, tetapi juga berani membincangkan soal hobi menjijikkan, yakni memenuhi hasrat seksual kepada keluarga sedarah (inses), bahkan kepada balita yang menjadi darah dagingnya.
Terbongkarnya fenomena ini menyusul kasus penangkapan pelaku pengiriman paket mayat bayi melalui jasa ojek online di Kota Medan. Pelakunya ternyata dua kakak beradik yang melakukan hubungan inses dan berakibat kehamilan tidak diinginkan.
Robohnya Bangunan Keluarga
Mirisnya, bukan hanya grup-grup inses yang ditemukan di media sosial. Marak juga grup-grup amoral lainnya, mulai grup-grup pedofilia, eljibiti, hingga grup-grup swinger, yakni para peminat fantasi seksual yang dilakukan suami istri dengan cara saling bertukar pasangan.
Terkait grup pedofilia, misalnya, beberapa tahun lalu sempat terungkap jaringan Official Loly Candy’s 18+ yang merupakan grup Facebook penyebar konten pedofilia. Grup ini konon dibentuk pada September 2016 dan saat itu sudah beranggotakan sejumlah ribuan orang. Meski grup ini ditutup, tetapi bukan berarti para predator anak itu otomatis hilang. Faktanya, kasus child grooming dan pornografi anak masih saja bermunculan hingga sekarang, yang berarti kelompok pedofil ini masih jadi ancaman.
Adapun terkait swinger, pada Januari 2025, heboh penemuan web yang beranggotakan lebih dari 17.732 orang. Mereka diketahui sudah melakukan aktivitas pesta seks selama setahun dalam 10 kali gelaran di wilayah Bali hingga Jakarta. Keberadaan mereka terungkap saat inisiatornya menyebar undangan pesta seks dan menjual video swinger party tanpa sepengetahuan para pesertanya.
Adapun untuk komunitas eljibiti juga tidak kalah mengerikan. Pergerakan mereka justru lebih masif dan kian terorganisasi. Tidak heran jika jejaringnya merambah sampai ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Di antara mereka ada yang berhimpun di berbagai platform media sosial, mulai dari Facebook hingga grup-grup WhatsApp dan Telegram. Mereka yang terlibat berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga para eksekutif dan intelektual.
—
Berbagai perilaku amoral seperti itu sebetulnya bukan hal yang baru berkembang di Indonesia. Ibarat fenomena gunung es, apa yang tersembunyi dipastikan jauh lebih parah dan lebih besar. Mereka yang berhimpun di dunia maya dipastikan hanya sebagian kecil dari mereka yang berkeliaran di dunia nyata. Jejaring mereka, pelan nan pasti, menyelusup memengaruhi ruang kehidupan masyarakat hingga nyaris dianggap sebagai sebuah “budaya yang normal”.
Terkuaknya grouping para penikmat inses tadi, menyusul penemuan grup-grup amoral lainnya di dunia maya, sejatinya tengah merefleksi apa yang terjadi di dunia nyata. Degradasi moral yang sedang terjadi di masyarakat kita sudah sedemikian parahnya. Semua ini akhirnya berdampak pada hilangnya fungsi keluarga, bahkan menghancurkan bangunannya.
Betapa tidak, keluarga dalam pandangan mereka sudah benar-benar kehilangan makna. Relasi mulia antara anak dan orang tua, makna silaturahmi alias persaudaraan antara adik dan kakak, juga antarkerabat dengan kerabat lainnya, serta perjanjian teguh antara suami dan istrinya, terkikis sudah oleh dorongan syahwat dan fantasi liar yang kian tidak bisa dikendalikan. Begitu pun dengan fitrah kelaki-lakian dan keperempuanan yang sejatinya Allah ciptakan untuk melestarikan eksistensi manusia, makin lama makin hilang akibat hilangnya nalar oleh gaya kehidupan liar.
Jika semua ini dibiarkan, apa yang akan tersisa pada masa depan? Bukan hanya keluarga yang ada di ambang kehancuran, melainkan bangunan masyarakat, negara, bahkan peradaban manusia akan runtuh digantikan peradaban binatang yang hidup tanpa aturan.
Negara Tanpa Daya
Maraknya kerusakan moral yang merobohkan sendi-sendi bangunan keluarga dan masyarakat ini sejatinya bukan problem tunggal. Berkelindan banyak faktor penyebab yang mengerucut pada satu persoalan, yakni jauhnya bangsa ini dari tuntunan wahyu (syariat Islam).
Sebagaimana diketahui, sejak terbebas dari penjajahan fisik dan militer, bangsa ini terus digempur oleh serangan pemikiran dan budaya sekuler yang menjadikan kebebasan (liberalisme) sebagai ruh-nya. Serangan inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan ruhul-jihad, hingga penjajahan Barat, baik secara politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan yang lainnya berlangsung tanpa perlawanan yang berarti.
Itulah sebabnya, meski penjajah sudah hengkang dari bumi Nusantara, sistem kehidupan buatan mereka tetap saja bercokol mengatur peri kehidupan kita. Identitas sebagai umat Islam pun tidak tampak dalam perilaku mereka. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah berubah menjadi bangsa mandiri merdeka, melainkan tetap menjadi pengekor bagi negara-negara pengusung sistem kufur kapitalisme global, bahkan menjadi objek hegemoninya.
Dalam kungkungan sistem rusak ini, negara dan pemimpinnya kehilangan power dan peran untuk mengurus dan menjaga rakyatnya. Negara dalam sistem ini memang di-setting hanya berfungsi sebagai pelayan bagi kepentingan modal dan juga kepentingan negara-negara besar. Negara pun membatasi agama dan moral menjadi ranah individual. Sedangkan dalam urusan publik kemasyarakatan, negara mengharamkan campur tangan agama karena dipandang tidak sesuai dengan spirit kemajuan.
Semua itu termanifestasi dalam berbagai aturan dan kebijakan yang diterapkan negara. Sistem politiknya begitu sarat dengan intrik dan sikap hipokrit. Sistem ekonominya begitu zalim dan eksploitatif. Sistem sosialnya begitu bebas dan serba permisif. Sistem hukumnya begitu mandul mencegah kerusakan dan sangat diskriminatif. Sistem hankamnya pun begitu lemah dan mudah diintervensi. Sementara itu, sistem pendidikannya begitu sarat kapitalisasi sekaligus minus dari nilai-nilai agama dan akhlak yang terpuji.
Wajar jika kehidupan bangsa ini makin jauh dari nilai-nilai kebaikan. Semua serba kacau, termasuk dalam urusan moral. Individu dan keluarga bertakwa pun benar-benar menjadi barang langka dan istimewa. Berbagai perilaku rusak dan merusak menjadi hal biasa dan cenderung dibiarkan oleh negara.
Lebih dari itu, situasi penuh krisis seperti ini sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia. Semuanya nyaris merata terjadi di negeri-negeri muslim lainnya. Itu akibat jauh dari aturan Allah Taala, sebagaimana yang Dia firmankan dalam Al-Qur’an, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).
Khalifah Hadir sebagai Pengurus dan Penjaga
Tentu saja kehidupan serba sempit seperti ini sejatinya bukan habitat asli bagi kaum muslim. Saat belasan abad mereka hidup dalam sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, mereka justru tampil sebagai khairu ummah dengan peradabannya yang begitu mulia dan mencengangkan bagi bangsa-bangsa lainnya.
Betapa tidak, kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh semua orang. Kehidupan masyarakat pun begitu sarat dengan hikmat dan kebaikan. Begitu pun dengan bangunan keluarga, tampak begitu kokoh penuh samawa sekaligus mampu berfungsi sebagai pabrik pencetak generasi cemerlang.
Semua ini memang wajar karena sistem aturan yang diterapkan oleh Khilafah benar-benar menawarkan kesejahteraan tanpa bandingan. Para khalifahnya pun benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus sekaligus benteng penjaga bagi rakyatnya. Di pihak lain, masyarakat melaksanakan fungsi amar makruf nahi mungkar yang dengannya hukum-hukum Islam yang berkeadilan tetap tegak di tengah mereka. Adapun para individunya, terasah dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, hingga mereka berhasil tampil sebagai profil bersyahsiah Islam, sekaligus siap menjawab semua tantangan zaman dan menjalankan peran sebagai pengisi peradaban.
Negara ideal seperti ini tentu harus segera kembali dihadirkan, sebelum individu, bangunan keluarga, dan masyarakat makin rusak bahkan hancur. Caranya adalah dengan masif menarasikan urgensi dan kewajiban menerapkan Islam, serta menarasikan keharaman dan dosa hidup berlama-lama dalam sistem kufur yang jauh dari hukum-hukum Islam.
Seluruh ikhtiar ini hanya mungkin dilakukan dalam barisan dakwah yang terorganisasi dan memiliki modal pemikiran Islam ideologis yang terkonstruksi dengan utuh dan cemerlang. Pemikiran-pemikiran ideologis ini akan disebarluaskan melalui aktivitas dakwah di tengah umat tanpa kekerasan. Harapannya, akan muncul dukungan dan kerinduan pada diri mereka untuk hidup dalam naungan sistem Islam. Lalu muncul kekuatan politik yang cukup untuk menumbangkan sistem kufur dan menggantinya dengan sistem kepemimpinan Islam.
Sungguh, sistem kehidupan rusak yang sedang tegak sekarang sudah menampakkan kebobrokannya. Sebagian umat pun sudah merasakan dampak buruk yang menjauhkan mereka dari harapan beroleh hasanah hidup, baik di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menyerah pada keadaan. Sudah saatnya kita mengambil peran untuk terlibat dalam perubahan, baik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta alam maupun pada anak-cucu atau generasi mendatang.
Allah Swt. berfirman, “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS At-Taubah: 105).
0 Komentar