Annisa Suciningtyas
#Wacana — Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh adanya kasus dugaan korupsi. Sektor yang seharusnya menjadi pilar penting dalam membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas justru terjerat dalam dugaan praktik korupsi yang masif dan terorganisir. Proyek pengadaan laptop senilai triliunan rupiah yang seharusnya menjadi penopang kemajuan teknologi pendidikan, kini menjadi simbol rusaknya sistem tata kelola negara.
Melangsir dari SINDOnews.com (26/06/2025), bahwa Kejaksaan Agung tengah mengusut dugaan korupsi besar dalam proyek pengadaan laptop di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) senilai Rp9,9 triliun. Sementara itu, Metrotvnews.com (31/05/2025), menyebutkan pengadaan itu menghabiskan dana dengan total anggaran terdiri dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) sebesar Rp3,58 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sekitar Rp6,4 triliun. Angka yang cukup mencengangkan memang, tapi bukan sesuatu yang mengejutkan lagi. Kita telah terbiasa dengan adanya berita korupsi di negara ini, sekalipun itu terjadi di sektor-sektor vital seperti sektor pendidikan ataupun kesehatan.
Dari kasus ini kita bisa menilai bahwa korupsi bukan sekadar persoalan individu semata, melainkan akibat kegagalan sistem dalam menanamkan rasa amanah dan tanggung jawab. Padahal dalam Islam amanah merupakan hal yang sangat penting dan berharga, ini bukan hanya sekedar konsep etika maupun moral, melainkan juga bagian dari keimanan itu sendiri. Namun, dalam sistem sekuler, nilai ini tercerabut dari akar.
Saat sektor pendidikan dijadikan bancakan oleh para pemegang kekuasaan, maka tak mengherankan jika proyek berskala nasional ini rawan dikorupsi. Beginilah potret menyedihkan bangsa kita hari ini, masa depan generasinya sedang dipertaruhkan oleh kerakusan para penguasa. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, sistem sekuler yang diterapkan saat ini justru membuka peluang besar bagi kezaliman yang akan merusak generasi mendatang.
Yang lebih memprihatinkan, kasus seperti ini bukanlah hal yang pertama di dunia pendidikan dan kemungkinan juga bukan yang terakhir. Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler yang hingga saat ini masih diterapkan, sudah seperti bagian dari penyakit yang sistematis juga kronis. Sistem sekularisme ini telah memisahkan agama dari kehidupan, sehingga nilai-nilai ketuhanan dan akhlak hanya dianggap menjadi urusan pribadi, bukan standar dalam mengelola negara dan kekuasan. Tak heran jika penguasa tidak merasa diawasi oleh Allah dan jabatan pun tidak lagi dipandang sebagai amanah, tetapi alat untuk memperkaya diri.
Pendidikan adalah kebutuhan dasar umat, sebagaimana halnya air, pangan, dan keamanan. Karena itu, negara dalam sistem Islam memandang pendidikan sebagai hak publik yang wajib dipenuhi oleh negara. Pendidikan dalam sistem Islam bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi pembentukan kepribadian sesuai akidah Islam.
Islam tidak hanya menyuruh umatnya menjauhi korupsi secara individu, tapi juga membangun sistem yang mencegah terjadinya korupsi. Islam juga memiliki pengawasan internal dan eksternal yang kuat. Masyarakat juga dianjurkan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa bila ada penyelewengan. Serta akan melakukan sanksi sesuai syariat yang tegas dan adil tanpa menunggu adanya tekanan media seperti saat ini.
Seruan "bersih-bersih kementerian" yang ramai disampaikan saat ini sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah secara mendasar. Membersihkan satu institusi saja tidak akan cukup jika sistem yang menopang seluruh struktur kekuasaan telah rusak. Selama sistem sekuler-kapitalisme masih dipertahankan, korupsi hanya akan berganti pelaku. Oleh karena itu, sudah saatnya kita tidak hanya marah pada kasusnya, tapi sadar pada akar masalahnya. Sebab, perubahan harus menyentuh akar agar menjadi solusi paripurna.[]
0 Komentar