JP. Dunggio
#Wacana — Tunjangan tugas tambahan (TUTA) yang biasa diterima oleh para guru di Banten sejak beberapa bulan lalu tak kunjung cair. Para guru siap melakukan aksi protes menuntut turunnya tunjangan tugas tambahan tersebut.
Minimnya kesejahteraan guru tak hanya dialami oleh guru di Provinsi Banten saja. Tunjangan yang diharapkan bisa membantu pemenuhan kebutuhan hidup para guru dan kegiatan ekstra kurikuler, nyatanya tak hanya mengalami penundaan tapi berpotensi tidak cair. Tidak cairnya tunjangan tugas tambahan untuk para guru di Provinsi Banten disebabkan karena tidak dianggarkan dalam APBD murni 2025 (TangerangNews.co.id, Juni 2025).
Nasib guru dalam sistem kapitalisme demokrasi dari tahun ke tahun selalu merana. Tak hanya sering bergantinya kurikulum pendidikan, kesejahteraan mereka pun sangat minim. Pemerintah pusat maupun daerah sampai saat ini belum mampu meningkatkan taraf hidup para guru, padahal negeri ini memiliki banyak sumber pemasukan bagi kas negara. Sayangnya pemasukan itu tidak dikelola dengan baik.
Sumber daya alam (SDA) yang melimpah seharusnya bisa dikelola oleh negara, alih-alih diserahkan pada swasta baik perusahaan yang dimiliki pribumi maupun asing. Penyerahan tata kelola SDA kepada swasta adalah bentuk liberalisasi ekonomi yang sejalan dengan ideologi kapitalisme. Tak heran jika para pengelola negara terpenjara oleh berbagai aturan yang harus sesuai dengan ideologi kapitalisme.
Efek dari penerapan ideologi ini menyulitkan pengelola negara dalam mencari sumber pemasukan bagi APBN sehingga pelayanan terhadap rakyat pun mengalami kendala termasuk menaikkan taraf hidup para guru.
Dalam Islam, kesejahteraan guru adalah prioritas utama yang harus diperhatikan. Karena Islam memandang guru memiliki peran penting dalam mendidik generasi dan memajukan peradaban suatu bangsa. Sejarah mencatat bahwa di masa gemilangnya peradaban Islam, para guru mendapat gaji dan tunjangan yang sangat besar. Di zaman Abasiyah, para guru mendapat gaji dengan nilai yang sangat tinggi. Pada masa itu para guru digaji sebesar 1000 dinar per tahun atau sekitar 3,9 miliar jika dikonversi ke masa sekarang. Bahkan para ulama yang sibuk mengajarkan ilmu tentang Al-Qur'an digaji sebesar 2000 dinar atau setara 7,8 miliar. Peradaban Islam pernah membayar guru dengan gaji rendah yaitu pada masa Sultan Shalahuddin. Beliau tiap bulan memberi para guru gaji sebesar 40 dinar setiap bulan atau setara 156 juta, sedangkan para pengelola sekolah digaji sekitar 10 dinar (39 juta). (FatwaMedia, 2022: Tulisan Ahmad Syarin Thoriq)
Pada saat itu, negara Islam mampu memberikan gaji kepada para guru dengan standar yang tinggi sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan fokus dalam mendidik generasi. Tak heran jika Islam diterapkan secara kafah akan menghasilkan generasi berkualitas yang melampaui orang-orang di peradaban bangsa lain pada saat itu.
Sumber keuangan negara Islam pada saat itu berasal dari berbagai macam pemasukan. Hebatnya, pemasukan itu tidak karena pajak yang ditarik negara dari rakyatnya. Berbeda dengan sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan negeri ini, sumber pemasukan terbesar kas negara berasal dari pajak. Sumber pemasukan dalam Islam dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah yang ditulis oleh Syekh Abdul Qadim Zallum antara lain berasal dari ghanimah, fa`i, kharaj, zakat, dan harta milik umum. Harta milik umum ini berupa segala sumber daya alam yang ada di daratan maupun lautan yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Hasil dari pengelolaan berbagai SDA diperuntukkan bagi rakyat, antara lain dalam bentuk kesejahteraan bagi para guru dan fasilitas pendidikan secara gratis.
Begitulah sistem ekonomi Islam mendukung berjalannya sistem pendidikan. Para guru harus menyadari bahwa dengan diterapkannya syariat Islam secara kafah akan meningkatkan taraf hidup para pengajar.[]
0 Komentar