Kebijakan Pajak Mencekik, Penguasa Hilang Empati

 

Hanin Syahidah



#CatatanRedaksi — Kondisi Pati beberapa waktu yang lalu sempat memanas karena demo besar-besaran digelar rakyat Pati akibat kepongahan Bupati Sudewo menaikkan pajak daerahnya sebesar 240%. Sebelum demo mereka mem-warning kepada bupati, bukannya mengkaji ulang kebijakannya malah Bupati Sudewo menantang pendemo dengan alasan tidak takut. Alhasil, demo dengan jumlah besar itu berlangsung ricuh bahkan sempat ada pembakaran mobil aparat dan aparat meluncurkan gas air mata kepada pendemo. Bahkan ketika bupati terpaksa menemui pendemo ada yang melempari gelas minuman kemasan dan sandal. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Pati, banyak daerah lain yang juga mengalami kenaikan pajak daerah bahkan beragam dan cukup besar ada yang 300%, 400% bahkan ada juga yg 1000%. 



Seolah terinspirasi atas apa yang ada di Pati, ramai-ramai warga daerah lain merencanakan demonstrasi penolakan yang sama dengan cara yang mereka mampu. Misalnya, di Jombang wujud protes dilakukan seorang warga wajib pajak dengan membayar pajak berupa koin se-galon air kemasan. Begitulah aneka aksi yang dilakukan oleh rakyat, ketika pajak sangat mencekik di tengah ekonomi sulit yang di alami rakyat hari ini. 



Harga barang kebutuhan mahal, PHK di mana-mana, lowongan pekerjaan sulit tapi kebijakan pajak daerah begitu sangat memberatkan rakyat. Fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di berbagai daerah belakangan ini menuai sorotan publik. Kenaikan tarif pajak yang cukup signifikan tersebut merupakan dampak dari penerapan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maupun tarif PBB-P2. (um-surabaya.ac.id, 16/08/2025)



Pemda leluasa untuk mematok kenaikan pajak daerah masing-masing. Sementara dilansir BBC.com (15/08/2025), ekonom menilai kenaikan PBB-P2 yang membebani masyarakat ini karena pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) akibat kebijakan efisiensi, meskipun dibantah oleh Mensesneg. Hanya apa pun juga, kenaikan pajak yang mendadak tanpa komunikasi dan sosialisasi yang rasional, terlebih kenaikannya drastis seolah tidak ada empati sama sekali. Dengan kondisi rakyat yang sedang sulit, tentu sangat wajar akan ditentang oleh rakyat. Kebijakan ini tidak jarang hanya menguntungkan segelintir elite sementara rakyat tetap tidak merasakan manfaat dari pembayaran pajak, malah rakyat merasa dipalak dengan kebijakan pajak ini.



Sebenarnya kondisi ini tidak mengagetkan ada dalam sistem kapitalisme-sekuler sekarang. Diakui atau tidak, sistem ini diterapkan di negeri ini. Sistem ini menjadikan pajak sebagai pemasukan utama, sehingga demo terjadi di daerah-daerah hari ini. Ketika pemerintah pusat memangkas TKD-nya, sudah pasti Pemda bakal kelimpungan untuk mencari sumber pemasukan bagi daerahnya. Maka, yang paling cepat dan gampang adalah dengan pajak. 



Hal yang tidak jauh berbeda dengan pemerintah pusat yang juga menggenjot sektor pajak sebagai pendapatan utama negara. Beberapa waktu yang lalu wacana kenaikan PPN 12% yang ditentang habis-habisan akhirnya tidak jadi dinaikkan. Seandainya negara mau jeli, pemasukan dari SDA sebenarnya jauh lebih besar potensinya untuk dijadikan pendapatan negara. Namun dalam sistem kapitalisme, SDA malah diboyong ke luar negeri atau diobral kepada swasta/individu, bahkan tak jarang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. 



Kondisi ini sangat berbeda diametral dengan kehidupan dalam sistem Islam. Pajak (dharibah) hanya dipungut tatkala kas negara di baitulmal kosong. Ketika ada kebutuhan yang urgen untuk dibiayai dan di baitulmal masih ada dana yang bisa memenuhinya, maka tidak boleh memungut pajak. Objek pajak juga terbatas hanya kepada orang-orang kaya dan memiliki kemampuan. 



Pungutan pajak sebagai intrumen insidental negara sangat jarang terjadi dalam sistem Islam, bahkan hampir tidak ada. Pemasukan negara dalam baitulmal sebagaimana yang dijelaskan oleh Kiai Hafidz Abdurrahman adalah: (1) Fai’  [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan. Jadi tidak ada pajak di dalamnya.



Dalam sistem Islam, ciri khas pemerintahnya adalah pengurus dan pelayan bagi rakyatnya, maka sangat wajar hal-hal yang memudahkan rakyat bahkan pengurusan urusan rakyat detil dilakukan untuk rakyat. Mulai dari distribusi secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat berupa kecukupan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dilakukan oleh pemerintah. Karena dalam Islam, pemimpin adalah Raain (gembala) dan akan dimintai tanggung jawabnya atas pengurusan rakyatnya (Hadis Riwayat Bukhari). 



Jadi dalam Islam, keberadaan pemerintah adalah memudahkan bukan menyulitkan rakyat. Sangat berbeda dengan sistem sekarang—rakyat diperas dengan pajak yang mencekik di setiap sisi hidupnya, ada PPh, PPN, PBB dan seterusnya. Akankah terus kita bertahan dengan cekikan beban hidup seperti ini, terlebih usia negeri ini sudah tidak muda lagi. Saatnya harus berubah untuk yang lebih baik agar diridai Allah Swt.. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar