NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Kelangkaan bensin di SPBU swasta beberapa pekan terakhir bukan sekadar antre panjang di pompa bensin. Dari kacamata amanah publik dalam Islam, ini adalah sinyal kegagalan negara menjaga kebutuhan dasar. Di balik pompa yang mati, tersimpan perebutan kendali impor dan distribusi BBM yang sarat kepentingan politik–ekonomi, yang pada akhirnya merusak kepercayaan rakyat (reuters.com).
Reuters.com (06/09/2025) melaporkan bahwa pemerintah menetapkan impor tambahan hanya melalui Pertamina dengan alasan menjaga mutu dan pasokan. Kebijakan “satu pintu” ini otomatis menguatkan posisi BUMN tersebut. Sementara itu, CNN Indonesia (04/09/2025) mencatat bahwa lonjakan permintaan BBM nonsubsidi yang membuat kuota impor swasta cepat habis. Kombinasi pembatasan kuota dan lonjakan permintaan inilah yang mendorong tutupnya sejumlah pompa swasta pada jam tertentu.
Masalah makin pelik karena citra Pertamina sendiri sedang goyah. Tempo.co (30/08/2025) menulis soal penyidikan dugaan korupsi dan maladministrasi di anak usahanya. Ketika pusat distribusi dibayangi tuduhan penyimpangan, wajar publik bertanya: apakah impor satu pintu benar-benar demi stabilitas atau sekadar melindungi rente kekuasaan?
Kelangkaan stok ternyata tidak hanya menimpa konsumen. SPBU swasta juga menanggung beban berat. Shell Indonesia mengonfirmasi penyesuaian jam kerja dan merumahkan karyawan karena tidak semua produk bensin tersedia (Sumut Pos & Jawa Pos, 16/09/2025). Suara.com (16/09/2025) menulis, BP-AKR bahkan menutup sekitar 10 SPBU akibat pasokan tak kunjung pulih. Menteri ESDM sampai meminta agar SPBU swasta tidak melakukan PHK massal (detikOto, 20/09/2025). Fakta ini menunjukkan rantai dampak yang nyata: dari antrean panjang hingga hilangnya mata pencaharian. Rakyat akhirnya terkena dua pukulan sekaligus, kesulitan membeli bensin dan kehilangan pekerjaan.
Dinamika ini menampakkan kontestasi kepentingan klasik. Pemerintah ingin mengamankan pasokan dan menahan inflasi, apalagi menjelang siklus politik nasional. Pertamina tentu berupaya mempertahankan dominasi sebagai importir utama, lengkap dengan keuntungan finansial dan pengaruh strategisnya. Di sisi lain, operator SPBU swasta menuntut akses impor yang lebih longgar, sedangkan partai politik memanfaatkan isu ini untuk menekan pemerintah dan mengais dukungan (cnnindonesia.com, 04/09/2025).
Di balik fakta lapangan, hubungan kepentingan BBM berjalan seperti “segitiga tertutup”: negara dan korporasi saling bertransaksi—negosiasi kuota, kendali impor, pembagian margin—sementara rakyat hanya menjadi penonton. Analisis INDEF (2023) menegaskan bahwa liberalisasi energi kerap menempatkan masyarakat sebagai konsumen pasif. Global Energy Monitor (2024) menambahkan bahwa lobi korporasi besar sangat memengaruhi kebijakan impor di banyak negara berkembang. Bahkan Bank Dunia (2022) mencatat pola kemitraan pemerintah–korporasi yang tertutup sering menimbulkan “hidden subsidies” yang akhirnya dibayar masyarakat.
Saat izin impor hanya lewat satu pintu atau kuotanya dikurangi, rakyat yang menanggung akibatnya: antrean makin panjang, harga naik, dan penghasilan banyak orang berkurang. Rakyat menanggung beban tanpa ruang negosiasi nyata. Gangguan pasokan seperti ini menimbulkan kesan negara abai pada amanah. Drone Emprit (05/09/2025) mencatat lonjakan sentimen negatif di media sosial. Kata kunci seperti ‘antre bensin’, ‘Pertamina’, dan ‘pemerintah gagal’ mendominasi percakapan, menandakan ketidakpuasan publik yang meluas.
Ketidakpercayaan rakyat jauh lebih berbahaya daripada kekosongan stok—akan menggerus legitimasi pemerintah dan menyulitkan pemulihan kepercayaan. Ketika rakyat merasa kebutuhan pokok diatur untuk melayani kepentingan golongan tertentu, kebijakan apa pun berikutnya akan dipandang sinis.
Dalam pandangan Islam, energi adalah amanah publik yang tidak boleh dikuasai segelintir orang. Surah An-Nisa Ayat 58 memerintahkan penguasa menunaikan amanah dan menegakkan keadilan. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Setiap pemimpin adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (Hadis Riwayat Bukhari–Muslim).
Prinsip fikih Islam menolak monopoli atau ihtikar yang merugikan masyarakat. Paradigma politik Islam menuntut negara menempatkan kemaslahatan rakyat di atas perhitungan laba dan kuasa. Transparansi data, larangan monopoli, dan pengawasan publik bukan sekadar wacana, tetapi bagian dari kewajiban syariat. Ketika amanah ini diabaikan, kepercayaan pun runtuh.
Memulihkan kepercayaan berarti mengembalikan rakyat ke pusat kebijakan untuk dilayani. Pemerintah perlu membuka data pasokan, memberi izin impor darurat dengan pengawasan ketat, dan mengaudit Pertamina secara terbuka (reuters.com, 06/09/2025). Di saat yang sama, perlu langkah moral: menegakkan keadilan, melibatkan publik, dan menutup ruang rente. Selama kebijakan BBM masih dikuasai kepentingan segelintir pihak, antrean di SPBU hanyalah gejala. Masalah sesungguhnya adalah antrean panjang ketidakpercayaan rakyat pada negara—defisit legitimasi yang tidak bisa diatasi hanya dengan menambah stok. Dalam kerangka Islam kafah, amanah energi adalah amanah moral: bila pemegang kekuasaan menunaikannya dengan adil, barulah kepercayaan publik bisa mengalir kembali.[]

0 Komentar