NR. Nuha
#CatatanRedaksi —
Pelantikan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri
Mulyani oleh Presiden Prabowo menandai pergeseran arah fiskal Indonesia.
Pergantian ini bukan sekadar rotasi jabatan, tetapi isyarat perubahan strategi:
dari disiplin fiskal ketat menuju akselerasi pertumbuhan.
Sri Mulyani selama hampir
dua dekade dipandang sebagai simbol disiplin fiskal: memperkuat basis pajak
sebagai pemasukan utama APBN, menjaga defisit, dan mengendalikan utang. Hal ini
mendapat apresiasi dari IMF dan Bank Dunia (thejakartapost.com, 08/09/2025).
Namun, pengencangan ikat pinggang ini sangat memberatkan bagi rakyat kecil.
Purbaya hadir dengan janji
mendorong pertumbuhan ekonomi 8% dalam 100 hari melalui percepatan belanja,
pelonggaran likuiditas, dan strategi akselerasi (reuters.com, 08–09/09/2025).
Pendekatan ini bisa memompa ekonomi, tetapi menimbulkan risiko utang bertambah
dan inflasi sulit dikendalikan. Rasio pajak yang stagnan di 10–11% dari PDB
menambah tantangan (bisnis.com, 09/09/2025).
Ujian awal Purbaya bahkan
bukan angka, melainkan pernyataannya tentang tuntutan rakyat “17+8” yang
kontroversial, hingga ia meminta maaf (metrotvnews, 09/09/2025). Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya soal neraca, tetapi juga
sensitivitas sosial.
Disiplin vs. Akselerasi:
Dua Kutub Fiskal
Disiplin ala Sri Mulyani:
APBN rapi, tetapi ruang untuk kesejahteraan rakyat kecil sangat sempit.
Akselerasi ala Purbaya: Mendorong pertumbuhan cepat, tetapi membuka risiko
inflasi dan utang baru.
Sejarah ekonomi modern
menunjukkan risiko sistem fiskal berbasis utang berbunga (riba) dan pajak
tinggi, terjadi pada Republik Weimar, Jerman (1919–1933). Setelah Perang Dunia
I, Jerman harus membayar reparasi perang yang besar kepada Sekutu. Pemerintah meminjam
secara besar-besaran (riba) untuk membayar utang, sambil mengenakan pajak
tinggi pada rakyat. Akibatnya, inflasi melonjak menjadi hiperinflasi pada 1923:
nilai mata uang Mark Jerman jatuh drastis, harga barang naik berhari-hari, dan
ekonomi rakyat hancur (Ferguson, Niall. The Ascent of Money: A Financial
History of the World, 2008).
Contoh lain terjadi krisis
utang di Yunani (2009–2015). Yunani meminjam dengan bunga tinggi dari pasar
internasional (riba) dan kemudian memberlakukan pajak berat untuk menutup
defisit. Akibatnya, ekonomi menyusut, pengangguran melonjak hingga 27%, dan kesejahteraan
rakyat menurun drastis (Arghyrou, Michael G., and Tsoukalas, John D. The Greek
Debt Crisis: Likely Causes, Mechanics and Outcomes. The World Economy, 2011).
Kesimpulannya, sistem
berbasis riba dan pajak tinggi, apalagi tidak diimbangi pertumbuhan produktif
hanya akan menciptakan ketidakstabilan negara dan menghancurkan ekonomi rakyat.
Fiskal Berkeadilan:
Inspirasi dari Ekonomi Islam
Prinsip fiskal sistem
ekonomi Islam menekankan keadilan distribusi, pengelolaan sumber daya publik,
dan larangan riba, sehingga mendorong kesejahteraan. Islam mewajibkan zakat
bagi muslim. Contoh hitungan potensinya Rp300–400 triliun per tahun di Indonesia
(baznas.go.id, 2024), dana ini bisa didistribusikan langsung untuk fakir,
miskin, dan delapan golongan lain (Surah At-Taubah:60).
Kepemilikan umum seperti
air, energi, dan tambang dikelola negara untuk rakyat (Hadis Riwayat Abu Dawud
dan Ibnu Majah). Islam juga menetapkan larangan riba untuk mencegah praktik
manipulatif yang memberatkan kelompok lemah dan meraih rida Allah dengan rezeki
yang berkah (Surah Al-Baqarah Ayat 275).
Sejarah menunjukkan
keberhasilan fiskal Islam pada Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M). Penerapan
kewajiban zakat kepada muslim dan kharaj dari tanah nonmuslim digunakan
untuk kesejahteraan umum; larangan riba membatasi pinjaman yang menekan rakyat.
Redistribusi kekayaan menciptakan stabilitas sosial, perdagangan dan ilmu
pengetahuan berkembang pesat di Baghdad (Hodgson, 1974).
Kesultanan Malaka (abad
ke-15–16) juga melakukan pajak perdagangan dan zakat, sehingga mendorong
pedagang dan rakyat makmur—menjadikan Malaka pusat perdagangan internasional
(Gullick, 1986).
Pemikir kontemporer
seperti M. Umer Chapra dalam Islam and the Economic Challenge (1992)
menegaskan bahwa kapitalisme gagal karena mengabaikan keadilan distribusi.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam Banking Without Interest (1983)
menambahkan, sistem tanpa bunga dalam Islam bukan hanya soal teknis, tapi
menyangkut paradigma ekonomi yang berpihak pada manusia. Artinya, sistem
ekonomi Islam yang berpihak pada manusia lebih efektif mewujudkan kesejahteraan
daripada kapitalisme yang hanya mengejar angka pertumbuhan.
Menuju Jalan Ketiga
Pergantian Sri Mulyani ke
Purbaya tidak boleh sekadar dipahami sebagai transisi dari disiplin ke
akselerasi. Keduanya tetap menyisakan masalah distribusi. Jalan ketiga yang berlandaskan
keadilan, redistribusi, dan kemandirian fiskal memberi horizon baru. Zakat,
pengelolaan sumber daya publik oleh negara, dan larangan riba dalam Islam bisa
menjadi inspirasi untuk fiskal Indonesia yang berpihak pada rakyat.
Fiskal
Indonesia tidak boleh berhenti sebagai permainan angka. Ia harus menjadi
instrumen nyata untuk kesejahteraan rakyat, terutama di tengah ketidakpastian
global.[]
0 Komentar