Mekanisme Anggaran Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

 


Titin Kartini



#Bogor — Pada Selasa, 12 Agustus 2025 lalu aktivis Mahasiswa Kota Bogor dan Gerakan Pemuda Tanpa Korupsi menggelar aksi demo mendesak agar Pemerintah Kota Bogor membatalkan tender proyek Revitalisasi GOR Pajajaran. Perwakilan pendemo dalam aksinya menegaskan telah menemukan indikasi kuat adanya rekayasa dokumen tender yang bersifat terstruktur, sistemis, dan masif. Diduga hal tersebut bukan  merupakan kelalaian administratif, tetapi pelanggaran hukum yang disengaja untuk mengunci pemenang tender pada pihak tertentu. 



Dalam pernyataan sikapnya para aktivis menyampaikan empat tuntutan tegas, yaitu: membatalkan total proses tender, melakukan audit forensik dokumen oleh APIP dan BPK, meminta KPK mengusut dugaan keterlibatan pejabat dan pihak swasta, serta memberikan sanksi maksimal tanpa pandang bulu. (rctiplus.com, 13/08/2025)



Peristiwa seperti ini bukanlah hal baru karena pada kenyataannya dalam sistem kapitalisme semua aturan harus saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha, tak terkecuali proyek infrastruktur yang digadang-gadang "untuk rakyat". Proyek semacam ini membuka peluang besar terjadinya penyalahgunaan dan kecurangan-kecurangan yang merugikan rakyat karena dana yang dipakai tentu saja dana dari rakyat. Padahal seharusnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur ditangani langsung oleh pemerintah tanpa tender kepada pihak swasta, sehingga tidak ada pengambilan keuntungan dari pembangunan apa pun dari pihak mana pun. 



Apakah bisa hal tersebut dilakukan? Jika dalam sistem kapitalisme tentu saja jawabannya tidak mungkin. Namun, ketika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, tentu saja bisa dan harus dilakukan oleh negara. Islam dengan sistemnya yang bernama Khilafah mempunyai aturan untuk mengatur urusan individu, masyarakat, dan negara. Islam bukan sekadar agama ritual yang hanya membahas masalah ibadah, melainkan adalah agama yang sempurna dan paripurna. 



Kebijakan dalam Kekhilafahan terkait pembangunan infrastruktur tidak lepas dari sistem ekonomi Islam yang diterapkan. Dengan sistem ekonomi Islam, negara mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan negara. Negara juga memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara juga mampu membedakan mana infrastruktur yang memang sangat mendesak untuk dibangun demi kepentingan masyarakat, dan mana yang tidak perlu. Sehingga negara tidak akan membuang-buang uang rakyat untuk hal-hal yang tidak terlalu penting kegunaannya bagi masyarakat. 



Ada pun sumber pendanaan setiap pembangunan proyek infrastruktur negara Khilafah diambil dari baitulmal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Sumber dana baitulmal berasal dari kekayaaan milik umum yang dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara di antaranya fai', kharaj, jizyah, dll. Jika baitulmal tidak ada dana, misalkan terkuras untuk peperangan atau adanya bencana maupun yang lainnya, maka negara perlu meninjau ulang apakah proyek infrastruktur tersebut memang sangat dibutuhkan rakyat, atau tidak. Jika memang urgen (dibutuhkan), maka negara akan mendorong masyarakat untuk berinfak. Namun, jika dana yang terkumpul belum cukup juga, maka negara akan memungut pajak secara khusus kepada laki-laki muslim yang mampu (aghniya), hingga proyek ini dapat terpenuhi atau terlaksana hingga tuntas.



Negara juga dapat mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara lain maupun perusahaan swasta. Tentunya tanpa bunga dan tidak ada syarat yang melanggar ketentuan syariat. Dan negara akan membayarnya dengan upaya yang keras, setelah dana infak dan pajak khusus tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini akan ditempuh ketika negara dalam kondisi sangat mendesak. Kemungkinan ini pun sangat kecil terjadi, karena ketika Kekhilafahan tegak tentunya kekayaan kaum muslim sangat melimpah dan kekayaan ini akan dikelola langsung oleh negara. 



Demikianlah mekanisme anggaran untuk pembangunan proyek infrastruktur dalam sistem Islam. Negara turun tangan langsung, sehingga tidak akan ada kecurangan-kecurangan yang akan menguntungkan segelintir orang, bahkan justru menzalimi rakyat. Negara bertanggung jawab penuh akan hal ini, karena penguasa sebagai periayah rakyat akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam.[]



Posting Komentar

0 Komentar