Annisa
Suciningtyas
#Wacana
— Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menyampaikan permintaan maaf kepada
publik terkait undangan yang ditujukan kepada akademisi Amerika Serikat, Peter
Berkowitz, yang memiliki afiliasi dengan Zionis Israel. Yahya menegaskan bahwa
undangan tersebut muncul karena kekhilafan dan kurangnya ketelitian dalam
menyeleksi narasumber. (cnnindonesia.com, 28/08/2025)
Dari
laman news.detik.com (28/08/2025), permintaan maaf
tersebut dilakukan setelah menuai beragam kritik di media. Beliau juga
mengatakan bahwa PBNU tetap
mendukung penuh kemerdekaan dan kedaulatan Palestina sebagai sebuah negara yang
merdeka.
Fenomena
kritik ini bukan hanya persoalan akibat dari kelalaian semata. Mengundang tokoh
yang mendukung Zionis tidak terlepas dari isu prinsip dalam Islam yang terkait
dengan al-wala’ wal-bara’. Dalam pandangan Islam juga tidak
diperkenankan menjadikan kafir harbi fi’lan (nonmuslim yang nyata-nyata
memerangi umat Islam) sebagai rujukan atau mitra dalam perkara apa pun. Jadi,
pengabaian yang berkaitan dengan prinsip Islam ini dapat memberikan ruang
legitimasi kepada penjajah yang hingga hari ini masih terus menistakan saudara-saudara
muslim kita di Palestina.
Terlebih
Peter Berkowitz bukanlah seorang akademisi netral. Laman berita middleeastmonitor.com (23/08/2025), memberitakan bahwa
Berkowitz pernah menjabat sebagai direktur perencanaan kebijakan di Kementerian
Luar Negeri Amerika Serikat di era Donald Trump, yang memberi Israel kebebasan
penuh untuk meningkatkan kekerasannya. Bahkan dalam tulisan-tulisannya, Berkowitz
sangat gencar membela Israel dari tuduhan kejahatan perang internasional. Dia
juga menegaskan satu hal jika Israel memiliki hak untuk membunuh tanpa batas.
Alhasil,
mengabaikan latar belakang narasumber sama saja membuka celah bagi normalisasi
ide-ide yang bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Inilah yang terjadi
saat negara menerapkan sistem kapitalisme. Dampak dari sistem kufur ini membuka
celah hidup subur untuk cara pandang liberal buah dari ideologi kapitalisme
yang kini telah menguasai sebagian besar pola pikir umat Islam. Sudut pandang liberalisme
memberi kesempatan setiap orang dianggap bebas menyampaikan pendapat terkait
urusan kaum muslimin tanpa melihat latar belakang orang tersebut.
Terbukti
ketika Peter Berkowitz
diundang menjadi narasumber untuk membicarakan peta geopolitik global tanpa
melihat latar belakang pro-Zionis, sebagaimana yang tertulis pada laman antaranews.com
(28/08/2025). Padahal,
Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan bagian dari ideologi yang mengatur
seluruh aspek kehidupan. Karena itu umat Islam harus memiliki sikap yang tegas
terhadap Zionis dan tidak ada yang namanya negosiasi.
Sudah
sangat jelas bahwa Zionis merupakan penjajah, penindas, dan musuh nyata umat
Islam. Membuka ruang bagi tokoh pro-Zionis sama dengan melatih umat untuk
terbiasa berkompromi dengan musuh sendiri. Jadi, saat kapitalisme sudah
menggerogoti beberapa pola pikir umat lambat laun akan menyebabkan gejala
rapuhnya fondasi berpikir akibat dominasi sekularisme. Intinya, selama umat
berada dalam sistem demokrasi-sekuler, kompromi demi kompromi akan terus
berulang. Terlebih demokrasi menilai sesuatu dari kepentingan politik elite, sedangkan
Islam menuntut ketegasan berdasarkan halal-haram, meski dalam ranah politik.
Dari sini, kita bisa melihat sejauh mana perbedaan kedua ideologi ini.
Solusi
tepat dari persoalan ini bukanlah sekadar meminta maaf setelah muncul tekanan
publik, melainkan dengan mengembalikan standar berpikir umat pada ideologi
Islam. Tentu saja hal ini dapat terealisasikan ketika sistem Islam tegak
kembali. Sebab hanya dengan sistem Islam, umat tidak akan lagi dipimpin oleh
ormas atau rezim yang goyah dalam menjaga kehormatan. Sebaliknya, mereka akan
berada di bawah kepemimpinan tunggal yang berani, tegas, dan tidak kompromi
dengan musuh Allah.
Hanya
dengan sistem Islam umat terjaga dari pengkhianatan, kehormatan Islam
terlindungi, dan menuntun kaum muslim menuju kemenangan sejati. Oleh sebab itu,
peristiwa ini seharusnya menjadi alarm
bagi kita bahwa masalah utamanya bukan pada individu tertentu atau ormas
tertentu, melainkan pada sistem sekuler-demokrasi yang memaksa kompromi dan
membuka ruang bagi ideologi asing. Selama sistem kufur ini masih dipertahankan,
penderitaan umat akan terus berulang. Hanya dengan kembali kepada Islam secara
kafah, umat akan benar-benar bebas dari kompromi dan pengkhianatan. Wallahualam
bissawab.[]

0 Komentar