Penulis: Eny Dwiningsih, M.Si.
#FOKUS— Perubahan menjadi sebuah keniscayaan dalam melakukan perbaikan. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’du: 11).
Tidak dimungkiri, perubahan sudah sering didengungkan di negeri ini oleh berbagai kalangan umat. Namun, sering kali perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berada di permukaan, tidak mengubah struktur dasar (fundamental) dari sistem yang ada. Rakyat yang makin ditindas pajak yang naik berlipat, pengangguran yang makin meningkat, hingga pejabat yang makin korup dan tidak beretika, sering kali disikapi dengan seruan ganti rezim tanpa mengubah sistem politik atau ekonomi yang ada; ataupun seruan pecat pejabat, tetapi tidak mengubah sistem yang memungkinkan pejabat seperti itu berkuasa.
Perubahan yang digagas pun sering kali terjebak pada sistem demokrasi—sebagaimana diterapkan hari ini. Keterlibatan dalam pemilu demokrasi masih populer bagi banyak orang yang ingin mengganti rezim dan membawa perubahan. Mereka berharap pemimpin baru yang terpilih akan memprioritaskan kepentingan rakyat dan membuat kebijakan yang lebih adil dan sejahtera, bahkan berharap bisa sampai pada penerapan Islam.
Demikian juga kekerasan aparat, penegakan hukum yang lemah, hingga pemilu yang tidak adil, dianggap karena tidak sempurnanya penerapan demokrasi sehingga memunculkan gerakan mahasiswa bahkan profesor menyerukan penyelamatan demokrasi. Ya, penerapan demokrasi yang baik masih dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Wajar kalau perubahan yang diinginkan belum bisa terwujud. Ini karena kondisi yang makin karut-marut hari ini bukanlah persoalan personal atau kasuistik, melainkan persoalan sistemis sebagai akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme dengan sistem politik demokrasi. Padahal, demokrasi bukanlah solusi perubahan hakiki, melainkan sebaliknya, merupakan salah satu cara negara-negara besar melanggengkan hegemoninya. Perubahan menuju penyelamatan demokrasi tentu kontraproduktif dengan visi perubahan. Yang ada juga justru umat akan makin masuk lebih kuat dalam hegemoni negara-negara besar.
Oleh karenanya, jika perubahan yang ada masih terjebak pada kerangka sistem demokrasi, tentu perubahan yang diharapkan tidak akan bisa terealisasi. Lantas, bagaimana agar perubahan segera terwujud? Apa saja prasyarat perubahan hakiki?
Prasyarat Perubahan Hakiki
Perubahan yang diharapkan tentunya adalah perubahan nyata dengan mengubah sistem kehidupan sekuler kapitalisme menjadi sistem kehidupan Islam, perubahan mendasar (asasi) dan menyeluruh (inqilabiyah). Inilah perubahan totalitas.
Perubahan ini membutuhkan kejelasan ideologi. Ideologi penting karena merupakan dasar yang dibangun di atasnya sistem kehidupan, juga akan menjadi arah perubahan. Ketidakjelasan ideologi akan menjadikan perubahan tidak tentu arah dan utopis.
Ideologi yang layak dijadikan basis perubahan adalah ideologi Islam karena Islamlah yang memiliki akidah yang sahih, yang akan melahirkan sistem hidup yang sahih pula. Akidah dan syariat Islam yang berasal dari Allah ﷻ merupakan jaminan bagi kebenaran Islam dan akan memberikan kebaikan bagi setiap umat.
Perubahan mendasar juga membutuhkan common enemy yang jelas. Common enemy yang dimaksud di sini, bagi umat Islam, adalah ideologi kapitalisme dan sosialisme-komunisme, penyebab segala kerusakan hari ini. Juga harus ada konsepsi dan arah perubahan yang jelas, terarah, dan terukur. Perubahan yang dilakukan harus jelas mengarah pada upaya melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariat Islam melalui institusi politik Khilafah Islam.
Ukuran keberhasilan penegakan Khilafah ini tergantung sejauh mana kesadaran umat untuk mendukung penegakan Khilafah dan upaya mencampakkan sistem kapitalisme, serta sejauh mana kelompok kekuatan riil di tengah masyarakat mendukung perubahan ini.
Dengan demikian, perubahan totalitas membutuhkan beberapa persyaratan.
Di antaranya pertama, adanya kesadaran umat yang didasari oleh keimanan bahwa kehidupan ini harus diatur oleh aturan dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Kesadaran tersebut terwujud dari pemahaman bahwa dirinya adalah makhluk yang harus patuh sepenuhnya kepada Allah ﷻ yang disampaikan melalui berupa syariat-Nya. Juga disertai keyakinan bahwa Islam memiliki solusi komprehensif untuk berbagai aspek kehidupan dan mengikat kita untuk menerapkan semuanya. Dikuatkan dengan keyakinan bahwa ketika umat menerapkan syariat Islam, akan terwujud kebaikan dan rahmatan lil alamin.
Kedua, adanya kesadaran umat terhadap fakta bahwa kehidupan kita hari ini yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah. Kehidupan kita hari ini secara riil diatur dengan hukum buatan manusia yang mewujud dalam sistem sekuler kapitalisme. Juga kesadaran bahwa penerapan sistem kapitalisme inilah yang menjadi penyebab utama munculnya berbagai persoalan yang mendera umat.
Ketiga, umat memiliki gambaran bagaimana mekanisme syariat Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan, seperti kemiskinan, pengangguran, pajak yang menindas, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Penerapan syariat Islam kafah meniscayakan adanya Khilafah, kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan dakwah ke seluruh dunia. Kesadaran ini akan mendorong umat menuntut perubahan sistem, bukan sekadar bergantinya orang yang berkuasa.
Keempat, meniscayakan adanya kelompok dakwah yang konsisten untuk mewujudkan kesadaran umat ini. Allah ﷻ berfirman, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Kelima, umat memahami bahwa metode perjuangan menegakkan Khilafah wajib mencontoh jalan perjuangan Rasulullah ﷺ, yakni melalui dakwah pemikiran. Kesadaran ini akan mendorong umat menuntut perubahan sistem, bukan sekadar bergantinya orang yang berkuasa, kemudian berujung diterapkannya Islam kafah dalam bingkai Khilafah.
Perubahan yang Diharapkan
Sudah selayaknya perubahan yang diharapkan adalah terwujudnya penerapan syariat Islam secara sempurna dalam realitas kehidupan. Islam kafah, mencakup politik maupun spiritual. Islam adalah ideologi kehidupan yang mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan, meniscayakan adanya negara sebagai institusi penerapnya, yaitu Khilafah.
Perubahan yang diharapkan juga harus menghasilkan peradaban Islam yang mampu mewujudkan rahmatan lil alamin. Rahmat adalah mewujudkan maslahat dan menghindarkan mafsadat. Kebaikan yang dibayangkan manusia akan bisa terwujud, seperti keadilan, kesejahteraan, ketenteraman, kedamaian, kesucian, dan keberkahan. Sebaliknya, keburukan, ketidakadilan, dan kerusakan, semuanya akan terhindarkan. Rahmat ini akan terwujud secara universal tidak hanya bagi muslim, tetapi juga nonmuslim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang menyakiti zimi, maka aku beperkara dengannya. Siapa saja yang beperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat.”
Mengenai ilmu teknologi, hal ini berkembang berasaskan syariat untuk kemajuan manusia. Teknologi bagaikan pisau bermata dua. Jika dikembangkan berbasis syariat, ia akan menghasilkan kemajuan manusia, hingga berbuah kemudahan manusia dalam menjalani tujuan hidup beribadah kepada Allah dan beramal sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, jika teknologi berkembang seperti hari ini, pesatnya teknologi informasi misalnya, berdampak pada meluasnya pornografi, judi online, pinjaman online, dan semisalnya, muncullah kerusakan di tengah masyarakat.
Lalu ekonomi, akan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Kekayaan alam milik umum dikelola negara dan masuk baitulmal, menjadi pemasukan tetap negara dan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan publik, yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rakyat akan menikmati bersama kekayaan alam yang Allah anugerahkan kepada negerinya.
Berbeda dengan kondisi hari ini, kekayaan alam dikelola swasta dan hanya sedikit yang masuk ke negara berupa dividen. Pada akhirnya, negara tidak memiliki dana untuk membiayai kebutuhan publik.
Sungguh, kekuasaan Islam (Khilafah) akan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai perisai yang menjaga dan melindungi umat dari segala ancaman. Bukan boneka yang bisa dikendalikan oleh mereka yang memiliki modal—yang justru menjadikan rakyat sebagai pasar “mangsa” produk-produk korporasi.
Rakyat akan mendapatkan hak untuk memilih pemimpinnya yang akan menjalankan syariat-Nya, bukan aturan buatan manusia. Rakyat juga punya kewajiban mengoreksi penguasa agar senantiasa menjalankan syariat Islam. Umat pun menjadi satu tubuh, tidak tersekat oleh batas-batas imajiner di bawah satu pengaturan dan perlindungan dan periayahan khalifah. Wallahualam.
0 Komentar