NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo roboh saat ratusan santri salat Ashar, menewaskan dan melukai puluhan korban. Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan alarm bagi negara yang terus melepas tanggung jawab atas keselamatan anak bangsa.
Musala yang seharusnya menjadi tempat sujud para santri justru berubah menjadi kuburan duka. Runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan dan melukai puluhan santri sebagaimana diberitakan BBC Indonesia (03/10/2025), bukan sekadar musibah—ini potret kelalaian yang sistemik. Bangunan yang masih dalam proses renovasi tetap digunakan untuk beribadah, hingga akhirnya roboh menimpa mereka yang tengah bersalat.
Peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem pengawasan fasilitas pendidikan di negeri ini. Negara seolah absen dari tanggung jawab paling dasar: melindungi nyawa warga negara, terutama anak-anak yang menuntut ilmu di pesantren dan sekolah. Data Kemenko PMK mencatat lebih dari 15.120 kasus kekerasan dan kelalaian di satuan pendidikan pada 2023, meningkat lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menemukan bahwa pada 2024, lebih dari sepertiga kasus kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di madrasah dan pesantren. Fakta-fakta itu memperlihatkan bahwa keselamatan peserta didik belum menjadi prioritas kebijakan pendidikan nasional.
Tidak hanya di pesantren, kondisi serupa juga terjadi di sekolah-sekolah umum. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukkan, dari 1,18 juta ruang kelas SD pada tahun ajaran 2024/2025, sekitar 60,3 persen di antaranya dalam kondisi rusak, baik ringan, sedang, maupun berat, sebagaimana dilaporkan oleh GoodStats (2025). Kondisi di tingkat SMP tak jauh berbeda—hampir setengah ruang kelas tercatat mengalami kerusakan, menurut laporan JakartaNews.id (02/10/2025). Bahkan di Jawa Tengah, terdapat 1.868 ruang kelas rusak berat di sekolah menengah dan SLB negeri, sebagaimana diungkap Kompas Regional (07/05/2025).
Ironisnya, negara kerap menenangkan publik dengan menyebut peristiwa semacam ini sebagai “musibah”. Padahal, setiap bangunan yang ambruk karena kelalaian adalah hasil dari sistem yang abai—gagal menegakkan tanggung jawab: pengawasan longgar, tanggung jawab kabur, dan prioritas yang salah arah. Pemerintah tidak bisa terus menunggu tragedi untuk bertindak. Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dan pedoman pengasuhan ramah anak di pesantren dari Kementerian Agama sudah ada, tapi pelaksanaannya berhenti di atas kertas.
Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pelindung umat—ra’in yang akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (Hadis Riwayat Bukhari–Muslim)
Prinsip tersebut harus menjadi napas politik pembangunan: kekuasaan bukan sekadar wewenang, melainkan amanah yang wajib ditunaikan dengan menjaga keselamatan rakyat. Sudah saatnya negara hadir bukan hanya setelah tragedi, tapi sejak perencanaan dan pengawasan. Audit keselamatan seluruh fasilitas pendidikan harus menjadi agenda nasional yang melibatkan kementerian negara yang terkait, PUPR, dan masyarakat sipil. Politik anggaran pendidikan juga harus menyentuh akar keamanan fisik, bukan hanya membangun gedung tanpa memastikan nyawa di dalamnya aman.
Karena ketika nyawa santri melayang akibat kelalaian, yang sesungguhnya runtuh bukan hanya tembok pesantren, melainkan juga amanah kekuasaan itu sendiri. Negara tidak boleh lagi lepas tangan—sebab amanah yang diabaikan akan selalu menuntut pertanggungjawaban.[]
0 Komentar