Alin F.M.
#Jaktim — Dilansir dari megapolitan.kompas.com, 23 September 2025—orang tua korban pelecehan di JPO Jatinegara sesalkan respon petugas Transjakarta. AR, orang tua S (16), korban pelecehan di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Halte Flyover Jatinegara, Jakarta Timur, menyesalkan sikap petugas Transjakarta yang dinilai tidak bertindak saat anaknya meminta pertolongan. Peristiwa itu terjadi ketika S dalam perjalanan pulang menggunakan bus Transjakarta pada Minggu (21/09/2025) sore, usai mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya.
Ia mengungkapkan, saat kejadian pelaku sempat mengeluarkan alat vital di hadapan korban. S lalu berlari ke arah petugas Transjakarta untuk meminta pertolongan. "Menyesalkan sekali, karena petugas tidak bertindak, kata anak saya respons petugas hanya tertawa doang," ucap AR saat dikonfirmasi, Selasa (23/9/2025). AR berharap pihak Transjakarta dapat meningkatkan keamanan halte, khususnya di titik rawan atau ketika kondisi halte sepi.
Menanggapi kasus tersebut, Kepala Departemen Humas dan CSR PT Transportasi Jakarta, Ayu Wardhani, menyampaikan keprihatinannya. Ia mengatakan, pihaknya telah meninjau rekaman CCTV dan meminta keterangan dari petugas pramusapa yang bertugas di halte. "Kami sudah melakukan pengecekan CCTV di waktu kejadian yang disebutkan, dan meminta keterangan Pramusapa. Namun, tidak ada laporan dari korban kepada Pramusapa terkait kejadian tersebut," jelas Ayu. Ayu juga mengimbau agar seluruh pelanggan Transjakarta segera melapor jika mengalami hal serupa. "Jika mengalami ketidaknyamanan saat menggunakan layanan Transjakarta, bisa melaporkan kepada petugas di lapangan. Petugas kami di lapangan siap melayani dan membantu pelanggan," tuturnya.
Kasus pelecehan yang menimpa ananda S (16) di JPO Transjakarta, terutama dengan dugaan sikap tidak tanggap dari petugas yang seharusnya menjadi garda terdepan keamanan publik, sungguh memprihatinkan. Kejadian ini harus dilihat tidak hanya sebagai isu kriminalitas biasa.
Kasus di JPO Jatinegara adalah indikasi bahwa rantai tanggung jawab negara telah terputus di tingkat petugas lapangan. Dalam pandangan Islam, negara tidak hanya bertanggung jawab menyediakan infrastruktur, tetapi juga menjamin integritas moral dari setiap aparaturnya.
Khilafah Menjamin Kehormatan dari Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Kasus pelecehan di fasilitas publik, seperti tindakan asusila mengeluarkan alat vital di JPO, adalah luka serius dalam tatanan sosial yang menunjukkan kegagalan sistem keamanan. Dalam pandangan Islam, jaminan atas kehormatan dan keselamatan warga adalah kewajiban syarak yang diemban oleh institusi negara. Konsep Khilafah mempunyai kerangka tata kelola yang secara fundamental terikat pada kewajiban ini.
1. Fondasi Syarak: Kewajiban Melindungi Kehormatan (Hifzhul 'Irdh)
Negara dalam Islam berdiri di atas prinsip Maqashid Syariah, dan salah satu tujuannya yang paling mendesak adalah melindungi kehormatan (Hifzhul 'Irdh) dan jiwa (Hifzhun Nafs) setiap individu.
Allah Swt. melarang segala bentuk tindakan yang mendekati perzinaan, yang merupakan pangkal dari semua pelecehan seksual, sebagaimana firman Allah Swt, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Surah Al-Isra' Ayat 32)
Tindakan asusila di muka umum oleh pelaku di JPO adalah perbuatan yang sangat dekat dengan kekejian (fahisyah). Negara Khilafah, melalui otoritasnya, wajib menerapkan kebijakan preventif (as-sadd adz-dzarī'ah) untuk menutup rapat-rapat semua celah menuju perbuatan ini di ruang publik.
Dalam sistem Khilafah, amirul mukminin (kepala negara) bertanggung jawab secara langsung di hadapan Allah dan rakyat untuk memastikan kedua hal ini terlaksana. Seluruh kebijakan infrastruktur, transportasi, dan aparatur negara harus diorientasikan pada pencapaian keamanan ini.
Khilafah akan memandang insiden pelecehan di JPO bukan hanya sebagai kasus kriminalitas biasa, tetapi sebagai kegagalan sistemik dalam menjaga kehormatan publik. Oleh karena itu, langkah pencegahan (as-sadd adz-dzarī'ah) harus bersifat menyeluruh, dari desain fasilitas publik yang tidak memicu kejahatan hingga penempatan petugas yang terjamin integritasnya.
2. Fungsi Negara: Penegakan Hukum dan Hisbah
Jaminan keamanan publik dari pelecehan seksual dalam Khilafah bertumpu pada dua pilar utama: penegakan hukum dan fungsi pengawasan. Penegakan hukum yang tegas dalam Khilafah dengan menerapkan hukum Islam (syariat) yang bersifat preventif dan deterensif (memberi efek jera). Tindakan asusila di muka umum, seperti mengeluarkan alat vital, termasuk dalam kategori kemungkaran besar yang wajib dikenakan sanksi ta'zīr (sanksi yang ditetapkan oleh hakim/negara). Sanksi ini harus berat, cepat, dan transparan untuk memastikan pelaku jera dan publik merasa terlindungi.
Khilafah juga menjamin hak korban untuk melaporkan tanpa rasa takut dan memastikan petugas yang lalai dalam tugasnya (seperti yang dicontohkan dalam kasus Transjakarta) dikenakan sanksi disiplin dan hukum yang setimpal atas pengkhianatan amanah. Khilafah juga menghidupkan kembali fungsi al-Hisbah, yaitu lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan moralitas dan keadilan di ruang publik, termasuk pengawasan terhadap petugas negara itu sendiri.
Kemudian, aparatur pengawas Khilafah akan memastikan bahwa petugas di lapangan (seperti pramusapa) menjalankan tugas mereka dengan integritas penuh dan tidak mengabaikan permintaan tolong dari warga. Sikap "tertawa doang" atau kelalaian akan dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hisbah dan amanah.
Keamanan publik tidak hanya diserahkan kepada polisi, tetapi juga menjadi tanggung jawab sosial setiap muslim. Lembaga al-Hisbah akan memfasilitasi peran aktif masyarakat dalam menjaga ketertiban dan melaporkan kemungkaran, dengan jaminan bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti negara.
Solusi Sistemik Paripurna, Bukan Sekadar Kasuistik
Dalam sistem Khilafah, upaya mencegah pelecehan seksual di ruang publik tidak berhenti pada pemasangan CCTV atau himbauan. Konsep Khilafah menawarkan jaminan keamanan publik yang didasarkan pada prinsip akidah Islam dan penegakan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat.
Dalam mengatasi pelecehan seksual, Khilafah memberikan solusi paripurna yaitu perlindungan kehormatan sebagai tujuan syariat, penegakan hukum yang tegas melalui ta'zīr yang efektif; dan pengawasan publik yang ketat melalui lembaga al-Hisbah untuk menjamin petugas negara menjalankan amanah mereka. Dengan persoalan pelecehan seksual ini, keamanan di ruang publik akan menjadi realitas, bukan sekadar harapan.[]

0 Komentar