Ngorbit: Mampukah Menjadi Solusi Budaya Korupsi?

 



Noor Hidayah

 

#Tangsel — Korupsi masih menjadi momok besar bagi bangsa ini. Setiap upaya pemberantasan korupsi yang diluncurkan pemerintah seakan hanya menjadi program rutin tanpa hasil nyata yang signifikan. Di tengah upaya menumbuhkan budaya integritas, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menghadirkan terobosan baru berupa Forum Ngobrol Bareng Inspektorat (Ngorbit). Forum ini digagas melalui kerja sama Inspektorat Kota Tangsel dengan Dinas Komunikasi dan Informatika, sebagai wadah dialog sekaligus media edukasi antikorupsi bagi aparatur pemerintah daerah (tangselpos.id, 04/09/2025).

 

Kepala Inspektorat Kota Tangsel, Achmad Zubair menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar ajang diskusi biasa. Ngorbit dirancang sebagai ruang yang cair tapi bermakna, tempat aparatur berdialog secara terbuka tentang isu-isu pengawasan, sekaligus sarana menanamkan nilai integritas. Melalui forum ini, pemerintah berharap terbangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pengawasan internal, sehingga potensi praktik gratifikasi, suap, maupun pemerasan dapat dicegah sejak dini. Dalam kesempatan itu pula, para peserta diperkenalkan pada sembilan nilai integritas yang dirangkum dalam akronim “Jumat Bersepeda KK”: jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras.

 

Inisiatif semacam ini tentu patut diapresiasi. Namun, pertanyaan besarnya: apakah langkah ini benar-benar cukup untuk mengikis budaya korupsi yang sudah mengakar begitu dalam?

 

Korupsi: Masalah Sistemik Tak Sekadar Moral

Data Transparency International menunjukkan betapa seriusnya masalah korupsi di negeri ini. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024, Indonesia hanya berada di peringkat 99 dari 180 negara. Angka ini tidaklah membanggakan. Jika ditelusuri ke belakang, rata-rata capaian IPK Indonesia dari 1995 hingga 2024 selalu berada di posisi papan tengah—bahkan pernah mencapai titik suram di peringkat 143 pada 2007 (tradingeconomics.com, 2025).

 

Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia adalah masalah struktural, bukan sekadar persoalan individu yang tidak berintegritas.

 

Korupsi pun bukan hanya monopoli pemerintah pusat. Ia merembes hingga ke daerah-daerah, termasuk Tangerang Selatan. Laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menggolongkan Tangsel sebagai daerah yang patut waspada terhadap praktik korupsi, setelah sebelumnya pernah berada pada kategori rentan (tangselpos.id, 12/09/2024). Artinya, ancaman korupsi ada di semua level birokrasi.

 

Jika ditelaah lebih dalam, akar persoalannya terletak pada sistem yang menopang kehidupan bernegara. Sistem sekuler kapitalistik yang dipraktikkan hari ini menyingkirkan peran agama dari pengaturan kehidupan. Negara hanya berfokus pada capaian materi, sementara nilai spiritual dan moral religius dikesampingkan. Materi dijadikan tolok ukur keberhasilan dalam kehidupan kapitalis. Ketika agama dijauhkan dan materi diagungkan, korupsi menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan dari para penguasa dan kroninya.

 

Dalam sistem sekuler kapitalisme, kebijakan pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan pemilik modal. Hal ini niscaya terjadi di sistem demokrasi kapitalis; tatkala pejabat pemerintah diangkat berkat dukungan pemilik modal. Bahkan tak jarang, pejabat (penguasa) adalah pemilik modal itu sendiri (pengusaha). Praktik money politics menuntut banyaknya biaya yang dikeluarkan agar berhasil menjadi penguasa. Sehingga ketika menjabat, tak jarang para pemilik kekuasaan berpikir untuk mengembalikan biaya dengan langkah yang melanggar aturan agama yakni korupsi. Maka, alih-alih menyelesaikan, sistem ini justru menyuburkan politik transaksional, yakni kekuasaan dijadikan komoditas yang diperjualbelikan antara pejabat dan pemilik modal.

 

Dengan demikian, menaruh harapan bahwa demokrasi kapitalisme mampu memberantas korupsi hanyalah sebuah ilusi. Justru sistem inilah yang melahirkan, memelihara, dan menumbuhkan budaya korupsi hingga menggurita.

 

Pandangan Islam tentang Kekuasaan dan Korupsi

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, Islam memandang kekuasaan bukan sebagai alat untuk meraih keuntungan pribadi, melainkan sebagai amanah yang amat berat. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Para ulama terdahulu bahkan sering menolak tawaran jabatan, bukan karena jabatan itu haram, melainkan karena mereka memahami betul besarnya risiko yang harus ditanggung di hadapan Allah Swt.

 

Dalam sistem Islam, kepemimpinan berlandaskan akidah. Pemimpin dididik untuk menjalankan kekuasaan sebagai sarana mengabdi kepada Allah Swt., bukan untuk mengejar ambisi duniawi. Kemewahan, hidup berfoya-foya, dan mengejar gengsi adalah perkara tercela yang jelas dikecam dalam Al-Qur’an. Allah Swt. mengingatkan dalam surah at-Takatsur, bahwa bermegah-megahan hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan.

 

Oleh karena itu, dalam sistem Islam masyarakat diarahkan untuk saling menasihati dalam amar makruf nahi mungkar. Pengawasan sosial ini membuat bibit-bibit korupsi dapat dicegah sejak dini, bahkan ketika masih berupa niat. Sistem ini juga memastikan distribusi harta yang adil sehingga tidak ada celah yang mendorong orang untuk melakukan kecurangan.

 

Mekanisme Pencegahan dan Sanksi dalam Islam

Islam memiliki perangkat hukum yang komprehensif untuk mencegah dan menindak praktik korupsi. Dalam sistem Islam (Khilafah), setiap pejabat negara diwajibkan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat kenaikan yang tidak wajar, harta itu disita negara dan dimasukkan ke baitulmal.

 

Fikih Islam juga secara tegas mengategorikan berbagai modus korupsi. Penggelapan uang negara disebut ghulul (khianat). Suap-menyuap (risywah) haram hukumnya. Begitu pula dengan gratifikasi atau fee proyek yang tidak sah. Semua bentuk harta yang diperoleh dengan cara curang dinyatakan haram dan harus dikembalikan.

 

Sanksi bagi pelaku korupsi ditetapkan dalam kategori takzir, yaitu hukuman yang kadarnya ditentukan oleh hakim. Hukuman bisa berupa teguran, penjara, cambuk, pengasingan, hingga hukuman mati, bergantung pada beratnya kejahatan. Dalam Islam tidak ada negosiasi atau tawar-menawar hukuman. Tidak ada sel mewah, remisi, atau fasilitas istimewa. Setelah keputusan hakim ditetapkan, sanksi segera dijalankan tanpa proses banding bertele-tele. Dengan mekanisme seperti ini, Islam menutup rapat peluang korupsi sekaligus menegakkan keadilan secara nyata.

Sudah saatnya bangsa ini berhenti menaruh harapan pada sistem kapitalisme sekuler yang nyata-nyata gagal. Forum-forum seperti Ngorbit tidak akan mampu menghapus budaya korupsi jika hanya berjalan di atas fondasi demokrasi kapitalisme.

 

Korupsi hanya bisa diberantas secara tuntas dengan kembali pada aturan Allah Swt. Penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah adalah satu-satunya jalan yang menjamin terwujudnya pemerintahan yang bersih, adil, dan amanah.

 

Negeri ini harus berani keluar dari hukum buatan manusia menuju hukum Sang Pencipta. Hanya dengan itulah keadilan sejati, kesejahteraan rakyat, dan hilangnya budaya korupsi dapat benar-benar terwujud.[]

Posting Komentar

0 Komentar