NR.Nuha
#CatatanRedaksi — Kasus SMAN 1 Cimarga bukan sekadar konflik antara kepala sekolah dan murid. Ia adalah panggilan bagi negara dan seluruh elemen umat untuk sadar: kerusakan generasi negeri ini bukan hanya akibat kesalahan guru, melainkan buah dari sistem pendidikan yang memisahkan ilmu dari iman serta kebijakan yang mengabaikan nilai-nilai ilahiah.
Rekaman video kepala sekolah SMAN 1 Cimarga menampar siswa karena merokok, seperti dilaporkan Detik.com (2 Oktober 2025), memicu gelombang protes luas. Tirto.id (3 Oktober 2025) mencatat, 630 siswa mogok belajar sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap otoritas sekolah. Dinas Pendidikan Banten kemudian menonaktifkan kepala sekolah tersebut, sementara KPAI dalam wawancara di MetroTVNews (4 Oktober 2025) menegaskan, “Pendidikan harus dibangun di atas pembinaan dan kasih sayang, bukan kekerasan.”
Namun di balik hiruk-pikuk sanksi administratif itu, muncul pertanyaan besar: di mana peran negara dalam membangun sistem pendidikan yang membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar mengatur teknis sekolah?
Pemerintah daerah seharusnya tidak gegabah menonaktifkan kepala sekolah tanpa memahami konteks persoalan secara utuh. Budaya birokrasi yang menekan melalui kewenangan tanpa pembinaan justru melahirkan krisis kepemimpinan di dunia pendidikan. Ketua KPAI menegaskan bahwa kekerasan di sekolah merupakan cerminan kegagalan sistemik, “Sekolah seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan arena kekuasaan.”
Padahal, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan setiap anak tumbuh dalam suasana belajar yang aman dan berkarakter.
Tragedi Cimarga menunjukkan retaknya hubungan antara empat unsur utama pendidikan: negara, guru, orang tua, dan masyarakat. Negara gagal menghadirkan sistem yang humanis dan berorientasi pada pembinaan kepribadian. Guru terbebani beban administratif tanpa dukungan moral dan emosional yang memadai. Orang tua menjauh dari proses pendidikan anak di sekolah. Masyarakat cenderung pasif, baru bereaksi setelah tragedi terjadi.
Pendidikan nasional selama ini lebih banyak diukur dari angka dan akreditasi, bukan dari keberhasilan menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial. Pengamat pendidikan Totok Amin (Universitas Paramadina) menyatakan kepada Kompas.com (5 Oktober 2025): “Pendidikan kita terjebak pada formalisme. Negara seharusnya memastikan keseimbangan antara aturan dan nilai kemanusiaan di sekolah.”
Ketika negara gagal mengintegrasikan peran orang tua dan masyarakat, konflik seperti di Cimarga akan terus berulang. Guru kehilangan arah, siswa kehilangan teladan, keluarga kehilangan makna pendidikan. Masalah ini lebih dalam daripada sekadar kesalahan individu. Ia berakar pada sistem pendidikan sekuler yang menyingkirkan nilai ketuhanan dari ruang belajar. Pendidikan kemudian hanya diukur dari nilai ujian dan keterampilan teknis, bukan dari ketundukan pada kebenaran dan kemuliaan akhlak.
Sesungguhnya, Islam menegaskan bahwa pendidikan adalah amanah besar negara dan umat. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (Surah An-Nisa Ayat 9)
Membiarkan generasi lemah—secara moral, intelektual, dan spiritual—adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Ilahi. Karena itu, setiap kebijakan pendidikan harus berorientasi pada iman dan akhlak, bukan sekadar efisiensi administratif.
Dalam pandangan Islam, tanggung jawab pendidikan bersifat kolektif (fardu kifayah). Negara wajib menjamin sistem pendidikan yang menumbuhkan iman dan akhlak mulia. Guru berperan sebagai murabbi (pendidik kepribadian), bukan sekadar pelaksana kurikulum. Orang tua menjadi mitra aktif dalam menanamkan adab di rumah. Masyarakat menjadi penjaga generasi di ruang publik yang menopang pembinaan kepribadian.
Ketika keempat unsur ini berjalan sendiri-sendiri—seperti yang tampak di Cimarga—maka lahirlah generasi yang kehilangan adab. Guru memukul karena frustrasi, siswa melawan karena kehilangan teladan, negara menegur karena tekanan publik. Semua reaktif, tanpa arah pembinaan yang jelas.
Sebagaimana ditegaskan Dr. Adian Husaini (Republika, 6 Oktober 2025): “Negara tidak cukup menyiapkan sekolah, tetapi harus menyiapkan peradaban yang melahirkan manusia beriman.” Pendidikan bukan sekadar hak administratif, melainkan pilar peradaban Islam yang menegakkan ilmu dan akhlak.
Negara tak boleh hanya hadir setelah terjadi bencana sosial di dunia pendidikan. Pemerintah harus membangun kebijakan yang memulihkan fungsi pendidikan sebagai wahana pembentukan manusia beradab. Gerakan penguatan kepribadian Islam harus menjadi tanggung jawab bersama—antara negara, guru, orang tua, dan masyarakat—demi menyelamatkan generasi.
Tragedi Cimarga adalah peringatan keras bagi negara dan umat untuk menegakkan kembali amanah pendidikan sebagai ibadah. Sudah saatnya sistem pendidikan dibersihkan dari nilai-nilai sekuler yang kering ruh, dan digantikan dengan sistem berbasis Islam yang menumbuhkan iman, akal, dan akhlak. Hanya dengan itulah negara dapat mempertanggungjawabkan generasi di hadapan Allah—generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga beradab. Wallahualam.[]
0 Komentar