Aksi Buruh dan Krisis Kesejahteraan: Refleksi Kebijakan Upah Rendah

 



Zakiyah Amin



#Wacana — Pada Kamis, 6 November 2025, terjadi aksi unjuk rasa yang digelar oleh serikat buruh di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat. Massa menyampaikan aspirasi kenaikan upah buruh. (detiknews.com, 06/11/2025)


Aksi tersebut bukan kali pertama, melainkan sudah berulang terjadi dengan tuntutan yang sama terkait kesejahteraan para buruh. Tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), pengesahan UU Ketenagakerjaan yang lebih pro-pekerja, penghapusan sistem kerja kontrak, outsourcing, pemagangan eksploitif, perlindungan hak buruh perempuan serta turunkan harga sembako, BBM, TDL, tarif tol, dan hentikan represi aktivis buruh. 


Tuntutan tersebut mereka suarakan dengan lantang agar ditanggapi serius ke arah yang lebih konkret. Namun, baik pemerintah maupun legislatif belum ada tanggapan final yang langsung memenuhi tuntutan mereka, semuanya masih dalam tahap kajian. Terutama respon legislatif sebagai perwakilan rakyat lebih banyak mendengarkan aspirasi dan dibahas nanti. Sebagian anggota komisi IX DPR RI memberikan sinyal kepada perusahaan agar PHK itu di-hold dulu atau berunding dulu. Namun, jika sistem kebijakannya belum berubah keberpihakannya maka penderitaan buruh pun tidak selesai. 


Presiden Prabowo Subianto dalam siaran pers menyatakan menerima aspirasi serikat pekerja dan membahas RUU Ketenagakerjaan serta reformasi pajak yang terkait dengan isu buruh. Tanggapan semacam ini sudah biasa terdengar saat terjadi aksi buruh sebelumnya. Seolah ada harapan dan solusi bagi pekerja atas masalah yang dialami. Tapi saat ini, faktanya suara buruh masih terdengar keras menuntut. Benarkah pemerintah sudah melakukan langkah konkret untuk masalah buruh?


Tuntutan Buruh dan Krisis kesejahteraan


Isu inti tuntutan buruh meminta kenaikan upah dinaikkan sifatnya urgent mengingat semua kebutuhan utama tidak tertutupi dengan upah yang  diterima bahkan jauh dari kata cukup. Harga-harga sembako naik, biaya pendidikan dan kesehatan juga tidak murah sehingga wajar jika mereka menuntut. Termasuk penghapusan sistem kerja kontrak, outsourcing, dan pemagangan yang sebenarnya tidak mensejahterakan bahkan cenderung eksploitatif. Secara teori magang bertujuan untuk memberikan pengalaman belajar kerja bukan melakukan pekerjaan penuh. Yang terjadi adalah penyalahgunaan. 


Banyak perusahaan memakai status magang dengan bayaran sangat rendah atau tidak dibayar sama sekali. Padahal, pekerja magang bekerja penuh seperti kerja karyawan tetap. Ketidakwajaran terhadap durasi waktu bekerja sering diperpanjang demi membayar murah dan juga tidak mendapatkan jaminan apa pun karena statusnya bukan pekerja tetap. Krisis kesejahteraan yang dialami oleh pekerja dengan status magang begitu rumitnya karena kebijakan UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah tidak memihak pada kelayakan hidup pekerja. Akan tetapi lebih mengutamakan investasi.


Keluhan lainnya adalah eksploitasi outsourcing  karena tidak adanya kepastian kerja sehingga mudah diberhentikan dan tanpa pesangon, upahnya sangat tidak layak, mendapatkan jenjang karir hanyalah mimpi, dan jaminan sosial sulit didapatkan. Akibatnya para pekerja dengan sistem outsourcing sulit mendapatkan peluang hidup layak. Kebijakan pemerintah semestinya bisa mendukung tapi hanya kekecewaan saja yang diterima. Nasib para buruh masih stagnan hingga saat ini. Padahal buruh merupakan unsur utama keberhasilan produktivitas dan efektivitas dunia kerja. Semua disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pihak investor. 


Di era globalisasi saat ini, efisiensi adalah salah satu cara memajukan dunia kerja, tapi justru malah potensi ketimpangan yang ditimbulkan—obyeknya dipastikan adalah pekerja. Para pekerja hanya dianggap sebagai alat produksi semata sehingga kebijakan upah murah bagi pekerja  wajar bagi mereka. Kemaslahatan manusia sebagai subyek kerja tidak diprioritaskan. Seolah dengan peluang kerja yang disiapkan hanya demi kesejahteraan buruh padahal terdapat unsur penindasan terselubung. 


Terbukti adanya peningkatan  produktivitas dan teknologi sering tidak diikuti kemajuan hidup layak pekerjanya. Biaya-biaya hidup terus naik tapi upah pekerja tidak ikut naik, inilah potret sistem ekonomi kapitalistik yang berorientasi investasi—pekerja tidak punya kendali dengan hasil kerjanya. Eksploitasi dunia kerja juga menunjukkan adanya pergeseran nilai dari aktivitas secara profesional menjadi hanya sekadar komoditas ekonomi semata. Hal ini memaksa para pekerja terutama pekerja perempuan yang ikut membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya  merasakan banyak tekanan hidup. 


Solusi Islam


Terdapat dalil Al-Qur’an yang menegaskan tentang  hak atau upah setiap orang berhak didapatkan  tanpa menguranginya. Sebagaimana dalam terjemah Surah Al-A’raf Ayat 85, “Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu benar-benar beriman.”


Menurut Ibnu Katsir ”takaran dan timbangan” bukan hanya alat secara fisik, melainkan simbol kejujuran dalam semua bentuk muamalah termasuk upah pekerja, dan akad kerja. Menurutnya, siapa pun yang menahan upah pekerja, menipu dalam kontrak, atau menekan harga secara zalim, termasuk dalam golongan yang dicela dalam ayat ini. Adapun makna kerusakan dalam ayat tersebut tidak hanya fisik, tetapi juga kerusakan moral dan sosial seperti ketidakadilan, penindasan, dan kecurangan ekonomi. Penipuan dan eksploitasi adalah bentuk kerusakan di bumi.


Adapun hadis yang terkait, diriwayatkan oleh Ibnu Majah adalah, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” Artinya upah merupakan hak yang wajib segera diberikan. Menundanya atau memberi jumlah yang tidak layak berarti kezaliman. Dalam Fiqh al-Iqtisshad al-Islami, Yusuf Qardhawi menulis, "Islam tidak mengakui sistem ekonomi yang menindas pekerja dengan upah yang tidak seimbang dengan tenaga dan harga hidup. Negara wajib menjadi penengah agar upah menjamin kehidupan yang layak.”


Islam adalah agama paripurna, memiliki prinsip keadilan (ujrah ‘adilah), yakni kelayakan (kifayah) upah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan keseimbangan (tawazun) upah dan tenaga atau kontribusi pekerja serta kepastian (haq al-ujrah)—upah terbayar tepat waktu tanpa menundanya. Inilah prinsip Islam yang pasti sesuai kebutuhan manusia dan tidak merugikan sedikit pun tapi justru memberikan solusi secara menyeluruh.


Untuk mewujudkan solusi yang menyeluruh membutuhkan sistem yang mampu mewujudkannya, yakni sistem Khilafah ala minhajinnubuwwah. Hanya sistem Khilafah yang bisa menerapkan aturan Islam secara kafah di semua bidang. Sistem Khilafah menjamin kebutuhan dasar warga sehingga dipastikan semua rakyat mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap pekerja diberi upah yang adil dan pasti—dipastikan tidak adak praktik outsourcing atau kontrak tanpa jaminan. Dalam Khilafah, hubungan kerja dibangun atas dasar tolong menolong (ta’awun) bukan eksploitasi. 


Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, kebijakannya dalam menetapkan upah bagi pekerja dengan menaikkan gaji pekerja ketika harga bahan pokok naik dan menolak sistem upah tetap yang tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup. Masih banyak lagi contoh khalifah yang lain yang menerapkan solusi ketenagakerjaan yang mensejahterakan rakyat seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Semoga kita bisa meneladani cara-cara berkehidupan para khalifah yang memakai paradigma Islam kafah sebagai solusi terpercaya. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar