Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Perang
saudara Sudan memasuki babak baru. Hal ini terjadi tatkala Pasukan Dukungan
Cepat (RSF) yang merupakan pasukan paramiliter merebut kota el-Fasher dari
tangan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Sebelumnya RSF melakukan pengepungan
selama 18 bulan lamanya yang mengisolasi puluhan ribu warga sipil di wilayah
Darfur. Hal itu dilakukan dengan membangun penghalang sepanjang 56 km guna
mencegah masuknya makanan dan obat-obatan serta menutup rute pelarian
(theguardian.com, 31/10/2025).
Pada 26 Oktober lalu, RSF
secara efektif mengendalikan seluruh wilayah barat Darfur setelah merebut
el-Fasher. Selama invasi RSF ke el-Fasher terjadi pembunuhan massal terhadap
warga sipil yang mengungsi ke wilayah-wilayah terpencil. Lembaga pemantau
lokal, Jaringan Dokter Sudan, menyebut setidaknya 1500 warga sipil terbunuh
dalam 48 jam. RSF juga merebut kota strategis Baraa di negara bagian Kordofan
Utara. Dalam operasi tersebut dilaporkan setidaknya terdapat 47 warga yang
dibunuh di rumah-rumah mereka dan lebih dari 4500 warga terpaksa mengungsi ke
kota-kota sekitar (aljazeera.com, 31/10/2025). Jatuhnya Baraa dan el-Fasher
memberi ‘sinyal bahaya’ akan pergerakan RSF untuk menyerang ibukota Kordofan
Utara, el-Obeid.
Ironisnya, aksi brutal
yang dilancarkan RSF justru terjadi setelah penarikan para komandan tentara,
pasukan gabungan dan para pejabat SAF. Pada Senin (27/10) Panglima SAF,
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengonfirmasi bahwa pasukannya telah mundur ke
‘lokasi yang lebih aman’. Dari sini SAF secara eksplisit telah menyatakan
kekalahannya dan memilih mundur dalam mengemban tugas menjaga nyawa warga sipil
Darfur. Mundurnya pasukan SAF secara efektif membagi Sudan dengan wilayah timur
yang dikuasai SAF dan wilayah barat dikuasai RSF.
Perang saudara antara
militer Sudan, SAF, dan RSF dimulai sejak 2 tahun lalu, tepatnya sejak 15 April
2023. Konflik tersebut dikenal dengan perang dua jenderal, yakni antara
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan sebagai kepala militer SAF dan Jenderal Mohamed
Hamdan Dagalo (Hemedti) sebagai pemimpin RSF. Motif utama konflik tersebut
tidak lain adalah perebutan kekuasaan dan sumber daya. Sejauh ini perang antara
SAF dan RSF telah menewaskan setidaknya 1,5 juta orang di wilayah selatan Sudan
dan sekitar 200.000 orang di wilayah barat Darfur. Kondisi ini memaksa lebih
dari 14 juta warga sipil meninggalkan rumah-rumah mereka. Sudan pun mengalami
krisis kemanusiaan dengan meluasnya kelaparan disertai wabah kolera dan
penyakit lainnya (dw.com, 30/10/2025).
Padahal kedua jenderal
tersebut, al-Burhan dan Hemedti, bersekutu dalam kudeta di tahun 2021 guna
menggulingkan rezim Omar al-Bashir. Keretakan hubungan keduanya berawal dari
perselisihan dalam rencana integrasi RSF ke dalam militer Sudan yang dikepalai al-Burhan.
Pertikaian kecil pun mulai bermunculan terutama dalam persaingan penggunaan
tanah dan air yang melibatkan para petani dan penggembala nomaden Sudan.
Konflik pun terus bergulir hingga akhirnya membentuk 2 (dua) poros besar yang
dikepalai oleh SAF dan RSF.
Perang saudara Sudan
sejatinya adalah bagian dari proyek internasional negara adidaya yang bertujuan
memecah belah Sudan. Strategi AS atas Sudan tidak terlepas dari kebijakan
politiknya di wilayah Afrika Timur dan Tengah. Amerika bersama dengan Mesir, Arab
Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) membentuk komite QUAD membahas krisis Sudan di
Washington pada Sabtu (25/10) dengan maksud mendorong transisi pemerintahan
sipil. Sedangkan pemerintahan Sudan yang sah ikut bergabung dalam pembicaraan
tersebut.
Merujuk pada pernyataan Penasihat
Senior Presiden AS untuk urusan Arab dan Afrika, Massad Boulos, jelas Amerika
tidak benar-benar menghendaki perang Sudan untuk berakhir. Arah utama
pembicaraan komite QUAD hanya seputar upaya gencatan senjata selama tiga bulan
saja, persis dengan usulan gencatan senjata dalam Platform Jeddah terkait
perang saudara Sudan di tahun 2023 lalu. Sisanya, pertemuan Washington membahas
masalah ‘masa depan’ Sudan dalam kerangka Barat sebagaimana arahan Paman Sam.
Perlu dipahami bahwa sejak
awal Amerika Serikatlah yang memicu perang di Sudan. Penghentian perang sama
saja dengan masa kadaluwarsa bagi US untuk ikut campur dalam urusan dalam
negeri Sudan. Sejak kemerdekaan di tahun 1956, Sudan sudah dipersiapkan Amerika
menjadi area perang dengan lebih dari lima belas kudeta militer dengan tujuan
utamanya menghapuskan pengaruh Eropa khususnya Inggris. Sayangnya, AS beserta
sekutunya belum benar-benar mampu melenyapkan pasukan Inggris di tanah
Sudan.
Kondisi di atas kemudian
memicu US untuk menjalankan politik adu domba yang pada akhirnya berhasil
memecah Sudan menjadi 2 (dua) negara, yakni Sudan dan Sudan Selatan, melalui
agennya John Garang. Kini strategi yang sama tengah dijalankan Amerika dengan
memisahkan Darfur dari Sudan. Sejak RSF mulai agresif beberapa bulan terakhir,
AS secara terbuka menunjukkan sikap ‘santai’ diiringi dengan keluarnya para
pejabat Sudan dari wilayah Darfur secara berangsur. Agen-agen Amerika di
pemerintahan Sudan bahkan berusaha menutupi banyak fakta terkait pergerakan
militer RSF hingga pada akhir bulan Oktober 2025 el-Fasher jatuh ke tangan RSF.
Dari sini terlihat jelas maksud US dalam melakukan politik pecah belah dengan
memanfaatkan ketegangan di Sudan.
Celakanya, beberapa negeri
muslim ikut terlibat dalam ‘pembagian kue’ Sudan. Mesir sedari awal menunjukkan
dukungannya terhadap militer Sudan dan menganggap al-Burhan sebagai pemimpin
sah Sudan. Hal serupa dilakukan Turki dan Iran dengan keduanya disebut-sebut
memasok drone bagi militer Sudan (berita.mediacorp.sg, 31/10/2025).
Di sisi lain UEA ‘dituduh’
menjadi pendukung RSF dan memasok senjata. Tuduhan tersebut dibantah keras oleh
pihak Emirat. Namun, sebuah laporan pakar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang
bocor pada April lalu mengindikasikan adanya penerbangan beberapa pesawat
angkut asal UEA yang masuk ke wilayah Sudan dengan menghindari deteksi radar
tatkala terbang ke pangkalan-pangkalan di wilayah Chad (theguardian.com,
31/10/2025). Hubungan UEA dan RSF bahkan bisa kita telusuri kembali ke perang
Yaman di tahun 2015 yang mana RSF sendiri digunakan sebagai ‘agen’ perekrutan
yang dikirim ke Yaman guna bertempur bersama pasukan Saudi dan UEA.
Sebetulnya Amerika tidak
mau ambil pusing akan ‘perang kepentingan’ negeri-negeri muslim di Sudan. US
hanya membutuhkan peran para sekutunya seperti halnya UEA, Turki dan Mesir
dalam menyulut api perang saudara Sudan hingga Amerika benar-benar menjadikan
Sudan berada di bawah kendalinya. Selebihnya AS menyusupkan antek-anteknya baik
di pihak SAF dan RSF dengan tujuan melenggangkan hegemoni dan kepentingannya di
Sudan.
Tidak kita mungkiri
memang, Sudan layaknya ‘peti harta karun’ bagi Amerika. Sudan dikenal sebagai
tanah yang kaya akan minyak dan mampu memproduksi 300.000 barel minyak per hari
dengan cadangan minyak lebih dari 3 miliar barel. Sudan juga dikenal sebagai
produsen global emas terbesar ketiga dengan cadangan emas mencapai 1.550 ton.
Tidak hanya itu, Sudan juga dikenal menyimpan banyak cadangan Uranium yang
belum dieksplorasi secara massal. Bukan hanya kaya akan tambang, Sudan memiliki
sekitar 61,6 juta hektar lahan subur untuk pertanian, 76-86 juta hektar lahan
gurun untuk area penggembalaan ternak dan 2,9 juta hektar area rawa. Oleh
karenanya, tidak mengherankan jika Sudan menjadi aset penting bagi Amerika
dalam menjalankan strategi politiknya di wilayah Afrika.
Dari sini, jelas bahwa
pihak yang paling diuntungkan dalam perang saudara Sudan tidak lain dan tidak
bukan adalah Amerika. Melalui konflik bersenjata Sudan, Amerika tengah
menjalankan rencana besarnya dalam operasi pembersihan kekuasaan Sudan dari
agen-agen sipil Inggris. AS dengan kesadaran penuh mengorbankan jutaan rakyat
Sudan dengan bantuan penguasa-penguasa muslim terutama Mesir, UEA dan
Turki.
Para penguasa muslim di
Sudan seharusnya merasa malu kepada Allah Swt. atas keserakahan mereka. Baik
pemerintahan sah Sudan maupun RSF telah benar-benar menjadikan darah Sudan tak
berhenti mengalir. Di sisi lain, keduanya kini terjebak dalam perangkap politik
adu domba AS dengan janji kemitraan palsu yang bisa digulingkan secara paksa
kapan saja. Tidak diragukan lagi, mereka berperan sebagai bidak permainan AS
dalam melanjutkan skenario besar negara adidaya di wilayah Afrika dan juga
Arab.
Padahal, sudah seharusnya
para penguasa Sudan meninggalkan 'pertolongan semu' dari para musuh Allah Swt.
dan bersama-sama rakyat Sudan menjalin persatuan umat. Allah Swt. berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu
sebagai teman setia. Kamu menyampaikan kepada mereka (hal-hal rahasia) karena
rasa kasih sayang (kamu kepada mereka). Padahal, mereka telah benar-benar
mengingkari kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu
karena imanmu kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu keluar untuk berjihad fii
sabilillah dan mencari rida-Ku, (janganlah kamu berbuat demikian)... Barang
siapa di antara kamu yang melakukannya, sungguh (kamu) telah tersesat dari
jalan yang lurus.” (Surah Al-Mumtahanah Ayat 1)—Wallahu a’lam bi
ash-shawab.[]

0 Komentar