Bansos Diterima, Judi Online Tetap Jalan

 



 

Lulu Nugroho

 

#Bekasi — Kisruh seputar bansos, rasanya tak ada habis-habisnya. Tidak hanya karena data yang tidak akurat, tetapi ada juga masalah administrasi, kesalahan teknis, nama fiktif hingga potensi penyalahgunaan wewenang seperti pemotongan dan korupsi, termasuk adanya indikasi penerima bansos sebagai pelaku judi online (judol). Sebagaimana yang terjadi pada 514 warga Kota Bekasi penerima Program Keluarga Harapan (PKH), yang akhirnya dinonaktifkan sementara oleh Kementerian Sosial (Kemensos). (Radarbekasi.id, 28/10/2025)

 

Ternyata hal serupa ini terjadi juga di wilayah lain. Jawa Barat teridentifikasi sebagai provinsi terbanyak, dengan puluhan ribu warga terlibat judol (sekitar 49.431 penerima). Kemudian Jakarta (DKI Jakarta), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kuningan (Jawa Barat), Tangerang, dan Kalimantan Tengah. Sementara peruntukan bantuan sosial (bansos) adalah bagi masyarakat miskin, rentan miskin, serta kelompok rentan lainnya seperti ibu hamil, anak usia dini dan pelajar, lansia, dan penyandang disabilitas berat.

 

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada November 2024 menyebutkan jumlah transaksi secara akumulatif pada 2024 mencapai Rp283 triliun, meningkat tajam karena makin banyak masyarakat yang bertransaksi dengan nominal kecil. Artinya, masyarakat dengan dana minim pun mulai ikut-ikutan judi.

 

Jika masyarakat yang rentan tadi justru menjadi pelaku judol, maka hal ini tidak boleh  dibiarkan begitu saja, apalagi hanya ditarik bansosnya. Sebab aktivitas judi akan terus merusak tatanan kehidupan sosial. Manusia menjadi tidak produktif, hanya berpangku tangan, mengundi nasib, dan mencari harta dengan peluang untung-untungan.

 

Kondisi semacam ini terjadi karena individu telah jauh dari tuntunan Ilahi, yang disebabkan oleh penerapan sekuler kapitalisme. Akibatnya, kehidupan tak bersandar pada perintah dan larangan-Nya. Dalam sekularisme dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan, peran Allah ditiadakan, hingga manusia terus berbuat sesukanya, melakukan kerusakan dan kemaksiatan.

 

Dalam sekularisme, judi menjadi salah satu bentuk aktivitas ekonomi. Bagi negara, akan mendatangkan pemasukan tersendiri dari sektor pajak. Karenanya ia hanya dilarang apalagi berlangsung tanpa izin. Sebaliknya menjadi legal bila memiliki lisensi seperti kasino, taruhan olah raga, dan sebagainya.

 

Bahkan tidak ada sanksi tegas, kecuali hukuman ringan berupa denda, penjara, atau  sanksi administratif belaka. Alhasil, judol dan bentuk perjudian lainnya masih tetap eksis hingga saat ini. Beberapa situs sudah ditutup oleh pemerintah, tapi beberapa lainnya masih kerapkali melintas di beranda media sosial.

 

Di samping itu, bansos yang menjadi obyek dalam aktivitas judi, juga memiliki masalah tersendiri. Meskipun tujuan pemberian bansos tampak mulia, yaitu salah satunya untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi ia seringkali menjadi alat politik. Pada hari-hari jelang pemilu, bansos bertebaran membahagiakan si penerima. Namun di balik itu, bansos menjadi alat populis sebab ada pencitraan penguasa yang berharap popularitasnya naik seiring dengan bantuan yang digelontorkannya. Dalam sekularisme, penguasa tidak memiliki ketulusan mengelola urusan rakyat, apalagi mengentaskan kemiskinan. Bansos lebih ditujukan untuk mendulang suara.

 

Islam Menutup Kemaksiatan

 

Dalam penerapan Islam kafah, suasana keimanan akan terwujud. Seluruh individu berlomba dalam ketaatan, pintu-pintu kemaksiatan pun ditutup. Termasuk harta, hanya boleh beredar dengan cara yang halal, sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Maidah Ayat 90–91, "Wahai orang-orang yang beriman,  sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung."

 

Allah dengan tegas melarang perjudian, sebab ada unsur ketidakpastian (gharar), dan untung-untungan (maisyir), yang dapat merusak kehidupan sosial dan perekonomian. Maka dalam penerapan Islam kafah, perlu disertai perangkat penjagaan berupa sanksi yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir).

 

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a., sanksi ta‘zīr diberlakukan bagi pelaku dan penyelenggara perjudian, karena aktivitas judi dianggap telah merampas hak orang lain dengan tipu daya. Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya al-Mawardi disebutkan, bahwa orang yang berjudi dikenai hukuman cambuk dan penahanan sementara, karena dianggap merusak akhlak dan memakan harta dengan cara batil.

 

Pada masa Kehilafahan Umayyah dan Abbasiyah, seluruh bentuk perjudian dilarang, baik yang berbentuk permainan, taruhan, maupun ramalan nasib. Pelakunya dikenai ta‘zīr, berupa cambuk 10–40 kali (tergantung kadar pelanggarannya), penjara selama beberapa hari atau pekan, denda atau penyitaan hasil judi.

 

Para fuqaha seperti Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad juga sepakat bahwa judi adalah bentuk memakan harta dengan cara batil yang wajib dicegah dan diberikan sanksi tegas. Dalam Islam, tidak boleh ada iklan, tayangan, ajakan atau ujaran, juga tempat hiburan yang mengadakan perjudian atau kapitalisasi permainan taruhan. Media hanya akan menebarkan kebaikan dan syiar Islam.

 

Negara pun wajib menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warganya, hingga kesejahteraan dapat tercapai. Islam juga membagi harta kepemilikan menjadi 3 bagian: kepemilikan individu, umum, dan negara yang jelas peruntukannya sebagaimana ditetapkan Allah Al-Mudabbir agar harta tak beredar di kalangan tertentu saja. Bagi warga yang lemah, akan mendapat bantuan langsung dari baitulmal agar mereka mendapat akses ekonomi. Keadilan semacam ini, hanya akan terwujud di dalam sistem ekonomi Islam.

 

Masyarakat miskin tak perlu lagi berharap pada bansos seperti yang terjadi hari ini. Pun tak perlu khawatir ditelantarkan oleh negara. Sebab, Islam akan memastikan hukum Allah tegak di tengah kehidupan, membersihkan masyarakat dari maksiat, dan membentuk suasana keimanan hingga tercapai tujuan syariat (maqashid syariat) yakni menjaga agama, akal, dan harta. Allahumma ahyanaa bil Islam.[]

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar