Ditagih Pajak, Ironi Pesantren di Negeri Kapitalis

 



 

Hessy Elviyah

 

#Bekasi — Baru saja negeri ini merayakan hari santri. Pada perayaan seremonial tersebut, pidato para elite negeri kerap mengungkit tentang jasa ulama dan pesantren bagi bangsa. Namun, tak lama berselang, salah satu pesantren justru ditagih pajak layaknya lembaga komersial.

 

Hal inilah yang membuat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Rieke Diah Pitaloka geram, setelah mengetahui Pondok Pesantren Al Fath Jalen di Tambun Utara, Bekasi Utara, Jawa Barat ditagih Pajak Bumi dan Bangunan oleh Badan Pendapatan Daerah. Menurutnya sesuai UU No.1 Tahun 2022 tentang HKPD, lembaga pendidikan dan keagamaan nonkomersial seharusnya dikecualikan dari objek PBB-P2. (Detik.com, 23/10/2025)

 

Saat lidah pejabat negeri menyanjung santri saat berpidato di mimbar-mimbar pada perayaan hari santri,  tangan birokrasi justru menodai makna penghormatan itu di lapangan. Pesantren yang menjadi garda utama pembentukan akhlak dan moral anak bangsa ternyata diperlakukan bak badan usaha yang wajib menyetor ke kas daerah.

 

Watak Kapitalisme

 

Kasus Al Fath Jalen di Bekasi makin menguatkan bobroknya sistem hidup kapitalisme saat ini. Dalam sistem yang segalanya diukur dengan uang, penghormatan dan nilai moral kehilangan tempat. Undang-undang memang memberikan pengecualian bagi lembaga nonkomersial, tetapi tafsir terhadap undang-undang tersebut berubah liar, petugas di daerah berlomba mengejar target pendapatan tanpa peduli fungsi sosial di balik pesantren.

 

Inilah watak kapitalisme, ketika uang dijadikan tolok ukur pelayanan publik, maka kebijakan kehilangan nurani. Negara tidak lagi berperan sebagai pengayom, melainkan penagih yang dingin tak mengenal belas kasih kepada lembaga yang justru berjuang menanamkan moral kepada anak bangsa.

 

Padahal, pesantren bukan sekedar ruang belajar, ia adalah dapur peradaban tempat karakter dan iman ditempa. Menagih pajak kepada pesantren sama saja menagih biaya kepada matahari yang memberi terang. Jika negara benar-benar menghargai peran ulama dan santri, maka sudah seharusnya tangan negara memberikan perlindungan, bukan tagihan.

 

Maka dari itu, selama sistem keuangan negara ini masih tunduk kepada logika kapitalisme (menghitung setiap jengkal tanah adalah uang), selama itu pula kejadian seperti ini akan terus berulang. Santri dan ulama hanya dimuliakan di spanduk pada peringatan hari santri saja, tetapi pesantrennya dikerumuni surat tagihan pajak.

 

Pesantren Gratis

 

Jauh berbeda dengan pandangan Islam. Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan dasar umat. Maka dari itu, persoalan semacam ini tidak akan dijumpai ketika negara ini menerapkan sistem hidup Islam. Sebab aturan yang dipakai adalah aturan Allah Swt., bukan logika untung rugi. Oleh sebab itu, negara dengan sistem Islam adalah pelindung dan pengayom, bukan pemungut pajak.

 

Lebih jauh, negara tidak akan menjadikan pesantren sebagai sumber pendapatan, sebab yang mereka lakukan adalah amal ibadah. Justru sebaliknya, pesantren akan dibiayai, difasilitasi, dan bahkan bisa diakses secara gratis oleh umat.

 

Tak hanya itu, dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukan sumber pendapatan tetap negara. Dharibah (sejenis pungutan) hanya akan ditarik ketika kas negara benar-benar kosong dan kebutuhan umat sangat mendesak, bukan untuk menambal target anggaran atau membiayai proyek yang tidak mendesak.

 

Negara Islam mempunyai sumber pendapatan lain dari pengelolaan harta milik umum seperti tambang, energi, tanah, dan hasil pertanian. Dengan begitu, beban rakyat apalagi lembaga pendidikan agama tidak dijadikan tumpuan keuangan negara. Selain itu, Islam tegas menanamkan prinsip bahwa pemimpin adalah Ar-Rain (pengurus umat), bukan pedagang yang menghitung laba.

 

Seorang pemimpin dalam negara Islam akan melihat pesantren sebagai penjaga moral masyarakat, benteng iman yang harus dijaga agar umat tidak terseret arus rusaknya peradaban sekuler. Khalifah akan memastikan santri bisa belajar dengan tenang tanpa surat tagihan datang mengetuk pintu pesantren. Sebab, dalam Islam ilmu dan akidah tidak bisa dinilai dengan angka, dan pelayanan terhadap lembaga yang membina keduanya adalah sebagai bentuk ibadah, bukan komoditas.

 

Maka, jika negeri ini benar-benar menghormati ulama dan santri, penghormatan itu tidak cukup hanya digembar-gemborkan di mimbar atau di baliho saat perayaan hari santri tiap tanggal 22 Oktober. Harus ada perubahan sistemik dari negara pemungut pajak menjadi negara pengayom dan pelindung, dari cara kepengurusan umat kapitalistik menjadi berbasis syariat.

 

Hanya dengan cara itu, pesantren akan terlindungi dan berdiri tegak. Bukan karena bantuan belas kasian, tetapi karena sistem yang adil menempatkannya pada posisi yang semestinya, yakni penjaga peradaban umat. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar