Karya Seni Bukan Alat Kebebasan Tanpa Batas

 



 

JP. Dunggio

 

#Wacana — Sebuah film tak bisa sekadar diartikan sebatas media hiburan dan karya seni semata. Ia membawa sarat pesan dari ideologi yang berkuasa saat ini. Membawa pesan tentang materialisme, menjauhkan nilai agama dari kehidupan manusia hingga membawa ide kebebasan tanpa batas. Bahkan juga  bisa mengaburkan nilai-nilai agama dan mereduksi kemuliaan institusi pondok pesantren sebagai tempat untuk belajar agama.

 

Berawal dari kasus pelecehan seksual yang dialami oleh temannya, sutradara sekaligus salah satu penulis film Wahyu, Nada Leo Prakasa mengatakan, "Dalam film ini saya ingin menyelami pengalaman traumatis yang dialami oleh teman saya saat menjadi santri dulu dan ingin mendiskusikan agar pengalaman tersebut tidak terulang lagi.” (Tempo, September 2025)

 

Film yang berlatar belakang pesantren ini menampilkan perilaku penyimpangan seksual yang terjadi tetapi sistem pondok pesantren tersebut tidak mampu melindungi korban. Dalam ideologi kapitalisme liberal, penggambaran sebuah karya seni secara bebas adalah sebuah hak yang tidak boleh dibatasi oleh apa pun termasuk nilai-nilai agama. Kebebasan mengekspresikan sebuah karya termasuk film adalah harga mati. Pesan halus yang dibawa oleh sebuah karya seni dalam ideologi ini, sayangnya, sering membuat sesuatu yang salah dalam pandangan syariat menjadi hal yang lumrah. Sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran syariat.

 

Ideologi ini juga menafikan peran negara dalam mengatur urusan seni ataupun industri hiburan. Padahal negara memiliki peran dalam mengatur sebuah karya seni atau industri hiburan bagi rakyatnya. Bukan malah memberi jalan untuk membuat karya seni dan menyebarkan apa saja selama memiliki nilai jual dan laku di pasaran. Tabiat rakus harta tanpa mempedulikan efeknya adalah ciri ideologi kapitalisme yang dianut oleh sebuah negara.

 

Dalam sudut pandang ideologi Islam, negara akan melarang adanya segala hal yang mampu merusak nilai-nilai syariat. Bukan karena Islam anti seni atau mematikan kreativitas tetapi untuk melindungi akidah, perilaku dan moral masyarakat dari perkara yang dilarang oleh Islam. Perilaku seks menyimpang yang ada di dalam film tersebut dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam, tidak boleh muncul dalam gambaran karya seni atau industri hiburan dalam negara berideologi Islam.

 

Ketika film tersebut mengkritisi sistem dalam pondok pesantren yang terkesan ‘diam’ dengan perilaku seks menyimpang adalah hal yang tidak tepat pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa pondok pesantren harus berbenah terhadap adanya perilaku seks menyimpang, tetapi harus disadari pula bahwa menghentikan perbuatan seks menyimpang bukan hanya tanggung jawab pondok pesantren. Ada peranan keluarga, masyarakat, dan juga negara agar perilaku tersebut tidak tumbuh subur. Apalagi peranan negara, yang memiliki berbagai perangkat serta aturan hukum yang bisa mencegah, menghentikan, dan menghukum perilaku seks menyimpang. Sayangnya, hal-hal tersebut malah tidak dikritisi oleh pembuat film Wahyu.

 

Karya seni dalam negara yang berasaskan ideologi Islam bukanlah alat jual untuk mencari pundi-pundi harta dan ketenaran semata. Islam akan mendorong sebuah karya seni menjadi alat pembangun peradaban. Di dalam sebuah karya seni akan ada nilai-nilai yang mampu menguatkan keimanan dan ketaatan masyarakatnya pada Sang Khalik bukan malah menuntut kebebasan tanpa batas.

 

Dalam era yang banjir informasi, sudah selayaknya setiap karya seni dan industri hiburan yang muncul di tengah masyarakat harus ada peran pengaturan yang dilakukan oleh negara. Masyarakat butuh hiburan tetapi hiburan yang mendidik, sehat, mencerdaskan, menjaga moral, dan utamanya memperkuat keimanan. Itu hanya bisa didapati jika sistem yang diterapkannya adalah ideologi Islam kafah.[]

Posting Komentar

0 Komentar