Kebijakan Populis Tak Solutif: Membayar Utang Woosh dengan Uang Sitaan Korupsi




Ruruh Hapsari


#Wacana — Beberapa bulan belakangan kencang terdengar bahwa proyek kereta api cepat peninggalan Jokowi terjadi pembengkakan utang yang menembus angka Rp116 triliun atau kurang lebih sekitar 7,2 miliar dolar AS. Tentunya hal ini membuat PT KAI dan konsorsium BUMN kewalahan menanggung kerugian itu.


Dengan melihat kenyataan yang ada, Menkeu Purbaya telah terang-terangan menolak bila utang tersebut dibayar dari dana APBN karena menurutnya pendapatan negara akan terancam bila membayar utang tersebut. Ia juga menyatakan bahwa Danantara yang menerima deviden dari BUMN sebanyak puluhan triliun rupiah dan cukup untuk membayar utang Woosh tiap tahunnya.


Lalu kabar terbaru yang dilansir dari Katadata.co.id, presiden memastikan bahwa negara akan bertanggung jawab dan akan mencicil utang sebanyak Rp116 trilun tersebut. Ia menyatakan bahwa negara mampu membayar utang besar itu dan memastikan bahwa uang untuk membayarnya pun ada (katadata.co.id, 05/11/2025). Walaupun Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa belum ada pembahasan keputusan final mengenai skema pembayaran utang Woosh.


Utang Kereta Cepat


Saat Prabowo menyatakan akan membayarkan utang kereta cepat dengan uang sitaan korupsi, ia juga menyampaikan bahwa Wooosh bermanfaat dari sisi ekonomi juga lingkungan. Manfaat tersebut antara lain menghemat emisi, mengurangi padatnya jalan raya termasuk efisien dalam waktu perjalanan (tvonenews.com, 04/11/2025). Selain itu, presiden juga menyampaikan untuk tidak memberi kesempatan kepada para koruptor untuk merampas harta negara. 


Kebijakan populis ini jelas menyita perhatian rakyat tapi harus didetilkan dahulu pernyataan presiden tersebut. Pertama, pada kenyataannya transportasi darat Jakarta–Bandung sebetulnya tidak mendesak untuk dibangun kereta cepat karena sudah banyak angkutan darat lainnya seperti travel, kereta api regular juga bus. 


Kedua, pemberantasan korupsilah yang harus diperkuat, bukan justru mengambil kesempatan untuk menyita harta korupsi guna menambal pengeluaran negara di pos-pos tertentu. Ketiga, pemerintah juga harus memperhatikan bahwa tiap proyek yang bersumber dari dana utang luar negeri justru akan menjerat dan pada hakekatnya adalah menggadaikan negara.


Realisasi Pembayaran Utang


Terkait dengan hal tersebut, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman memberi tanggapan bahwa walaupun pernyataan presiden tersebut tegas dan politis tapi menurutnya bila dipandang dari tata kelola fiskal, keputusan tersebut mengandung risiko dan akan menimbulkan distorsi baru yang serius terhadap fiskal.


Ditambah lagi menurut Rizal bahwa harta rampasan hasil korupsi akan masuk ke kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh karenanya penggunaan kas tersebut harus sesuai dengan mekanisme APBN dan tidak bisa dengan mudahnya disalurkan ke pos pembayaran lainnya.


Dengan kata lain, keputusan presiden bisa diloloskan apabila revisi regulasi pun dijalankan. Kemudian bila hal ini dipaksakan terjadi pun akan berpotensi untuk bertabrakan dengan prinsip akuntabilitas anggaran. “Ini bukan kebijakan fiskal yang realistis,” ungkap Rizal.


Bila APBN benar akan digunakan untuk menutupi utang kereta cepat, maka menurut Rizal akan muncul preseden fiskal yang berisiko. Hal itu imbas dari pemindahan beban utang korporasi badan usaha milik negara layaknya PT Kereta Api Cepat Indonesia–China (KCIC) kepada pemerintah.  


Rizal menambahkan bahwa bisa jadi pada awalnya tidak banyak imbas dari aktivitas pemindahan utang tersebut dan bisa menenangkan publik tapi akibat jangka panjangnya dapat melemahkan disiplin fiskal dan kredibilitas pengelolaan keuangan.  Oleh karenanya,  Rizal memberikan saran agar pemerintah menggunakan cara lain yaitu dengan melakukan restrukturisasi utang, menurunkan harga, memperpanjang tenor, dan juga mengembangkan pendapatan non tiket dengan skema pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (TOD). 


Achmad Nur Hidayat Ekonom dan pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, memberikan tanggapan yang tak jauh berbeda. Dalam analisisnya ia menyatakan bila uang sitaan korupsi dibayarkan untuk menutup utang Woosh merupakan gagasan yang menarik tapi sayang sulit untuk direalisasikan. Belum lagi uang sitaan korupsi tiap tahunnya mempunyai besaran yang bersifat fluktuatif.


Kebijakan Tidak Solutif


Layaknya menyelesaikan masalah dengan masalah, maka bisa dikatakan bahwa penetapan presiden terhadap pembayaran utang kereta cepat dengan menggunakan dana sitaan adalah tidak pada porsinya. Banyak risiko yang akan terjadi bila hal tersebut dipaksakan. 


Hal yang demikian ini menjadi biasa dalam sistem hidup kapitalisme, utang menggunung padahal kemanfaatan pada rakyat tidak terlalu menyentuh pada akar masalah, yaitu kemiskinan. Kemudian saat jatuh tempo dan terancam gagal bayar, uang rakyatlah yang menjadi tebusan dan hak milik rakyat dalam hal ini pulau, menjadi kompensasi.


Isu santer mark up dalam proyek Woosh ini pun membuktikan bahwa tiap pembangunan bukan dengan niat tulus untuk menyejahterakan rakyat, tapi untuk mempertebal pundi-pundi kekayaan pada kantong-kantong si empunya kebijakan. Pola ini terus terjadi dalam sistem hidup kapitalisme, pembangunan berorientasi rakyat pun menjadi proyek angan-angan. Dikarenakan landasan dibangunnya sistem ini adalah materi yang ada nilai manfaat di dalamnya, sehingga apa pun yang dilakukan harus mengandung dan mempunyai nilai materi.


Tentunya hal ini jauh sekali dibandingkan sistem hidup Islam yang dibangun atasnya nilai keimanan. Bahwa negara mempunyai tanggung jawab memelihara urusan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan. Banyak bukti fisik bagaimana Islam berkuasa selama kurang lebih 1500 tahun selalu memelihara urusan rakyatnya berlandaskan syariat. Oleh karenanya, sistem Islam layak menjadi alternatif pengganti sistem kehidupan saat ini. Wallahualam.[]





Posting Komentar

0 Komentar