Ummu Zhafira
#Bekasi — Kota Bekasi terus berbenah menjadi makin megah. Dengan banyak ikon kota di setiap sudutnya, Bekasi bermetamorfosis layaknya kupu-kupu yang makin molek menggoda para investor. Rencana penataan ulang Alun-Alun M. Hasibuan dan pengembangan kawasan wisata air Kali Malang perlu kita cermati, akankah hal ini membuahkan maslahat di tengah masyarakat atau sebaliknya?
Bekasi Berbenah Lagi
Rencana penataan parkir dan para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Alun-Alun M. Hasibuan mulai direalisasikan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi sejak Agustus tahun lalu. Setidaknya dalam penataan itu terdapat tiga kantong parkir baru yang disiapkan, yakni di Gedung Sartika, Asrama Kodim 05/07 Bekasi, dan Masjid Al-Barkah. Sedangkan untuk para PKL tetap diberikan fasilitas di Jalan Pramuka, baik di dekat Kantor PMI maupun di depan Masjid Al-Barkah. (Radar Bekasi, 30/08/2024)
Terbaru, dilansir dari Pojok Bekasi (18/10/2025), Wali Kota Bekasi Tri Adhianto memastikan area alun-alun akan segera ditata ulang. Rencananya akan dibangun jogging track, area pedestrian yang aman bagi pejalan kaki, dan ruang terbuka hijau yang multifungsi. Hal ini dilakukan agar keseimbangan antara sejarah, gaya hidup, dan ketertiban kota dapat direpresentasikan melalui kehadiran ikon ruang publik modern.
Di sisi lain, Pemkot Bekasi juga mulai fokus pada pelaksanaan proyek pengembangan kawasan Kali Malang sebagai destinasi wisata air. Mereka akan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mewujudkan wisata air dan kuliner di Kecamatan Bekasi Selatan tersebut. Para pengusaha dan pengelola mal di sepanjang area kali akan digandeng untuk menyediakan lahan parkir dan memajukan program ini. (Tribun Bekasi, 18/10/2025)
Komersialisasi Ruang Publik
Kebijakan penguasa Kota Bekasi dalam penataan ulang Alun-Alun M. Hasibuan dan pengembangan destinasi wisata air Kali Malang patut diapresiasi. Hal ini tampak menjadi langkah menuju keteraturan dan kemajuan kota. Penataan ruang publik disertai penertiban PKL dan penyediaan kantong parkir dipandang sebagai simbol kota modern yang tertib serta estetik. Namun, bila dicermati lebih dalam, kebijakan ini menyimpan persoalan. Ada kecenderungan komersialisasi ruang publik di bawah paradigma pembangunan kapitalistik.
Sistem kapitalisme menjadikan pembangunan sebagai sarana untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, bukan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kasus penataan alun-alun tidak bisa dilihat sekadar menata taman saja, tetapi diarahkan untuk menciptakan ruang wisata baru yang mengundang aktivitas ekonomi. Hal ini sudah jamak terjadi; biasanya relokasi PKL dan penataan yang dilakukan akan disusul dengan kehadiran pengusaha kelas kakap di sekitar kawasan.
Dalam pandangan sistem yang mengesampingkan peran agama dari kehidupan, penguasa merupakan fasilitator pasar, bukan pelindung rakyat. Tidak mengherankan jika akhirnya ruang publik seperti alun-alun atau kali dianggap sebagai aset ekonomi yang bisa dikelola bersama sektor swasta. Hal ini dilakukan untuk menarik investasi serta meningkatkan pendapatan daerah. Maka lumrah saja ada pengusaha dan pengelola mal yang dilibatkan dalam kasus pengembangan destinasi wisata air.
Bentuk Kezaliman Kota Kapitalistik
Paradigma pembangunan kota kapitalistik semacam ini merupakan bentuk kezaliman. Hal ini segaris dengan pendapat Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Setiap bentuk pembangunan yang mengubah milik umum menjadi sumber keuntungan bagi segelintir orang adalah bentuk kezaliman yang harus dihentikan.
Mengalihfungsikan ruang publik menjadi destinasi wisata, sumber retribusi, atau magnet ekonomi yang bernilai jual akan merugikan masyarakat dan berujung pada kerusakan lingkungan. Keterlibatan swasta dengan dalih “kolaborasi” akan menyulitkan masyarakat untuk mengakses fasilitas publik. Selain itu, adanya privatisasi ruang dan pengelolaan yang eksploitatif akan memunculkan masalah baru pada lingkungan.
Tidak hanya sebatas mewaspadai kebijakan tata kelola kota yang kapitalistik semacam ini, harus ada upaya untuk menghentikannya. Kenyamanan kota yang penuh dengan kemaslahatan tidak akan mungkin terwujud dengan paradigma warisan Barat, tapi harus dengan paradigma warisan Baginda Nabi Muhammad saw. Islam memiliki konsep yang mulia dalam hal ini.
Islam Menata Kota: Rahmat bagi Semua
Dalam perspektif Islam, pembangunan dilakukan dalam rangka ibadah, yakni melayani urusan rakyat berdasarkan hukum syarak, bukan untuk tujuan ekonomi. Dalam kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah jilid II, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, “Negara bertugas mengurusi urusan rakyat (ri‘ayah syu’un al-ummah) dengan hukum Islam, bukan dengan ukuran keuntungan atau pertumbuhan ekonomi.”
Dengan demikian, penguasa Islam—baik itu khalifah maupun wali—akan menata ruang publik dengan tujuan agar masyarakat bisa beribadah, berinteraksi, dan hidup nyaman dalam koridor syariah, bukan untuk menarik investasi. Jalan, sungai, taman, dan alun-alun merupakan ruang publik yang termasuk milik umum (milkiyyah ‘ammah). Maka Islam mengharamkannya untuk dikuasai, dikomersialisasi, atau dijadikan sarana keuntungan bagi swasta.
Pembangunan kota yang dijalankan oleh Khilafah harus memenuhi tiga prinsip. Pertama, menjaga lingkungan. Ruang publik semisal sungai, taman, dan ruang hijau wajib dijaga kebersihan dan kelestarian fungsinya karena merupakan nikmat dari Allah yang sudah seharusnya dijaga oleh manusia, serta dimanfaatkan dengan baik sebagai tempat rekreasi halal dan sarana ibadah.
Kedua, keadilan. Negara memastikan pedagang kecil dan masyarakat bawah tetap memiliki ruang hidup dan penghidupan yang layak. Dalam hal ini, penataan PKL boleh saja dilakukan jika memang keberadaan mereka mengganggu fungsi publik. Namun, hal ini harus disertai dengan penggantian tempat yang layak, bukan sekadar pemindahan demi estetika atau investasi.
Ketiga, larangan menjadikan ruang publik sebagai komoditas. Negara mengelola langsung harta milik umum untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya kepentingan investor atau pihak tertentu. Untuk itu, pengelolaan taman, sungai, atau alun-alun tidak boleh diserahkan negara kepada swasta dalam rangka bisnis.
Hanya dengan Islam sajalah sebuah kota bisa ditata dengan ruh akidah. Ruh inilah yang akan memastikan terpeliharanya urusan masyarakat yang ada di dalamnya, baik muslim maupun nonmuslim. Pembangunan kota dengan perspektif ini juga tidak hanya membawa rahmat bagi manusia, tapi juga untuk semua—seluruh alam. Karena sejak awal, pembangunan dilakukan dengan tujuan pengabdian kepada Sang Penguasa Jagat Raya, bukan pengusaha yang rakus akan dunia.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Surah Al-Anbiya Ayat 107)

0 Komentar