#SuaraMuslimah — Fenomena
viral yang melibatkan pelajar, termasuk kasus di SMAN 72, kembali memunculkan
kegelisahan kolektif tentang kondisi generasi muda. Dalam wawancara khusus
bersama Ibu Nunuk K., S.Si dari SMK Kes. Sekawan, beliau memaparkan analisis
mendalam mengenai sebab-sebab perilaku remaja yang kian memprihatinkan,
lemahnya sistem pendidikan dalam membentuk karakter, hingga pengaruh kuat dunia
digital terhadap moralitas remaja saat ini. Berikut kami sajikan rangkuman
perbincangannya bersama Muslimah Jakarta Official.
Q: Akhir-akhir ini banyak
fakta viral pada generasi muda, termasuk apa yang terjadi di SMAN 72. Menurut
Ibu, apa penyebab semua ini?
A: Fenomena viral yang
terjadi—termasuk kasus di SMAN 72—menunjukkan adanya tumpukan persoalan yang
dialami pelajar hari ini. Mereka hidup di era digital yang penuh paparan konten
ekstrem, kekerasan, hingga komunitas online yang toksik. Banyak remaja
akhirnya ikut arus tren negatif karena setiap hari mereka disuguhi algoritma
yang memvalidasi emosi, kemarahan, dan kesedihan mereka.
Di dunia nyata, banyak
yang menjadi korban perundungan, tekanan nilai di sekolah, atau kondisi rumah
yang tidak nyaman sehingga tidak bisa bercerita kepada keluarga. Akhirnya mereka
mencari pelarian ke dunia digital, dan di situlah mereka makin mudah terbawa
oleh tren perilaku yang tidak sehat.
Q: Apa yang kurang dari
sistem pendidikan saat ini sehingga berita viral justru banyak datang dari
siswa yang berperilaku di luar batas?
A: Ini memang sangat
disayangkan. Banyak orang menyoroti masalah etika, kurangnya saling menghargai,
dan lunturnya nilai-nilai agama pada remaja. Bahkan meski di P5 ada unsur
“beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia”, faktanya tidak ada instrumen yang
benar-benar mengukur capaian itu. Yang dinilai tetap hanya aspek akademik.
Kalaupun ada guru yang
menerapkan pembinaan karakter, itu sering bergantung pada pandangan pribadi
yang kadang bernuansa sekuler. Misalnya, perilaku pacaran dianggap “hak
pribadi” asalkan bertanggung jawab—tidak ada standar perilaku yang merujuk pada
agama. Inilah persoalan besar kita: belum ada upaya sistemik untuk menjadikan
Islam sebagai standar berpikir dan bertindak.
Q: Apa keterkaitan antara
anak yang sering bermain game online dengan perilaku sehari-harinya?
A: Cara anak bermain game
online dipengaruhi oleh pola pikir dan sikapnya. Namun sebaliknya, game
juga bisa membentuk pola pikir mereka. Dalam game ada interaksi personal
yang kuat. Jika game mengandung kekerasan, pergaulan bebas, atau unsur
pornografi, dan dimainkan terus-menerus, aturan di dalam game itu bisa
dianggap sebagai standar perilaku di dunia nyata.
Belum lagi pengaruh teman online
yang bisa sangat besar dalam membentuk cara mereka berbicara, berpikir, dan
bersikap.
Q: Presiden pernah
menyinggung soal pembatasan game dengan unsur kekerasan seperti PUBG.
Apakah itu solusi tuntas untuk memberantas kekerasan pada generasi muda?
A: Tidak. Bahkan secara
teknis pun sulit diterapkan. Diblokir? Tinggal pakai VPN, selesai.
Kalaupun bisa diblokir,
itu tetap bukan solusi tuntas karena bukan akar masalah. Akar persoalannya
adalah tidak adanya pemahaman hidup yang benar: apa tujuan hidup mereka, aturan
apa yang seharusnya dijadikan standar, dan bagaimana seharusnya mereka menjalani
hidup sebagai seorang muslim. Kalau konsep hidupnya saja tidak jelas, mereka
akan mudah terbawa arus apa pun yang trending.
Q: Sebelum adanya Android,
kenakalan remaja sudah ada. Jadi apakah kerusakan generasi semata-mata akibat game
online?
A: Betul, kenakalan remaja
sudah ada sejak dulu. Namun, internet yang murah, game yang melimpah,
dan komunitas online yang bebas membuat intensitas dan ragam kenakalan
meningkat tajam.
Tawuran misalnya, dulu
terbatas antar sekolah. Sekarang lewat grup media sosial, koordinasinya jauh
lebih cepat dan masif. Bahkan remaja dari sekolah lain bisa ikut hanya karena
ingin ikut berkelahi.
Begitu pula kasus
prostitusi anak. Jika dulu dominan karena paksaan, sekarang muncul karena
normalisasi gaya hidup konsumtif. Ada yang rela membuka diri di konten,
berjoget vulgar, atau live demi saweran untuk membeli gawai atau barang
mewah.
Q: Apakah pendidikan saat
ini tidak mampu membentuk anak menjadi generasi terdidik?
A: Sayangnya, iya. Sistem
pendidikan kita tidak sistemik membentuk karakter, meski itu tercantum dalam
tujuan pendidikan nasional. Kriteria naik kelas atau lulus tidak memasukkan
aspek karakter, apalagi membentuk generasi berkarakter Islam. Nol.
Selain itu, pendidikan
anak tidak bisa hanya bertumpu pada sekolah. Sistem sosial, ekonomi, dan hukum
juga sangat berpengaruh. Anak diberi tahu bahwa judi itu berbahaya, tapi setiap
hari mereka terpapar iklan judi online, kondisi ekonomi sulit, dan
budaya flexing di media sosial. Sementara bandar judi tidak diberantas
tuntas. Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi terdidik dalam kondisi
yang seperti ini?

0 Komentar