NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Viralnya aksi seorang siswa yang melakukan siaran langsung di TikTok saat mengikuti Tes Kemampuan Akademik (TKA) memantik sorotan tajam publik. Dalam video yang beredar luas di media sosial, siswa itu tampak memegang ponsel dan menyiarkan suasana ujian secara langsung. Aksi tersebut mungkin terlihat sepele di mata sebagian orang, tetapi sesungguhnya mencederai nilai kejujuran akademik yang menjadi dasar dari setiap proses pendidikan. (kompas.com, 04/11/2025)
Mengutip Kompas.com (04/11/2025), Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikdasmen menegaskan bahwa tindakan itu merupakan pelanggaran berat terhadap tata tertib ujian. Dalam Keputusan Mendikdasmen Nomor 95/M/2025, peserta dilarang membawa alat komunikasi, memotret, atau merekam soal ujian dalam bentuk apa pun. Sanksinya jelas: nilai nol dan pembatalan hasil ujian.
Langkah cepat pemerintah menelusuri pelaku memang patut diapresiasi. Namun, peristiwa ini menyisakan pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan kita sudah cukup kuat menanamkan integritas di tengah derasnya arus digital?
Fenomena siswa yang live TikTok saat ujian menggambarkan pergeseran nilai di kalangan generasi muda. Kebutuhan akan eksistensi di media sosial kerap mengalahkan kesadaran moral. Dalam pandangan pakar pendidikan yang dikutip KalderaNews (05/11/2025), kasus ini menunjukkan lemahnya literasi digital serta minimnya pemahaman siswa terhadap etika daring.
Warganet pun ramai bereaksi. Seorang pengguna X menulis, “Yang live soal bocoran TKA gini tuh nggak ada otak, kebelet viral banget!” (akun @Cut****, *RadarSolo*). Ada pula yang mengeluhkan ketidakadilan sistem ujian, “Mati-matian belajar TKA, tiba-tiba ada yang live TikTok pas ujian. Serius, sistem kayak gini adil?” Komentar lain menyoroti lemahnya pengawasan: “Banyak banget soal bocor, ada yang live TikTok, ada yang dijadikan transaksi. Ini udah nggak adil buat siapa pun.”
Di Instagram, muncul komentar yang lebih reflektif: “Kenapa ya, kita nggak bisa lepas dari hal seperti ini? Integritas itu harusnya jadi hal utama, bukan sekadar nilai.” Gelombang reaksi ini menandakan bahwa publik tidak hanya geram pada pelaku, tetapi juga menuntut pembenahan sistem pendidikan yang lebih menyentuh aspek karakter.
Nilai kejujuran sejatinya merupakan akar budaya bangsa Indonesia sekaligus ajaran utama dalam Islam yang dianut mayoritas rakyatnya. Dalam Islam, kejujuran (shidq) dan amanah menjadi dasar akhlak. Rasulullah saw. bersabda, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.” (Hadis Riwayat Tirmidzi)—prinsip ini tidak hanya berlaku di pasar, tetapi juga di ruang ujian: mencontek, membocorkan, atau merekam soal adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilmu.
Islam juga mengajarkan ihsan—berbuat sebaik-baiknya meski tak ada yang melihat, karena yakin Allah selalu mengawasi. Bila nilai ini tertanam, siswa tidak perlu diawasi kamera untuk tetap jujur. Mereka belajar karena ingin mencari ilmu, bukan sekadar nilai.
Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu melangkah lebih jauh daripada sekadar memperketat pengawasan atau menambah aturan. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai agama dan budaya Islam harus menjadi pondasi utama. Sekolah tidak cukup hanya mengajar, tetapi juga menanamkan kesadaran moral—bahwa kejujuran adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab sosial.
Kasus “live TikTok saat TKA” adalah cermin bagi kita semua. Aksi tersebut menegaskan bahwa kemajuan teknologi tanpa penguatan karakter hanya akan melahirkan generasi cerdas tanpa arah moral. Pendidikan seharusnya melahirkan manusia berilmu sekaligus berakhlak.
Pada akhirnya, ujian terbesar dalam dunia pendidikan bukanlah seberapa tinggi skor yang diraih, melainkan seberapa kuat kepribadian Islam pada generasi sebagai pondasi yang dijunjung tinggi negeri ini. Pendidikan sejatinya mampu menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam diri peserta didik. Sebab tanpa kejujuran, kecerdasan hanyalah angka tanpa makna.[]

0 Komentar