#Reportase — Di tengah kondisi ekonomi bangsa yang makin menantang, masyarakat merasakan beban pajak yang terus meningkat, sementara manfaatnya belum sepenuhnya dirasakan secara merata. Banyak yang mempertanyakan arah dan prioritas pembelanjaan pemerintah, termasuk di Kota Tangerang Selatan.
Belum lama ini, komentar viral dari seorang warga Tangsel, Leonny, kembali membuka mata tentang berbagai tarikan pajak dan penggunaan anggaran daerah yang dinilai kurang tepat sasaran dan jauh dari kebutuhan rakyat. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem keuangan yang bertumpu pada pajak dan utang belum mampu mewujudkan kesejahteraan yang hakiki.
Sebagai umat Islam, sudah sepatutnya untuk menengok kembali ajaran syariat Islam yang sempurna. Islam memiliki sistem keuangan yang adil dan penuh keberkahan, yang telah terbukti mampu membangun masyarakat yang sejahtera melalui pengelolaan baitulmal dan prinsip-prinsip ekonomi yang berpihak kepada rakyat.
Dalam semangat membangun kesadaran dan kepedulian bersama, Muslimah Kota Tangsel mengadakan forum Diskusi Inspiratif Muslimah Tangsel bertajuk “Mengenal Lebih Dekat Keuangan Islam yang Menyejahterakan”, pada Ahad (02/11/2025).
Hadir sebagai Keynote Speaker, Ustazah Bintoro Siswayanti, M.Si., yang mengawali presentasinya berjudul “Tangsel Sejahtera dengan Islam”, dengan kutipan Al-Qur'an Surah Al-Hasyr Ayat 7, yang artinya “Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Ustazah Bintoro menyoroti pengelolaan harta yang dimiliki suatu daerah, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tangsel (pun daerah lain) diperoleh dari pajak. “Di sistem Kapitalis seperti saat ini, usaha atau bisnis apapun pasti ada pajaknya, tinggal nanti disetor ke Daerah atau ke Pusat”, ulasnya. Meskipun ada bermacam pajak, tetap saja tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan, bahkan menjadi beban bagi rakyat. Padahal, harusnya ada kompensasi yang menjadi hak rakyat yaitu pembangunan, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Jika penerapan sistem kapitalisme tak mampu menyejahterakan rakyat, bagaimana solusinya dalam Islam? Ustazah Bint, begitu beliau akrab disapa, menjelaskan, “Islam memiliki konsep tentang kepemilikan harta. Ketika sistem Kapitalis meniscayakan semua barang bisa menjadi milik pribadi termasuk laut yang bisa dipagari, dan sistem Sosialis menganggap semua barang bisa menjadi milik negara; Islam memiliki pandangan yang unik. Dalam Islam, harta benda bukanlah milik pribadi dan bukan pula milik bersama, melainkan milik Allah. Gunung, laut, tambang tidak bisa dimiliki individu.”
Islam memiliki berbagai sumber keuangan negara. Dari kepemilikan individu ada zakat, hibah, dan infak. Dari kepemilikan umum ada tambang besar, barang yang menjadi kepemilikan umum, dan barang yang tidak dapat dimiliki individu. Dari kepemilikan negara ada jizyah, kharaj, ganimah, fai, rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad, ‘ushyr/maks, lahan dan bangunan milik negara, dan dharibah/pajak. “Dari ketiga kepemilikan ini, sumber yang ada cukup, bahkan surplus tanpa mengandalkan iuran pajak rakyat,” pungkas Ustazah Bint, yang juga seorang Peneliti di Tangsel ini.
Narasumber pertama, Ustazah Reni Tri Yuli Setiawati, S.Si., menyampaikan materi berjudul “Reposisi Pajak-Berkeadilan dan Berkah”. Diawali dengan definisi pajak; dalam Kapitalisme pajak adalah badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UUKU: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1). Dalam Islam, pajak adalah harta yang Allah wajibkan kepada kaum muslimin untuk membiayai apa saja yang menjadi kebutuhan/pos-pos yang Allah wajibkan dengan syarat dan ketentuan tertentu (yakni dalam kondisi kas kosong). Ustazah Reni yang juga seorang Jurnalis ini menjelaskan, “Reposisi berarti meletakkan kembali ke posisi yang benar, sehingga perlu ada acuan yakni Al-Quran, As-sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Saat ini Rasulullah saw. sudah wafat. Namun ada jalur yang disediakan yaitu melalui ulama sebagai waratsatul anbiya. Learn history, repeat victory, kejayaan bisa diulang dengan mempelajari sejarah.”
Dari PAD Kota Tangsel dan postur APBN 2025, komponen terbesar adalah pajak dan utang. Jika tidak ada pajak, maka negara akan ambruk. Makin banyak penduduk, makin defisit, makin banyak utang. “Ini bukanlah semata salah Pemerintah, tapi merupakan kesalahan penerapan sistem kapitalis, yang meniscayakan pemerintah sebagai jibayah (pemalak), bukan periayah (pengurus) rakyat,” ungkap Ustazah Reni.
Dalam Islam, pajak tidak menjadi andalan untuk pendapatan negara. Negara pun sangat menghindari utang, terutama utang yang mengganggu kedaulatan negara. Ustazah Reni memaparkan dalam Islam ada 12 sumber pemasukan negara antara lain anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj; jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara berupa tanah, bangunan, sarana umum, dll.; ‘usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus barang temuan dan barang tambang; harta yang tidak ada ahli warisnya; harta orang murtad; zakat; dan dharibah (pajak), jika kondisi darurat. Beberapa syarat penarikan pajak antara lain diambil jika kas negara tidak ada uang atau harta, diambil dari laki-laki muslim kaya, tidak boleh dipungut dari warga negara kafir zimi, harus sesuai dengan jumlah yang diperlukan, dan tidak boleh bersifat permanen.
Terakhir, Ustazah Reni menyampaikan, reposisi pajak berarti pajak harus dikembalikan dalam konsep Islam, yang tidak membebani rakyat. “Terbukti sepeninggal Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Muntafi, kondisi keuangan negara surplus, tanpa defisit,” pungkas Ustazah Reni.
Ustazah Sarah Adilah Wandansari, M.A., selaku narasumber kedua mengawali pemaparannya dengan menceritakan Gubernur Abdul Hamid bin Abdul Rahman di Irak pada satu masa, yang disurati oleh Khalifah agar membayarkan gaji dan hak-hak para pegawainya. Gubernur membalas, hal itu sudah dilakukan. Lalu agar gubernur tersebut mencari orang yang terlilit utang tapi yang tidak boros, agar dibayarkan utangnya. Gubernur membalas, tidak ada yang terlilit utang. Lalu agar gubernur mencari laki-laki yang mau menikah tapi tidak punya harta agar dibayarkan maharnya. Gubernur membalas semua sudah dinikahkan. Akhirnya, Khalifah memerintahkan untuk mencari orang yang membayar jizyah dan mempunyai tanah kharaj agar diberi modal dan jangan menuntut pinjaman tersebut kecuali setelah 2 tahun atau lebih. Jadilah orang kafir (dzimmy) yang menerima manfaatnya. Khalifah itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Beliau terkenal sebagai pemimpin yang bersih. Harta baitulmal begitu banyaknya, sampai yang mau menerima tidak ada. Baitulmal adalah lembaga yang berkaitan dengan keuangan. Perihal keuangan adalah refleksi dari sistem ekonomi.
Ustazah Sarah memaparkan materinya dengan judul “Tata Kelola Islam untuk Memenuhi Kebutuhan Rakyat”. Dalam Islam, orang kaya tidak pamer dan menindas rakyat. Kepemilikan individu dalam Islam diperbolehkan tapi tidak bebas. Karakteristik sistem keuangan dalam Islam antara lain: Islam memandang kekayaan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan manusia; dalam konteks negara, Islam mewajibkan untuk mengurus rakyat. Islam menetapkan metode perolehan dan distribusi harta untuk mencegah terpusatnya harta pada satu golongan sehingga hak golongan lain terampas.
Islam memandang adanya hak bagi individu; mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa diskriminasi. Islam melarang pembelanjaan, pengembangan, dan penggunaan harta dengan cara yang haram. Sistem keuangan Islam mengatur jenis pendapatan, syarat, kewajiban, dan metode penyalurannya. Baitulmal berfungsi untuk mengumpulkan pendapatan dan membelanjakan harta sesuai dengan apa yang telah syariat tetapkan. Khalifah berdasarkan syara diberi kewenangan untuk mengelola baitulmal berdasarkan syara dengan memperhatikan kemaslahatan umat. Khalifah sebagai kepala negara tidak wajib membuat anggaran tahunan dan tidak perlu meminta majelis umat dalam penyusunan dan penggunaan anggaran.
Terkait baitulmal, harta yang dikumpulkan dari satu wilayah bukanlah milik wilayah tersebut secara khusus, tetapi milik seluruh kaum muslimin. “Harta baitulmal dibelanjakan berdasarkan kebutuhan (maslahah) dan prioritas, bukan berdasarkan tempat di mana harta itu diperoleh. Baitulmal dikelola dengan cara pandang ri’ayah, bukan bisnis. Keuangan baitulmal bersifat sentralisasi (terpusat) dalam kebijakan dan desentralisasi (otonom) dalam pengelolaan,” jelas Ustazah Sarah.
Politik ekonomi Islam menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer dan membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder/tersier. Kebijakan keuangan publik bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang stabilitas keuangannya merata dan kemakmurannya terjamin.
Terakhir, Ustazah Sarah menyampaikan, “Paradigma kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam adalah bahwa kekuasaan dan kepemimpinan ada karena Islam dan untuk tegaknya Islam. Kepemimpinan ada karena Islam memerintahkan agar mengangkat pemimpin, dan kekuasaan itu ada karena Islam telah menjadikan adanya hak bagi pemimpin untuk ditaati sekaligus kewajiban untuk menerapkan Islam.”
Acara Diskusi Inspiratif ditutup dengan doa dan ramah tamah. Para peserta yang terdiri dari tokoh ormas, mubaligah, aktivis muslimah, dan pegiat dakwah sangat antusias dan bersemangat untuk hadir di forum selanjutnya. Forum ini dinilai sangat memberi wawasan dan pencerahan tentang sistem Islam yang saat ini ditinggalkan, dan memberi semangat untuk makin giat memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.[Ida Aya]

0 Komentar