Mengkritisi Argumentasi terhadap Usulan Gelar Nobel Perdamaian

 



Penulis: Dr. Hj. Nurunnisa, S.H., M.H.

SUARA INTELEKTUAL – Beberapa kampus Islam negeri secara terbuka menyatakan dukungan terhadap pengusulan Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., Menteri Agama RI, sebagai penerima Nobel Perdamaian. Dukungan ini disampaikan melalui surat resmi, forum akademik, dan pemberitaan di kanal Kementerian Agama. Para pendukungnya menilai beliau berhasil membangun jembatan perdamaian global melalui diplomasi antaragama di berbagai forum internasional, termasuk dialog lintas iman di Vatikan, Jenewa, dan London.

Selain dikenal sebagai tokoh yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai wasatiah (moderat), Nasaruddin Umar juga sering menekankan pentingnya toleransi dan inklusivitas sebagai identitas Islam Indonesia di mata dunia. Ia juga menggagas konsep ekoteologi Indonesia, yakni pendekatan yang mengintegrasikan spiritualitas Islam dengan tanggung jawab ekologis. Melalui konsep ini, agama tidak lagi dipandang sekadar sumber moralitas individual, melainkan juga menjadi landasan etika sosial dan lingkungan.

Di bawah kepemimpinannya, Kemenag meluncurkan sejumlah inisiatif, seperti Gerakan Masjid Ramah Lingkungan, program Green Hajj, serta AICIS+ (Annual International Conference on Islamic Studies Plus) 2025, yang mana simbol “+” menandai perluasan fokus pada isu kemanusiaan, moralitas global, dan kelestarian bumi. Dukungan terhadapnya pun meluas hingga ke berbagai tokoh lintas agama dan akademisi internasional yang menilai pendekatannya sejalan dengan semangat interfaith dialogue yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga dunia seperti PBB dan UNESCO.

Paradigma Perdamaian Dunia dan Problem Kedaulatan Bangsa

Sekilas, narasi ini tampak sebagai langkah besar menuju perdamaian global. Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, gagasan tersebut sesungguhnya berakar pada paradigma perdamaian versi Barat—yang bersifat sekuler dan humanistis.

Dalam sistem nilai Barat, perdamaian diartikan bukan sebagai ketaatan manusia kepada aturan Sang Pencipta, melainkan sebagai kompromi antara berbagai kepentingan manusia. Agama ditempatkan hanya sebagai unsur etika, bukan sebagai sumber hukum kehidupan. Paradigma semacam ini justru menjadi akar krisis peradaban manusia modern. Selama lebih dari empat abad, dunia berada di bawah dominasi sekularisme. Namun, alih-alih menghadirkan kedamaian, yang muncul justru perang, ketimpangan ekonomi, degradasi moral, dan krisis lingkungan.

Dalam konteks ini, logika pemberian Nobel Perdamaian menjadi problematik. Penghargaan tersebut sering tidak diberikan kepada sosok yang menegakkan keadilan hakiki, melainkan kepada mereka yang dinilai “kompatibel” dengan ideologi global sekuler. Tokoh yang menyesuaikan ajaran agamanya dengan nilai-nilai pluralisme dan modernitas Barat sering dianggap “pembawa perdamaian”. Padahal dalam Islam, perdamaian bukanlah kompromi terhadap akidah, melainkan buah dari ketaatan terhadap hukum Allah Taala. Islam menempatkan perdamaian sebagai konsekuensi dari tegaknya keadilan syariat, bukan hasil diplomasi politik.

Allah Swt. berfirman, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS Al-Anfal [8]: 61). Ayat ini menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin terwujud dalam bingkai ketaatan kepada Allah, bukan berdasarkan kesepakatan manusia yang berubah-ubah.

Tatanan Dunia Berdasarkan Fitrah dan Kedaulatan Ilahi

Dunia hari ini menghadapi krisis multidimensi: perang, kesenjangan ekonomi, kehancuran moral, hingga kerusakan lingkungan, semuanya berpangkal pada satu hal dari peradaban yang dibangun tanpa bimbingan wahyu. Sistem yang bertumpu pada sekularisme menyingkirkan Allah Swt. dari kehidupan publik dan menjadikan manusia sebagai sumber hukum. Kebenaran pun akhirnya diukur berdasarkan kekuasaan dan keuntungan materiel.

Selama standar baik-buruk, benar-salah, dan adil-tidak adil ditetapkan oleh manusia, maka ia akan terus berubah mengikuti kepentingan politik dan ideologi. Dalam kondisi seperti ini, perdamaian yang diklaim dunia modern hanyalah semu karena berdiri di atas kompromi, bukan keadilan yang hakiki.

Dalam perspektif Islam, kedaulatan tertinggi ada pada hukum syarak yang berasal dari Allah Swt., bukan pada rakyat atau penguasa. Hal ini berarti seluruh hukum, baik yang berlaku di masyarakat maupun yang dibuat oleh penguasa, harus tunduk pada syariat Allah dan Rasul-Nya. Kekuasaan yang dijalankan oleh pemimpin (khalifah) bersifat sebagai pelaksana hukum syarak yang telah diamanahkan umat kepadanya, bukan berupa kekuasaan legislatif yang mutlak berada di tangannya karena Allah Swt. adalah Pembuat Hukum Tertinggi yang memiliki kedaulatan absolut dan tidak terbatas. Manusia bertindak hanya sebagai pengelola yang diberi wewenang terbatas untuk menjalankan semua hukum-Nya.

Segala perselisihan, baik dalam urusan individu maupun sistem, harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunah. Seseorang tidak dianggap beriman sampai menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai hakim dalam segala perselisihan dan mereka menerima keputusannya. Ini juga berlaku ketika penguasa negara di tangan para khulafaurasyidin dan penerus kekhalifahan selanjutnya.

Poinnya, kekuasaan untuk menetapkan hukum hanya milik Allah Taala. Manusia, termasuk penguasa, tidak berhak membuat hukum karena hal itu akan menjadi bentuk penyimpangan dari syariat. Sedangkan penguasa yang dipilih oleh umat adalah untuk melaksanakan hukum syarak, mereka bertindak sebagai wakil rakyat yang menjalankan perintah Allah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan sebaliknya. Kekuasaan kehakiman (yudikatif) pun berada pada khalifah atau yang mewakilinya, yang kemudian mengangkat para hakim (kadi) untuk menegakkan keadilan sesuai hukum syarak.

Selanjutnya, segala kebijakan negara harus disesuaikan dengan syariat Islam. Jika penguasa menyimpang, umat berkewajiban mengontrol dan mengingatkan. Ketaatan kepada penguasa hanya berlaku selama mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika penguasa memerintahkan kemaksiatan, mereka tidak wajib ditaati. Alhasil, konsep ini bertentangan dengan sistem demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat.

Sejatinya, Islam menawarkan tatanan dunia yang rasional dan sesuai fitrah manusia. Rasionalitas dalam Islam berarti berpikir berdasarkan fakta yang dihubungkan dengan hukum Allah Taala. Fitrah manusia sejatinya mengakui keberadaan Sang Pencipta, serta cenderung kepada keadilan dan menolak kezaliman. Oleh karena itulah, perdamaian dan keadilan sejatinya hanya dapat terwujud apabila kehidupan diatur berdasarkan aturan Allah Swt., bukan hasil kompromi manusia yang terbatas.

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam (hlm. 52), “As-siyādah li asy-syar’i lā li al-ummah (kedaulatan itu milik syarak, bukan milik umat).” Artinya, seluruh hukum dan keputusan dalam kehidupan harus bersandar pada wahyu, bukan pada kesepakatan manusia. Prinsip inilah yang menjamin keadilan universal dan perdamaian hakiki sebab ukurannya tidak lagi bergantung pada mayoritas, melainkan pada hukum Allah yang Maha Adil.

Allah Swt. berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 124).

Dengan demikian, dunia membutuhkan tatanan dunia baru yang menempatkan wahyu sebagai sumber hukum dan akidah Islam sebagai asas kehidupan. Dalam hal ini, hanya sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah yang mampu mewujudkan perdamaian hakiki. Ini karena ia berdiri di atas prinsip kedaulatan Ilahi, keadilan syariat, dan keselarasan dengan fitrah manusia.

Perdamaian sejati bukanlah hasil negosiasi politik atau simbol penghargaan internasional, melainkan buah dari ketaatan manusia kepada Allah Swt. dan penerapan hukum-Nya secara menyeluruh dalam kehidupan.

Posting Komentar

0 Komentar