Hanimatul Umah
#Bekasi — Guru honorer yang berjumlah 296 orang di Kota Bekasi menuntut kepada Pemerintah agar segera merealisasikan pengangkatan sebagai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) paruh waktu. Meskipun sudah melewati proses tahapan seleksi, seperti seleksi administrasi dan Daftar Riwayat Hidup (DRH). Para guru tersebut bukan sekadar memperjuangkan status kepegawaian saja, tetapi lebih kepada pengabdian mereka yang sudah bertahun-tahun sebagai tenaga pengajar, Bekasisatu.com (7-11-2025).
Prosedur Administrasi dan Birokrasi Rumit
Prosedur pengangkatan guru menjadi P3K yang rumit ini sehingga guru jauh dari kata sejahtera. Seperti dengan adanya ujian P3K guru justru memicu persoalan baru, dan makin menyulitkan guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, karena passing grade (nilai ambang batas) yang terlalu tinggi menjadikan guru honorer yang sudah lanjut usia tidak lolos dalam ujian seleksi. Hal ini yang menjadi penyebabnya mengapa guru tak kunjung menjadi berstatus P3K, tentunya membawa dampak kesejahteraan ekonomi.
Pendidik/guru memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak generasi bangsa. Sayangnya, sistem negeri yang mengadopsi kapitalisme sekuler ini menjadikan guru seolah tidak mendapatkan perhatian yang prima. Bahkan guru sering kali mengorbankan waktunya ketika sepulang sekolah. Misalnya harus mengevaluasi nilai siswa, membuat soal ulangan harian, tidak jarang pula wali murid berkonsultasi anaknya di luar jam sekolah.
Kapitalisme Abai Terhadap Tenaga Pendidik
Ironisnya, kendala pengangkatan guru tersebut disebabkan minimnya anggaran pendidikan, justru memprioritaskan anggaran lain seperti pembangunan infrastruktur yang memang sudah memenuhi syarat sebelumnya. Pada akhirnya memunculkan masalah yaitu menurunnya kualitas pendidikan dan kinerja guru karena telah mengabaikan hak tenaga pendidik yaitu memperoleh upah yang layak. Guru pun tidak sedikit yang berkerja sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan akibat jomplangnya pendapatan dan kebutuhan hidup, lebih parahnya tidak sedikit mereka yang terjerat pinjol (Pinjaman Online).
Dalam kapitalisme pun menempatkan posisi guru yang dengan mudah bisa digantikan pekerja yang baru, dari sini maka guru tidak memiliki kekuatan untuk menuntut hak-hak mereka, dengan kata lain sistem pendidikan ala kapitalisme seperti komoditas yang mudah diperdagangkan. Karena tujuan yang ingin diraih hanyalah semata-mata memperoleh manfaat secara materi saja.
Sementara itu, beban pengajar yang makin berat seperti menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), serta tidak sedikit kurikulum yang ada membuat guru makin tertekan sehingga tidak fokus dalam mengajar. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem yang berkeadilan agar nasib guru tidak terombang-ambing seperti di sistem yang fasad ini.
Islam Memuliakan Guru
Negara berkewajiban menyejahterakan rakyat seluruhnya, tak terkecuali guru. Karena Islam memandang guru adalah profesi mulia yang bertugas mendidik umat menjadi insan bertakwa. Mendidik dan mengajar dalam Islam didasari niat ikhlas dan memperoleh pahala dan diperbolehkan mengambil upah dari hasil mengajar itu.
Negara memberikan gaji guru sangat fantastis, di masa Khalifah Umar Ibn Khattab dengan menggaji 15 dinar, 1 dinar emas setara 4,25 gram emas. Pun pada masa Khalifah Harun al-Rasyid memberikan upah tahunan kepada penghapal Al-Qur'an rata-rata 2.000 dinar, sedangkan periwayat hadis mendapat 2x lipat atau 4.000 dinar.
Jika direalisasikan dengan mata uang rupiah saat ini sangatlah membuat guru naik sejahtera. Pemerintah dalam sistem Islam sangat memberi kelayakan upah guru, sebab guru dipandang orang yang membawa kemaslahatan umat membawa kemajuan peradaban dan mencerdaskan bangsa. Hanya dalam sistem Islam, guru memperoleh kemuliaan dan keadilan, tentu dalam bingkai Islam kafah. Wallahualam.[]

0 Komentar