Muslimah News, EDITORIAL – Peringatan Hari Santri sudah memasuki satu dekade. Tema tahun ini adalah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”. Presiden Prabowo Subianto mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan. Ia juga menyinggung Resolusi Jihad yang dipelopori oleh ulama sekaligus tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad memang sangat fenomenal pada masanya. Fatwa ulama ini telah berhasil memobilisasi kekuatan para santri untuk melakukan jihad fi sabilillah melawan pihak Belanda yang berupaya membonceng pada tentara NICA (sekutu) untuk kembali menjajah Indonesia. Hingga selanjutnya, terjadilah puncak perlawanan para santri tersebut pada10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Refleksi Sejarah Perlawanan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “santri” sendiri memiliki dua makna, yaitu (1) orang yang mendalami agama Islam, dan (2) orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Adapun secara istilah, kata “santri” juga sering dinisbahkan kepada para pemuda yang sedang menimba ilmu agama dari para ulama di lembaga pendidikan yang disebut sebagai pesantren.
Sejarah mencatat, para santri dan ulama—yang sejatinya merupakan para intelektual muslim—berperan sangat besar dalam membangun dan menjaga peradaban Islam dan eksistensi bangsa ini di bumi Nusantara. Merekalah yang mengkaji dan mempraktikkan ajaran-ajaran Islam, lalu menyebarluaskannya ke berbagai pelosok negeri, hingga ajaran Islam pun menjadi identitas dan karakter bangsa yang kemudian dikenal dengan nama “Indonesia”.
Salah satu karakter yang menonjol dari umat Islam adalah jiwa perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penjajahan. Semuanya terpancar dari pemahaman tentang ajaran Islam, khususnya ajaran jihad fi sabilillah. Spirit inilah yang terus terpelihara hingga sepanjang era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggeris dan Belanda, juga saat penjajah Jepang datang mengaku sebagai saudara tua, sejarah bangsa kita tidak lepas dari kisah perlawanan dan heroisme melawan penjajahan.
Ada banyak contoh kisah perjuangan para santri dan ulama dalam mengusir penjajahan. Siapa tidak kenal Sunan Kudus yang bersama Pati Unus dari Kesultanan Demak memimpin dan menyusun strategi penyerangan pada pihak Portugis di Malaka pada1511? Beliau adalah salah satu wali sanga yang juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak.
Perang Padri (1803–1837) di Sumatra Barat, Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825–1830), dan yang terlama adalah Perang Aceh (1873–1912). Semuanya dikenal sebagai peperangan yang melibatkan para santri dan ulama. Dalam perang Diponegoro misalnya, disebutkan bahwa pengikut yang paling menonjol berasal dari santri perdikan. Di dalamnya ada beberapa nama Kiai yang membawa para santrinya untuk menjadi pasukan perlawanan, seperti Kiai Mlangi dan Kiai Mojo.
Di Jawa Barat, kita mengenal sosok Kiai Haji Zaenal Mustofa (1899–1944). Beliau adalah pemimpin pondok pesantren Sukamanah Tasikmalaya yang secara konsisten memimpin perlawanan sejak masa pendudukan Belanda hingga penjajahan digantikan oleh Jepang. Banyak santrinya yang menemui syahid, sementara beliau sendiri bersama puluhan santri lainnya diadili di Jakarta dan makamnya ditemukan puluhan tahun kemudian di antara makam-makam tentara Belanda.
Masih banyak selain mereka, para ulama dan santri yang berkontribusi besar dalam membebaskan Nusantara dari penguasaan fisik bangsa kafir penjajah. Di antara mereka ada yang melakukan perlawanan dengan perjuangan sosial dan politik membentuk berbagai pergerakan umat bervisi global, terutama pergerakan untuk merespons keruntuhan Khilafah sebagai payung politik umat Islam.
Muncullah pergerakan Syarikat Islam yang diinisiasi H. Samanhoedi (1905) yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam. Beliau adalah santri pada beberapa ponpes perjuangan termasuk pernah berguru pada K.H. Zaenal Mustafa di Tasikmalaya. Lalu pada 1920, H.O.S. Tjokroaminoto—keturunan langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Ponpes Tegalsari Ponorogo—mengubahnya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan menjadikan partainya sebagai kendaraan politik dalam melawan pendudukan dan memperjuangkan politik Islam di panggung kekuasaan.
Berdiri pula pada masa-masa itu organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, seperti Muhammadiyah (1912) oleh K.H. AhmadDahlan, Nahdatul Ulama (1926) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri, dll., yang semuanya digagas oleh para ulama dan diikuti para santrinya. Bahkan, mereka pada akhirnya terjun di kancah perjuangan politik untuk melawan kolonialisme hingga penjajahan fisik dan militer itu bisa berakhir.
Semua itu mereka lakukan tentu bukan karena dorongan naluri semata, melainkan karena dorongan ideologis yang lahir dari kesadaran bahwa Islam adalah yang begitu sempurna dan unggul di atas sistem-sistem yang lainnya.
Perjuangan Santri Belum Selesai
Saat ini, penjajahan fisik dan militer di bumi Indonesia memang sudah berakhir, tetapi perjuangan kaum santri dan ulamanya sejatinya belum selesai. Pasalnya, praktik penjajahan tidak lagi berbentuk okupasi atau kolonialisme, melainkan sudah berubah bentuk menjadi neoimperialisme yang lebih halus dan lebih berbahaya. Jenis penjajahan ini menyusup ke berbagai sendi kehidupan, baik melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum dan hankam, maupun propaganda media.
Realitasnya, saat ini kekuasaan politik dan kehidupan masyarakat sedang dicengkeram oleh kekuatan kapitalisme global di bawah pimpinan negara-negara adidaya terutama Amerika dan sekutunya. Mereka dengan kekuatan politik dan ekonominya berhasil melemahkan kekuatan politik dan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, sehingga kondisi negeri kita selayaknya negara yang belum merdeka.
Setelah era kemerdekaan, negara-negara kapitalis itu berhasil merusak kekuatan dan spirit juang umat Islam melalui perang pemikiran dan budaya. Mereka menanamkan berbagai paham yang bertentangan dengan Islam, seperti sekularisme, demokrasi, nasionalisme, dan liberalisme, hingga ajaran Islam kehilangan esensinya sebagai ideologi perlawanan, ideologi pemersatu, sekaligus problem solver bagi seluruh masalah kehidupan. Dengan cara inilah mereka melanjutkan umur penjajahan. Mereka pecah belah umat dalam batas-batas imajiner bernama negara bangsa, lalu mereka ikat negara-negara bangsa itu dengan berbagai perjanjian internasional yang membelenggu kedaulatannya.
Tidak heran jika dalam konstelasi politik internasional, negeri-negeri umat Islam (termasuk Indonesia) terposisi sebagai negara pengekor. Bahkan, meski negeri ini memiliki SDM superbesar hingga dikenal sebagai negeri muslim terbesar, juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar, tetapi nyaris seluruh aset yang dimilikinya dikuasai oleh kekuatan kapitalis global melalui tangan para penguasa yang menjadi anteknya. Tidak ada yang tersisa bagi rakyat banyak, kecuali kemiskinan, kesedihan, dan masa depan suram.
Dalam konteks inilah para santri dan ulama sebagai bagian dari kaum intelektual diharapkan mampu membaca dan memahami keadaan. Sehingga peran mereka sebagai motor perubahan sekaligus sebagai pemimpin perlawanan pun benar-benar kembali sangat diharapkan. Terlebih secara kuantitatif jumlah mereka juga besar, sehingga keberadaannya tidak mungkin diabaikan.
Kementerian Agama (Kemenag) mencatat pada Oktober 2025, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 42.391 unit, dan tersebar di seluruh Indonesia. Mayoritasnya berada di Jawa Barat (12.977 pesantren), diikuti oleh Jawa Timur dan Banten. Sementara itu, jumlah santri yang terdaftar pada semester ganjil 2025/2026 adalah sekitar 2,5 juta orang.
Hal ini menunjukkan potensi pesantren di Indonesia demikian besar. Dengan sistemnya yang khas dalam mencetak generasi tangguh yang faqih fiddin, pesantren pun diharapkan mampu mencetak profil generasi yang memiliki skill di berbagai bidang kehidupan, serta memiliki kesadaran politik Islam yang tinggi, hingga muncul para calon pemimpin peradaban Islam cemerlang yang siap menjawab tantangan zaman.
Revitalisasi Aktivisme Santri
Sayang seribu sayang, sebagaimana masyarakat Islam lainnya, para santri dan ulama pun tidak luput dari target pelemahan. Meski pesantren menjadi garda terdepan dalam menjaga ajaran Islam, proses sekularisasi dan deideologisasi justru masif melalui kurikulum pembelajaran. Dampaknya, ilmu yang berserak di kitab-kitab pesantren dan dipelajari jutaan santriwan dan santriwati, belum berpengaruh signifikan bagi kemajuan masyarakat. Apatah lagi dalam perubahan sosial dan politik yang berlandaskan Islam.
Bahkan, saat ini berbagai stigma terus diembuskan untuk meminggirkan peran pesantren sebagai basis pertahanan melawan penjajahan modern. Hingga tradisi dan output pendidikan dari pesantren pun digambarkan sebagai tradisi jadul nan ketinggalan zaman. Pada akhirnya, pesantren identik dengan kaum sarungan, bahkan akhir-akhir ini muncul fitnah besar bahwa pesantren merupakan sarang terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan para pemuka agama Islam.
Lebih dari itu, ada pula upaya pelemahan peran politik pesantren dengan mengaitkan pada isu radikalisme Islam. Salah satunya dengan menuding Pesantren sebagai sarang teroris yang dinarasikan sebagai ancaman besar bagi masa depan keindonesiaan dan perdamaian global. Padahal, dalam konstelasi politik internasional narasi perang global melawan teror, tidak lepas dari propaganda AS dan sekutunya untuk mengadang potensi kebangkitan Islam. Potensi ini diwakili oleh aktivitas pergerakan penegakan Khilafah sebagai sistem kepemimpinan politik Islam global yang menggeliat di berbagai belahan negeri-negeri kaum muslim sejak 1990-an.
Ya, gagasan Khilafah dan gerakannya yang begitu masif di Asia dan Asia Tengah tampaknya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi AS dan sekutunya. Fakta politik itulah yang mendorong AS menciptakan drama peristiwa 11 September 2001, dan dengannya AS memaksa para penguasa dunia untuk turut melawan teroris yang digambarkan akan mendirikan kepemimpinan politik global bernama “Khilafah Islam”. Drama demi drama pun terus diproduksi untuk memonsterisasi Islam politik dan Khilafah Islam, termasuk perang di Suriah pasca-Arab Spring dengan 1S1S-nya yang fenomenal.
Namun tidak bisa dimungkiri, sejalan dengan masifnya dakwah Islam dan kian mencuatnya kebobrokan akibat penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme liberal, kesadaran ideologis umat Islam dunia pun terus mengalami peningkatan. Propaganda mereka soal terorisme dan radikalisme pun lambat laun tidak mendapat sambutan. Itulah sebabnya Barat mulai membuat narasi baru yang lebih halus, semisal moderasi Islam buatan RAND Corporation, yang mencoba menampakkan wajah Islam baru yang lebih ramah terhadap nilai-nilai barat atasnama toleransi dan kesetaraan.
Dengan demikian, para santri dan ulama, alih-alih diperkuat perannya dalam melawan penjajahan gaya baru negara-negara Barat dengan menjaga umat dan syariat. Mereka justru digempur dengan berbagai proyek perusakan pemikiran yang menjauhkan Islam sebagai spirit perlawanan. Potensi dan peran strategis pesantren termasuk para ulama dan santrinya, sengaja dibajak untuk kepentingan mengukuhkan sistem sekuler kapitalisme. Lebih tepatnya, pesantren dikebiri sebatas menjadi salah satu penggerak ekonomi sekaligus menjadi sumber pemasok tenaga kerja level murahan.
Mereka dibuat sibuk dengan proyek-proyek pemberdayaan yang mengarah pada ekonomi dan aktivitas-aktivitas pragmatis yang melibatkan para pemilik modal. Bahkan, suara politik mereka jadi bahan rebutan para pemburu kekuasaan yang berkolaborasi dengan para pemilik kapital. Alhasil wibawa dan potensi pergerakan mereka dikunci dengan kekuatan politik dan uang, yang semuanya dikurung dalam bingkai sistem demokrasi yang tidak mengenal Tuhan.
Realitas ini tentu tidak boleh berkelanjutan. Para santri dan ulamanya harus segera merevitalisasi peran. Aktivisme mereka harus kembali mengarah kepada yang transendental, yakni sebagai entitas politis yang siap memimpin umat menggagas kebangkitan, bahkan naik level menjadi kekuatan politik yang kembali diperhitungkan. Menjadi garda terdepan mewujudkan kepemimpinan politik Islam global (Khilafah Islam) yang siap menumbangkan eksistensi ideologi kapitalisme yang nyata-nyata menjadi sumber segala kerusakan sekaligus mengembalikan kemuliaan umat sebagaimana yang telah Allah janjikan. [MNews/SNA]

0 Komentar