Siapa yang Mengatur Pernikahan? Negara, Manusia, atau Allah?


Shiha Utrujah

 

#Wacana — Isu mengenai Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan kembali mencuat setelah muncul permohonan uji materi yang meminta agar aturan tersebut “ditata ulang”. Pemohon berpendapat bahwa pernikahan beda agama merupakan persoalan sensitif yang melibatkan banyak pihak, sehingga aturan yang ada perlu dirumuskan ulang agar lebih humanis, mengakomodasi kepentingan semua warga negara dan memberikan perlindungan setara bagi setiap pemeluk agama (tribunnews.com, 13/12/2025). Permohonan ini sekaligus membuka kembali ruang perdebatan yang selama ini tidak pernah benar-benar berhenti, khususnya dalam konteks negara yang menjunjung kebebasan beragama dan prinsip nondiskriminasi.

 

Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum sekuler, ketentuan agama dapat diperdebatkan dan digugat. Aturan yang menurut syariat bersifat jelas dan qath’i dapat berubah statusnya karena tekanan politik, opini publik, atau tuntutan kelompok tertentu. Bahkan sesuatu yang dianggap sakral dalam perspektif agama bisa dipandang sebagai aturan administratif yang terbuka untuk ditafsir ulang. Inilah sebabnya isu pernikahan beda agama menjadi polemik berulang yang tidak pernah selesai. Setiap kali ada dinamika sosial atau perubahan pandangan masyarakat, pembahasan mengenai pernikahan lintas keyakinan kembali diangkat dan dijadikan bahan sengketa konstitusional.

 

Padahal dalam Islam, pernikahan bukan sekadar kontrak sipil, melainkan ibadah dan bagian dari muamalah yang memiliki aturan rinci. Termasuk di dalamnya hukum mengenai boleh tidaknya seorang muslim menikah dengan nonmuslim. Aturan ini tidak lahir dari kesepakatan manusia, tetapi merupakan ketentuan Allah Swt. yang bersifat tetap dan mengikat. Karena itu, hukum-hukum tersebut tidak bisa dinegosiasikan atau diadaptasi agar sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Prinsip inilah yang menjadi pembeda utama antara pandangan syariat dan paradigma sekularisme.

 

Para ulama telah menjelaskan bahwa hukum pernikahan beda agama terbagi menjadi tiga kategori utama. Pertama, seorang laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahlulkitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu."  (Surah Al-Maidah Ayat 5)

 

Namun, para ulama menegaskan bahwa kebolehan itu tidak mutlak. Pernikahan tidak boleh menimbulkan mudarat bagi agama suami atau mengganggu keteguhan imannya. Artinya, jika pernikahan tersebut berpotensi menjerumuskan suami ke dalam keraguan akidah, maka kebolehan itu gugur demi menjaga kemurnian iman seorang muslim.

 

Kategori kedua adalah keharaman laki-laki muslim menikahi wanita musyrik, yaitu mereka yang tidak termasuk ahlulkitab seperti penganut Hindu, Buddha, Konghucu, penyembah berhala, atau kepercayaan lain. Allah Swt. menegaskan dalam firmannya (yang artinya), "Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu." (Surah Al-Baqarah Ayat 221)

 

Ayat ini mengingatkan bahwa keimanan lebih tinggi nilainya daripada ketertarikan emosional, fisik, atau alasan duniawi lainnya. Dengan kata lain, Islam mengutamakan keselamatan akidah dibandingkan perasaan atau keinginan pribadi.

 

Ketiga, seorang wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir, baik ahlulkitab maupun musyrik. Larangan ini bersifat mutlak. Allah Swt. berfirman (yang artinya), "Mereka (wanita beriman) tidak halal bagi orang kafir, dan orang kafir pun tidak halal bagi mereka."  (Surah Al-Mumtahanah Ayat 10)

 

Para mufasir seperti as-Suyuthi dan Ibnu Qudamah menegaskan bahwa ketentuan ini tidak menerima pengecualian karena kepemimpinan suami dalam rumah tangga sangat menentukan arah akidah keluarga. Islam menjaga agar seorang muslimah tidak berada dalam kepemimpinan laki-laki yang tidak beriman kepada Allah. Hikmahnya jelas keselamatan iman perempuan dan keturunannya harus dijaga dari potensi pengaruh yang dapat menjauhkan mereka dari ketaatan kepada Allah. (fissilmi-kaffah.com)

 

Jika aturan syariat begitu jelas, mengapa polemik pernikahan beda agama terus muncul? Akar persoalannya terletak pada paradigma sistem hukum sekularisme. Dalam sistem ini, agama tidak dijadikan sumber hukum tertinggi. Hukum dipahami sebagai produk kesepakatan politik, kesadaran sosial, dan pertimbangan rasional manusia. Karena itu, sesuatu yang bersifat tetap dalam syariat bisa diperdebatkan atau diubah jika dianggap menghalangi nilai kebebasan individu. Bagi sistem sekularisme, tidak ada batas sakral. Semua dapat diuji, digugat, atau diubah. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara syariat yang bersifat qath’i dan hukum sekuler yang bersifat fleksibel serta mengikuti persepsi masyarakat.

 

Berbeda dengan itu, negara Islam dalam sistem Khilafah menetapkan syariat sebagai sumber hukum tertinggi. Negara memiliki kewenangan menjaga kemurnian institusi pernikahan dengan menerapkan hukum syariat tanpa kompromi. Aturan mengenai pernikahan beda agama diberlakukan sebagaimana ketetapan Allah Swt. bukan berdasarkan pertimbangan politik. Negara mencegah praktik pernikahan menyimpang, termasuk pencatatan ilegal dan rekayasa hukum. Dalam pandangan Islam, keluarga adalah institusi penting bagi keberlangsungan umat, sehingga negara wajib memastikan setiap kebijakannya memperkuat keluarga, bukan melemahkannya.

 

Munculnya kembali gugatan terhadap Pasal 2 UU Perkawinan menunjukkan bahwa hukum dalam sistem sekularisme tidak memiliki ketetapan yang kokoh. Aturan dapat dipersoalkan kapan saja dan jika dianggap tidak relevan lagi. Islam sebaliknya, menyediakan aturan jelas untuk menjaga akidah, keturunan, dan keharmonisan keluarga. Tanpa penerapan syariat secara menyeluruh, aturan Allah akan terus terpinggirkan oleh kepentingan manusia, dan polemik seperti pernikahan beda agama tidak akan pernah menemukan penyelesaian hakiki.[]


 

Posting Komentar

0 Komentar