Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Polemik TKA
(Tes Kemampuan Akademik) masih berlanjut. Setelah sebelumnya di awal tahun ini
pengesahan TKA sebagai program evaluasi belajar menuai banyak pro dan kontra di
tengah-tengah masyarakat, kini TKA perdana tingkat SMA dan sederajat yang baru
dilaksanakan pada 3–9 November 2025 memicu gelombang protes dari sejumlah
kalangan. Pada akhir Oktober lalu, sebuah petisi online yang menuntut
pembatalan TKA viral di sosial media dan telah ditandatangani oleh lebih dari
100 ribu warganet. Hingga Kamis pagi (06/11), petisi tersebut telah disetujui
oleh lebih dari 240 ribu orang (tempo.co, 06/11/2025).
Petisi viral tersebut
menyoroti perubahan kebijakan pendidikan yang menyulitkan para peserta didik.
Pengumuman ‘dadakan’ jadwal TKA dalam hitungan minggu sebelum pelaksanaan
diklaim membuat para siswa dan pihak sekolah tidak bisa secara maksimal
melakukan persiapan ujian. Beberapa pihak bahkan menyebut keputusan TKA secara
mendadak tersebut berpotensi menimbulkan anxiety (kecemasan) dan
mengganggu fokus belajar siswa menjelang pelaksanaan ujian akhir (kontan.co.id,
28/10/2025). Keberadaan petisi tersebut bisa kita lihat sebagai representasi
nyata akan tekanan psikologis yang dirasakan para siswa disertai dengan
minimnya kesiapan mereka menghadapi ujian.
Sayangnya, ketidaksiapan
siswa mengikuti TKA justru mendorong beberapa di antara mereka untuk berbuat
curang. Pada hari pertama TKA, Senin (03/11), viral seorang siswa yang
melakukan siaran langsung (live) di TikTok. Dalam siaran tersebut terpampang
jelas potongan teks panjang beserta beberapa pertanyaan terkait teks tersebut.
Siaran tersebut segera mendapat reaksi dari masyarakat dan bahkan telah
ditonton hingga lebih dari 18 ribu pengguna. Soal-soal yang beredar kemudian
tersebar pula di berbagai grup Whatsapp dan muncul dugaan soal-soal lainnya
diperjualbelikan. Fenomena semacam ini jelas saja memunculkan ketidakadilan
bagi siswa lain yang berusaha tetap jujur dalam mengerjakan soal.
Menanggapi kisruh TKA yang
masih terus bergulir, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Cabang Dinas Pendidikan
wilayah VII Jawa Tengah, Agung Wijayanto, meminta masyrakat untuk tidak
menyamakan TKA dengan UN (Ujian Nasional). Seperti diketahui sebelumnya bahwa
TKA dianggap sebatas indikator kesiapan anak didik untuk memasuki jenjang yang
lebih tinggi. TKA juga tidak dijadikan standar kelulusan sebagaimana UN. Bahkan
keikutsertaan dalam TKA sendiri bersifat sukarela. Hanya pelajar yang
menyatakan kesediaannya dengan surat pernyataan yang ditandatangani orang tua
murid atau wali yang mengikuti TKA. Oleh karenanya, Agung berujar bahwa
seharusnya TKA diikuti dengan kejujuran dan rasa gembira (espos.id,
01/11/2025).
Polemik dunia pendidikan
Indonesia tidak pernah ada habisnya. Skema ujian akhir sendiri sudah
berkali-kali berganti dan sempat dihapuskan di tahun 2021 silam dan digantikan
oleh Asesmen Nasional dan tidak menjadi standar nasional. Kini skema ujian
akhir kembali hadir dengan istilah TKA yang masih menganut ‘aliran’ mubah.
Sayangnya, sudah menjadi
rahasia umum bahwa pergantian kebijakan sistem pendidikan berkaitan erat dengan
politik transaksional para elite politik. Tidak jarang terdengar perumpamaan di
masyarakat ‘ganti rezim ganti kebijakan’. Kondisi semacam ini tentu saja
membuat bingung para peserta didik dan juga para pendidik. Mereka dipaksa untuk
beradaptasi dengan segala perubahan yang ditimbulkan di lingkungan belajar
sebagai konsekuensi atas pergantian kebijakan.
Pergantian sistem
kebijakan negeri ini celakanya masih menginduk pada sistem pendidikan kapitalisme–sekuler.
Visi misi pendidikan negeri yang katanya bertujuan mencetak generasi emas
justru mengalami dekadensi moral akut. Bukannya menghasilkan anak didik yang
beriman dan bertakwa, sistem pendidikan kapitalisme–sekuler yang dijalankan
negeri ini justru menjadi mesin pencetak generasi niradab yang dekat dengan
pergaulan bebas, gaya hidup hedonistik hingga kekerasan pelajar.
Era digital yang
memudahkan kawula muda untuk mengakses informasi menjadi boomerang karena
ketidakmampuan masyarakat untuk memfilter mana informasi yang baik dan mana
yang buruk bagi anak. Parahnya lagi, negara kurang cepat tanggap dalam menutup
jalan masuk segala konten yang bermuatan negatif semisal konten porno,
kekerasan hingga gaya hidup materialistik. Alhasil, generasi muda menjadi
sasaran empuk kebebasan digital yang celakanya terproyeksi dalam perilaku
mereka.
Praktik kecurangan yang
muncul dalam TKA juga tidak bisa kita lihat sebagai kasus yang berdiri sendiri,
tetapi sebagai gejala atas berjalannya sistem yang rusak. Paradigma pendidikan
sekuler yang menganggap proses belajar mengajar sebagai alat mobilitas sosial-ekonomi
pada akhirnya mengerucutkan tujuan akhir pendidikan pada nilai, gelar, dan
status. Hal ini tentu saja memberi tekanan berat bagi para pelajar termasuk
orang tua murid. Fenomena ini tidak jarang ‘mendorong’ masyarakat untuk berbuat
curang bahkan hingga menyewa jasa joki demi mencapai nilai-nilai materi.
Dalam sistem pendidikan
kapitalisme, tinggi rendahnya kualitas pendidikan hanya berkaca dari hasil
akademik para siswa. Padahal masih banyak problem pendidikan negeri ini yang
belum terselesaikan, khususnya dari sisi akses dan layanan pendidikan yang belum
merata bahkan tidak terjangkau. Negara secara nyata belum menjalankan tugasnya
secara maksimal dalam pengadaan infrastruktur pendidikan yang layak bagi
seluruh anak-anak Indonesia tanpa kecuali. Hal ini tercermin dari ditemukannya
lebih dari 980 ribu sekolah rusak yang tersebar di seluruh Indonesia. Data
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bahkan mencatat
setidaknya 60,3% ruang kelas Sekolah Dasar (SD) dan 49,67% ruang kelas Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak (goodstats.id,
05/07/2025).
Rendahnya partisipasi para
pelajar dalam menempuh pendidikan tinggi menjadi cerminan sulitnya akses
pendidikan terhadap masyarakat luas. Hal ini tidak terlepas dari pandangan
sistem kapitalisme yang menempatkan sektor pendidikan sebagai komoditas
ekonomi. Dari sini, bukan hal yang aneh jika biaya yang harus dirogoh oleh
masyarakat makin dalam seiring makin mahalnya biaya kuliah saat ini. Ironisnya,
negara justru memberi solusi pragmatis mengkampanyekan program pendidikan
vokasi dengan tujuan utamanya memenuhi kebutuhan pekerja bagi sektor industri.
Dari sini tampak jelas
bagaimana sistem pendidikan berbasis kapitalisme–sekuler telah gagal mencetak
generasi cemerlang. Sistem rusak semacam ini justru mengukuhkan kepribadian
hedonistik dan materialistik yang hanya terfokus pada nilai-nilai duniawi.
Sistem pendidikan kapitalisme pula yang menumbuhsuburkan anak-anak didik
bermental curang yang tidak lagi takut akan dosa dan Hari Pembalasan. Wallahu
a’lam bi ash-shawab.[]

0 Komentar