TKA di Persimpangan Jalan: Ruwetnya Sistem Pendidikan Negeri +62

 



 

Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Polemik TKA (Tes Kemampuan Akademik) masih berlanjut. Setelah sebelumnya di awal tahun ini pengesahan TKA sebagai program evaluasi belajar menuai banyak pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, kini TKA perdana tingkat SMA dan sederajat yang baru dilaksanakan pada 3–9 November 2025 memicu gelombang protes dari sejumlah kalangan. Pada akhir Oktober lalu, sebuah petisi online yang menuntut pembatalan TKA viral di sosial media dan telah ditandatangani oleh lebih dari 100 ribu warganet. Hingga Kamis pagi (06/11), petisi tersebut telah disetujui oleh lebih dari 240 ribu orang (tempo.co, 06/11/2025).

 

Petisi viral tersebut menyoroti perubahan kebijakan pendidikan yang menyulitkan para peserta didik. Pengumuman ‘dadakan’ jadwal TKA dalam hitungan minggu sebelum pelaksanaan diklaim membuat para siswa dan pihak sekolah tidak bisa secara maksimal melakukan persiapan ujian. Beberapa pihak bahkan menyebut keputusan TKA secara mendadak tersebut berpotensi menimbulkan anxiety (kecemasan) dan mengganggu fokus belajar siswa menjelang pelaksanaan ujian akhir (kontan.co.id, 28/10/2025). Keberadaan petisi tersebut bisa kita lihat sebagai representasi nyata akan tekanan psikologis yang dirasakan para siswa disertai dengan minimnya kesiapan mereka menghadapi ujian.

 

Sayangnya, ketidaksiapan siswa mengikuti TKA justru mendorong beberapa di antara mereka untuk berbuat curang. Pada hari pertama TKA, Senin (03/11), viral seorang siswa yang melakukan siaran langsung (live) di TikTok. Dalam siaran tersebut terpampang jelas potongan teks panjang beserta beberapa pertanyaan terkait teks tersebut. Siaran tersebut segera mendapat reaksi dari masyarakat dan bahkan telah ditonton hingga lebih dari 18 ribu pengguna. Soal-soal yang beredar kemudian tersebar pula di berbagai grup Whatsapp dan muncul dugaan soal-soal lainnya diperjualbelikan. Fenomena semacam ini jelas saja memunculkan ketidakadilan bagi siswa lain yang berusaha tetap jujur dalam mengerjakan soal.

 

Menanggapi kisruh TKA yang masih terus bergulir, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Cabang Dinas Pendidikan wilayah VII Jawa Tengah, Agung Wijayanto, meminta masyrakat untuk tidak menyamakan TKA dengan UN (Ujian Nasional). Seperti diketahui sebelumnya bahwa TKA dianggap sebatas indikator kesiapan anak didik untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. TKA juga tidak dijadikan standar kelulusan sebagaimana UN. Bahkan keikutsertaan dalam TKA sendiri bersifat sukarela. Hanya pelajar yang menyatakan kesediaannya dengan surat pernyataan yang ditandatangani orang tua murid atau wali yang mengikuti TKA. Oleh karenanya, Agung berujar bahwa seharusnya TKA diikuti dengan kejujuran dan rasa gembira (espos.id, 01/11/2025).

 

Polemik dunia pendidikan Indonesia tidak pernah ada habisnya. Skema ujian akhir sendiri sudah berkali-kali berganti dan sempat dihapuskan di tahun 2021 silam dan digantikan oleh Asesmen Nasional dan tidak menjadi standar nasional. Kini skema ujian akhir kembali hadir dengan istilah TKA yang masih menganut ‘aliran’ mubah. 

 

Sayangnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pergantian kebijakan sistem pendidikan berkaitan erat dengan politik transaksional para elite politik. Tidak jarang terdengar perumpamaan di masyarakat ‘ganti rezim ganti kebijakan’. Kondisi semacam ini tentu saja membuat bingung para peserta didik dan juga para pendidik. Mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan segala perubahan yang ditimbulkan di lingkungan belajar sebagai konsekuensi atas pergantian kebijakan.

 

Pergantian sistem kebijakan negeri ini celakanya masih menginduk pada sistem pendidikan kapitalisme–sekuler. Visi misi pendidikan negeri yang katanya bertujuan mencetak generasi emas justru mengalami dekadensi moral akut. Bukannya menghasilkan anak didik yang beriman dan bertakwa, sistem pendidikan kapitalisme–sekuler yang dijalankan negeri ini justru menjadi mesin pencetak generasi niradab yang dekat dengan pergaulan bebas, gaya hidup hedonistik hingga kekerasan pelajar. 

 

Era digital yang memudahkan kawula muda untuk mengakses informasi menjadi boomerang karena ketidakmampuan masyarakat untuk memfilter mana informasi yang baik dan mana yang buruk bagi anak. Parahnya lagi, negara kurang cepat tanggap dalam menutup jalan masuk segala konten yang bermuatan negatif semisal konten porno, kekerasan hingga gaya hidup materialistik. Alhasil, generasi muda menjadi sasaran empuk kebebasan digital yang celakanya terproyeksi dalam perilaku mereka.

 

Praktik kecurangan yang muncul dalam TKA juga tidak bisa kita lihat sebagai kasus yang berdiri sendiri, tetapi sebagai gejala atas berjalannya sistem yang rusak. Paradigma pendidikan sekuler yang menganggap proses belajar mengajar sebagai alat mobilitas sosial-ekonomi pada akhirnya mengerucutkan tujuan akhir pendidikan pada nilai, gelar, dan status. Hal ini tentu saja memberi tekanan berat bagi para pelajar termasuk orang tua murid. Fenomena ini tidak jarang ‘mendorong’ masyarakat untuk berbuat curang bahkan hingga menyewa jasa joki demi mencapai nilai-nilai materi. 

 

Dalam sistem pendidikan kapitalisme, tinggi rendahnya kualitas pendidikan hanya berkaca dari hasil akademik para siswa. Padahal masih banyak problem pendidikan negeri ini yang belum terselesaikan, khususnya dari sisi akses dan layanan pendidikan yang belum merata bahkan tidak terjangkau. Negara secara nyata belum menjalankan tugasnya secara maksimal dalam pengadaan infrastruktur pendidikan yang layak bagi seluruh anak-anak Indonesia tanpa kecuali. Hal ini tercermin dari ditemukannya lebih dari 980 ribu sekolah rusak yang tersebar di seluruh Indonesia. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bahkan mencatat setidaknya 60,3% ruang kelas Sekolah Dasar (SD) dan 49,67% ruang kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP) di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak (goodstats.id, 05/07/2025).

 

Rendahnya partisipasi para pelajar dalam menempuh pendidikan tinggi menjadi cerminan sulitnya akses pendidikan terhadap masyarakat luas. Hal ini tidak terlepas dari pandangan sistem kapitalisme yang menempatkan sektor pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Dari sini, bukan hal yang aneh jika biaya yang harus dirogoh oleh masyarakat makin dalam seiring makin mahalnya biaya kuliah saat ini. Ironisnya, negara justru memberi solusi pragmatis mengkampanyekan program pendidikan vokasi dengan tujuan utamanya memenuhi kebutuhan pekerja bagi sektor industri.

 

Dari sini tampak jelas bagaimana sistem pendidikan berbasis kapitalisme–sekuler telah gagal mencetak generasi cemerlang. Sistem rusak semacam ini justru mengukuhkan kepribadian hedonistik dan materialistik yang hanya terfokus pada nilai-nilai duniawi. Sistem pendidikan kapitalisme pula yang menumbuhsuburkan anak-anak didik bermental curang yang tidak lagi takut akan dosa dan Hari Pembalasan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar