Annisa Suciningtyas
#Wacana — Kejam, satu kata
yang menggambarkan sistem hidup manusia saat ini. Tercatat ada 25 kasus bunuh
diri pada anak selama periode Januari–Oktober 2025 berdasarkan data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tentu saja fenomena ini tidak dapat
dipisahkan dari sistem hidup yang gagal memberikan perlindungan dan
pendampingan kepada generasi penerus bangsa.
Tren anak yang mengakhiri
hidupnya sendiri menjadi potret buram rusaknya sistem sekularisme yang
menuhankan akal dalam setiap peraturan kehidupan serta mengabaikan aturan
syariat di tengah kehidupan. Akibatnya meski berada di gemerlap kemajuan
teknologi dan derasnya arus informasi, banyak anak yang justru kehilangan arah
serta makna hidup. Depresi, stres, tekanan sosial, bullying serta
keterasingan menjadikan sebagian anak memilih jalan pintas dengan mengakhiri
hidupnya.
Hal yang lebih
memprihatinkan lagi adalah hilangnya pendampingan dari sistem hidup yang sahih,
sehingga bunuh diri yang terjadi pada anak akan selalu menjadi momok besar.
Sistem hidup yang gagal membuat sebagian anak memiliki sudut pandang jika
kehidupan ini sebuah medan perang dan persaingan. Belum lagi beban akademik
maupun tuntutan nilai akademis. Bahkan, sistem pendidikan sekuler hanya
berfokus pada pencapaian tujuan duniawi semata, bukan pada upaya menuntut ilmu
yang membawa manfaat bagi kebaikan dan kemajuan masyarakat.
Anak-anak dibesarkan
dengan narasi palsu tentang kebahagiaan. Narasi-narasi palsu seperti sukses
adalah punya banyak uang, dikenal banyak orang, atau mendapat validasi di media
sosial. Akibatnya, ketika realita tak seindah ekspektasi, rasa gagal berubah
menjadi tekanan yang menyesakkan. Tanpa pegangan hidup yang kokoh, sebagian
dari mereka melihat kematian sebagai solusi hidup. Fenomena mengakhiri hidup
sendiri tidak akan selesai dengan sekadar konseling atau kampanye kesadaran mental
health semata. Keduanya penting, tapi belum menyentuh akar masalah. Selama
sistem sekuler yang menjadi wadah tumbuh kembang anak maka krisis memaknai
kehidupan yang serba materialistik akan terus berulang.
Kondisi ini jauh berbeda
saat sistem Islam diterapkan. Penerapan Islam yang kafah mewujudkan dan
membentuk generasi berkepribadian Islam, cendekiawan yang cerdas, dan
berperadaban mulia. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah sarana untuk
mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah (hamba Allah) dan
khalifah Allah di muka bumi.
Tidak hanya itu, dalam
sistem Islam menegaskan bahwa kebahagiaan hakiki seorang muslim yaitu dapat
meraih rida Allah Ta’ala. Sebagai sistem hidup yang sempurna, Islam menetapkan
kewajiban bagi penguasa (Khalifah) untuk menjaga dan menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Islam memberikan landasan setiap individu bahwa ketakwaan dan ketawakalan
seorang hamba menjadi modal besar dan pedoman utama menjalani kehidupan.
Islam juga memberikan
pilar-pilar mengenai kebahagiaan yang harus diwujudkan oleh penguasa bagi
rakyat yang dipimpinnya. Seorang khalifah menyadari sepenuhnya bahwa rakyat
adalah amanah yang harus dijaga dan dilindungi, sebagaimana sabda Rasulullah
saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad, “Imam (khalifah) adalah
pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Selain itu, khalifah
memiliki peran penting dalam bidang pendidikan dan pembinaan generasi. Melalui
perannya, tertanam kuat ideologi Islam yang melahirkan pribadi-pribadi
berkarakter islami, yang senantiasa terikat dengan hukum syarak serta
bersemangat untuk mendakwahkan dan memperjuangkan ajaran Islam.
Karena itu, membentuk
kepribadian yang tangguh memerlukan penerapan sistem Islam secara menyeluruh
guna mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Hal ini tak bisa
hanya diterapkan pada satu bidang saja, tetapi harus mencakup seluruh aspek, seperti sistem
pendidikan yang menanamkan akidah kuat agar seseorang memahami makna hidup
dengan benar. Selain itu, diperlukan pula sistem ekonomi Islam yang dikelola
negara untuk mendampingi masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.

0 Komentar