Waspada Dugaan Jual Beli Jabatan Terulang Kembali

 



 

Mia Annisa

 

#Bekasi — Setelah resmi menjabat sejak 8 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan statement mengenai adanya dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah kota Bekasi. Alhasil, dari statement tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan pengamat kebijakan publik. Pernyataan tersebut merunut dari Survei Penilaian Integritas (SPI) pada tahun 2024 yang di lakukan oleh KPK. (wartakota.tribunnews.com, 26/09/2025)

 

Namun, Wali Kota Tri Adhianto membantah pernyataan Menkeu mengenai hal tersebut serta menegaskan jika seleksi jabatan berlangsung transparan. Pasalnya, isu ini kembali mencuat setelah mantan Wali Kota Rahmat Effendi pernah di tangkap tangan oleh KPK beserta belasan pegawai ASN lainnya kemudian di jatuhi hukuman vonis 12 tahun penjara pada 2022 atas kasus jual beli jabatan. (news.detik.com, 06/01/2022)

 

 

Akan tetapi bantahan dari Wali Kota Bekasi bukan berarti persoalan kasus jual beli jabatan berakhir begitu saja. Meski ia menegaskan seleksi jabatan di Bekasi berlangsung transparan, tapi rekam jejak kasus Rahmat Effendi membuktikan jika akar masalah belum benar-benar hilang dan bisa berulang tanpa reformasi struktural.

 

Kasus jual beli jabatan dalam sistem demokrasi sudah menjadi rahasia umum selama kapitalisme menjadi akarnya. Setiap jenjang jabatan apabila ingin naik tingkat dalam suatu pemerintahan, akan dikenakan "mahar". Sama halnya dalam politisasi birokrasi, dalam dunia politik, "mahar" itu harus dibayar agar meloloskan keinginan si calon untuk tampil menjadi pejabat, dalam suatu pemilihan kepala daerah untuk mengembalikan  “balik modal” tak pelak dalam dunia politik membuat jabatan publik dijadikan sebagai komoditas.

 

Politisasi birokrasi akan banyak menyebabkan banyaknya agenda atau program di wilayah/daerah tidak berjalan efektif. Seperti,  upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, meningkatkan akses dan mutu pendidikan rakyat, perbaikan layanan publik di sektor kesehatan, ketersediaan air bersih, kualitas moda transportasi publik dan infrastruktur jalan, hadirnya rasa aman dan nyaman, serta berbagai macam urusan publik lainnya tak kunjung terwujud. Hal ini karena penempatan birokrasi banyak yang tidak sejalan dengan prinsip merit dan asas tata kelola pemerintahan yang baik lantaran intervensi politik yang kuat dari pemangku kekuasaan. (antikorupsi.org/id, 25/03/2017)

 

Selain itu, demokrasi berbasis modal pada akhirnya makin membuka ruang bagi transaksi kekuasaan—kekayaan memainkan peran penting dalam kancah politik. Dengan uang bisa membeli jabatan yang nantinya jabatan inilah mereka pergunakan untuk mengembangkan bisnis kekuasaan yang mengatur kegiatan bisnis rakyatnya melalui proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan berkali-kali lipat bagi segelintir elite dari pada memperhatikan kesejahteraan rakyat, sederhananya mereka memperoleh kekayaan dari kekuasaannya. Rakyat dijadikan sapi perah dan hanya dianggap menumpang hidup.

 

 

Sehingga, sekalipun kasus ini masih sebatas dugaan akan tetapi solusinya tak cukup sekadar administratif. Perlunya adanya audit secara menyeluruh, merit system yang benar-benar terbuka, perlindungan pelapor, dan reformasi pendanaan politik harus berjalan bersamaan. Tanpa perubahan insentif politik dan ekonomi, peringatan Menkeu hanyalah cermin bahwa luka lama Bekasi belum sembuh, hanya berpindah wajah.

 

Berbeda halnya dengan Islam. Jabatan sebagai amanah, bukan komoditas, apalagi menjadi jalan mengumpulkan kekayaan. Amanah sejatinya adalah amanah ri’ayah umat (pengurusan) bukan hak pribadi yang bisa dibeli.

 

Agar amanah seorang pemimpin meri'ayah urusan rakyatnya tetap berjalan sesuai jalurnya. Maka, Islam telah menyiapkan berbagai lapis penjagaan. Selain ketakwaan  individu-individunya yang terhujam kuat di dalam jiwa, dakwah Islam harus tetap tersyiar di tengah-tengah masyarakat dengan melakukan muhasabah lil hukkam (mengontrol penguasa) yang pintunya terbuka lebar bagi rakyat atas para penguasanya.

 

Apabila terbukti ada pemimpin terpilih dengan cara menjual jabatannya dianggap fasik dan dapat diturunkan oleh Mahkamah Mazhalim melalui pembuktian yang adil dan berdasar fakta.

 

Demikianlah, bagaimana penjagaan Daulah dalam sistem pemerintahan Islam menutup celah korupsi. Seorang kepala negara, yaitu khalifah akan mengangkat pejabat berdasarkan kompetensi dan ketaatan syariat, diawasi oleh Mahkamah Mazhalim sehingga praktik suap, gratifikasi, dan tidak adanya ruang patronase politik.

 

 

Menghapus akar kapitalisme yang melahirkan suap jabatan. Islam menata ekonomi tanpa orientasi materi, menjamin kebutuhan rakyat, menggaji pejabat secara layak, serta menyita harta yang diperoleh dari jalan haram melalui baitulmal.[]

Posting Komentar

0 Komentar