Shiha Utrujah
#Wacana — Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) kembali merilis hasil klasterisasi perguruan tinggi tahun 2026. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor 0968/C3/DT.05.00/2025 tertanggal 28 Oktober 2025. Dalam keputusan tersebut, kampus di Indonesia dibagi ke dalam empat kategori utama, yaitu Klaster Mandiri, Utama, Madya, dan Pratama. Sementara perguruan tinggi yang tidak masuk dalam kategori tersebut ditempatkan di Klaster Binaan atau prakualifikasi. (detik.com, 13/11/2025)
Sekilas, klasterisasi ini terlihat seperti upaya pemerintah untuk memetakan kualitas kampus agar bisa ditingkatkan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, penilaian klasterisasi sangat didasarkan pada kuantitas riset dan jumlah publikasi yang dihasilkan. Kampus yang produktif menghasilkan penelitian akan mendapatkan posisi klaster yang lebih tinggi. Harapannya, kampus akan berlomba-lomba menciptakan banyak riset yang bermanfaat bagi masyarakat.
Masalahnya, fakta di lapangan justru menunjukkan kondisi berbeda. Banyak riset yang dilakukan mahasiswa maupun dosen hanya sebatas mengejar angka, memenuhi target publikasi, atau menaikkan pamor institusi. Tidak sedikit penelitian yang akhirnya hanya menjadi tumpukan dokumen di perpustakaan digital tanpa pernah benar-benar memberi dampak nyata bagi masyarakat. Dengan kata lain, riset menjadi aktivitas administratif, bukan solusi substantif.
Kondisi ini sejalan dengan orientasi pemerintah agar perguruan tinggi mengejar standar World Class University (WCU) serta mampu mencari pendanaan sendiri. Artinya, kampus didorong untuk bersaing layaknya korporasi: mencari sponsor, bekerja sama dengan industri, dan memaksimalkan pemasukan. Negara secara perlahan melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai penyelenggara pendidikan dan mendorong perguruan tinggi untuk mengurus dirinya sendiri.
Dari Layanan Publik Menjadi Komoditas
Jika dianalisis lebih jauh, akar persoalan ini terletak pada paradigma sekularisme. Sekularisme memisahkan peran negara dari urusan pendidikan, dan akibatnya pendidikan berubah dari hak dasar rakyat menjadi barang ekonomi yang harus dibeli, dikelola, dan dikomersialisasikan. Perguruan tinggi pun bertransformasi dari ruang mencetak generasi intelektual menjadi institusi bisnis yang harus bersaing antar klaster, berlomba dalam publikasi, dan mencari modal agar bisa bertahan.
Dalam logika sekularisme, pendidikan dianggap bernilai jika dapat menghasilkan uang, mencetak tenaga kerja siap industri, atau meningkatkan daya saing ekonomi negara. Maka tidak heran jika banyak kampus akhirnya sibuk mengejar kerja sama industri daripada membina karakter mahasiswa atau membangun kesadaran kritis mereka sebagai intelektual. Kampus kehilangan rohnya sebagai pusat peradaban dan berubah menjadi mesin produksi sertifikat dan lulusan.
Akibatnya, pendidikan tinggi tidak lagi memanusiakan manusia, tetapi membentuk generasi yang terjebak dalam orientasi pragmatis: belajar demi pekerjaan, kuliah demi gaji, riset demi ranking kampus. Pada titik ini, klasterisasi perguruan tinggi bukan lagi dorongan peningkatan mutu, tetapi bagian dari mekanisme kompetisi kapitalistik yang hanya menguntungkan kampus besar dan membuat kampus kecil makin tertinggal.
Kampus Berbasis Sekularisme Melahirkan Masalah Sistemik
Ada tiga masalah besar yang muncul akibat sistem pendidikan sekuler:
1. Komersialisasi pendidikan. Biaya kuliah makin mahal, UKT makin naik, kampus makin bergantung pada pendanaan eksternal. Pendidikan menjadi barang eksklusif, bukan hak semua warga.
2. Riset minim manfaat. Banyak penelitian hanya mengejar angka publikasi, bukan menjawab persoalan masyarakat. Ilmu pengetahuan tidak lagi diarahkan pada kemaslahatan umat.
3. Negara melepas tanggung jawab. Ketika kampus dipaksa mencari dana sendiri, negara secara tidak langsung melepaskan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini menunjukkan bahwa sekularisme bukan hanya masalah pemisahan agama dari kehidupan, tetapi juga cara pandang keliru yang menempatkan pendidikan dalam logika pasar.
Pendidikan sebagai Hak Rakyat, Bukan Barang Dagangan
Berbeda dengan sistem sekularisme, Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar umat yang wajib dipenuhi negara tanpa memungut biaya. Dalam sistem Khilafah, pendidikan merupakan layanan publik yang tidak boleh dikomersialisasikan. Negara bertanggung jawab penuh menyediakan: pendidikan gratis di semua jenjang, fasilitas kampus yang memadai, gaji layak bagi pengajar, riset yang diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan industri.
Dalam Islam, riset bukan dilakukan demi ranking atau klaster, tetapi untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan adalah membentuk generasi cerdas, berkepribadian Islam, dan mampu memimpin peradaban, bukan sekadar menjadi pekerja industri.
Negara Khilafah mengatur sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam, ilmu dikembangkan selaras dengan wahyu. Pendidikan menjadi sarana membangun manusia, bukan komoditas pasar. Dengan paradigma ini, perguruan tinggi tidak saling bersaing secara kapitalistik, tetapi bersama-sama membangun kemajuan peradaban Islam.
Klasterisasi perguruan tinggi yang dirilis pemerintah tahun 2026 hanyalah puncak dari persoalan lebih besar. Pendidikan yang telah berubah menjadi bisnis dalam sistem sekularisme. Selama pendidikan dikelola dengan paradigma pasar, kampus akan terus menjauh dari fungsi sejatinya. Islam menawarkan solusi sistemik dengan menjadikan pendidikan sebagai hak rakyat dan kewajiban negara. Hanya melalui sistem Islam yang menempatkan ilmu sebagai amanah, bukan komoditas, generasi unggul benar-benar menjadi pendobrak peradaban Islam.[]

0 Komentar