Anak dan Ancaman Maya: Mengapa Indonesia Harus Bergerak?




#SuaraMuslimah — Di tengah derasnya arus digital, anak-anak Indonesia kini tumbuh dalam dunia yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka hidup di antara layar, notifikasi, dan algoritma yang tak pernah tidur. Ketika Australia mengambil langkah tegas dengan menutup akses Meta bagi anak di bawah 16 tahun, banyak pihak bertanya: apakah Indonesia mampu melakukan hal serupa?


Pertanyaan itu membawa kami kepada Ibu Arifah, S.E.I., M.A., pendiri Yayasan Ibrahim Pena Inspirasi. Ia dikenal sebagai sosok yang lantang memperjuangkan perlindungan anak dan penguatan adab Islam di era digital. Melalui wawancara bersama #SuaraMuslimah–Media Jakarta Official, ia memaparkan pandangan yang jernih, kritis, tapi tetap penuh harapan. 


Q: Bagaimana menurut Ibu bila platform Instagram, Facebook, Threads, YouTube, dan TikTok ditutup bagi pengguna di bawah usia 16 tahun seperti yang dilakukan Australia? Apakah Indonesia akan melakukan hal yang sama?

A: Menurut saya, penggunaan media sosial untuk anak usia di bawah 16 tahun sebaiknya ditutup dalam batas waktu yang ditentukan atau dibatasi, misalnya dengan memastikan semua gadget baru yang masuk ke Indonesia sudah memiliki software pengawasan bawaan yang wajib diaktifkan.

Data BPS 2022–2023 menunjukkan 12,2% anak usia 5–12 tahun mengakses internet. Data Kemen PPPA (Profil Anak Indonesia) menunjukkan usia 1 tahun ke bawah: 4%; usia 1–4 tahun: 33%; usia 5–6 tahun: 51%; usia 7–8 tahun: 58%. Laporan APJII 2025 menunjukkan 79,73% anak di bawah usia 12 tahun (Generasi Alfa) telah terhubung ke internet. Ini angka yang sangat fantastis.

Ada beberapa dampak jika konten media sosial tidak ditutup atau dibatasi: a. Dampak pada kesehatan mental. Kecemasan, depresi, kurang percaya diri, gangguan tidur, emosi tidak stabil, tidak menghargai lingkungan dan orang tua. Termasuk dampak kekerasan seksual daring yang berawal dari obrolan tanpa batas dan berujung pada pertemuan fisik serta permintaan foto. Bahkan ada kasus pelecehan seksual terhadap anak TK karena melihat tontonan dewasa di HP orang tuanya.

b. Anak mudah terpengaruh konten manipulatif, karena secara kognitif dan emosional belum siap. Padahal usia remaja adalah masa pencarian jati diri.

c. Sikap sosial terganggu. Anak menjadi cuek, tidak peduli lingkungan, egois, bahkan tidak jarang anak memukul atau membunuh orang tua demi keinginannya. Ada juga kasus penculikan anak usia 12 tahun akibat pertemanan dari internet.

d. Kekhawatiran orang tua. Saat anak mengerjakan tugas, konten negatif bisa muncul tiba-tiba. Terlebih jika anak dititipkan pada pembantu atau tukang kebun. 

Kapitalis melihat remaja sebagai pengguna paling aktif: mudah mengikuti tren, mudah dipengaruhi iklan, dan sangat konsumtif. Platform digital dibangun dengan ekonomi atensi sehingga algoritma dibuat adiktif. Konten ekstrem ditonjolkan agar viral. Ini berbahaya bagi remaja.

Normalisasi gaya hidup konsumtif semakin kuat, dan kapitalisme digital mengumpulkan data anak untuk dijadikan komoditas. Game dan aplikasi dibuat pay-to-win sehingga memicu kecanduan dan menurunkan performa sekolah.

Saya tidak yakin Indonesia akan melakukan yang sama dengan Australia. Di Indonesia, anak-anak justru difasilitasi bermain game, tidak ada kurikulum yang mencerdaskan anak bangsa, dan negara abai terhadap mental anak.

Meskipun pada 28 Maret 2025 Presiden Prabowo mengesahkan “TUNAS” (tata kelola sistem elektronik dalam perlindungan anak), yang mewajibkan platform memberikan perlindungan ketat, kenyataannya pemerintah tetap mendorong digitalisasi pembelajaran. Ini bertolak belakang dengan kebijakan Australia. Anak tetap diberi ruang luas mengakses internet. Menurut saya, pemerintah seharusnya menutup atau membatasi penggunaan platform seperti Facebook, TikTok, Instagram, Telegram, WhatsApp, Threads, dan lainnya.

Bagaimana mungkin negara yang dikuasai kapitalisme akan membatasi media sosial, sementara remaja adalah komoditas yang menguntungkan?



Q: Kejahatan digital seperti cyberbullying dan konten negatif sudah banyak menyerang anak. Apakah pemerintah sudah serius menanganinya?

A: Menurut saya, pemerintah masih belum maksimal. Indonesia hidup dalam sistem yang sangat dipengaruhi kapitalisme global. Platform digital besar seperti TikTok, Meta, YouTube, dan game internasional memiliki kekuatan ekonomi besar dan lobi kuat. Mereka tidak akan membatasi konten secara ketat karena traffic = uang. 

Peraturan seperti UU ITE dan perlindungan anak memang ada, tetapi implementasinya tidak tepat sasaran. UU ITE justru lebih melindungi kekuasaan daripada masyarakat. Misalnya, jika pemerintah dikritik, itu dianggap pencemaran nama baik. Sementara kasus pornografi, pelecehan, dan penculikan anak secara digital tidak ditangani dengan serius.

Pemerintah malah memperluas pembelajaran digital yang justru membuka akses lebih besar terhadap konten negatif. Akibatnya, seks bebas, penculikan, tawuran, pertemuan daring yang berbahaya, serta meningkatnya angka depresi pada remaja semakin marak.



Q: Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketergantungan remaja pada dunia maya?

A: Beberapa kebijakan yang menurut saya harus dilakukan:

a. Program kesehatan mental digital. Layanan konseling mudah diakses dan konten edukasi untuk mengatasi kecanduan layar.

b. Menyediakan ruang publik, seperti fasilitas olahraga dan permainan motorik sejak perkotaan hingga desa, seperti memanah dan berkuda.

c. Kurikulum berbasis keterampilan. Tugas membuat karya seni atau produk kreatif yang bernilai ekonomi, sehingga anak lebih produktif.

d. Pelatihan guru dan orang tua tentang pembatasan digital yang bijak.

e. Program membaca. Lomba membaca buku dan analisis yang dipresentasikan di kelas.

f. Batas waktu layar. Akses pelajaran maksimal 1 jam per hari. Guru boleh memberi sanksi sesuai aturan pemerintah.

g. Penghapusan konten kekerasan dan sensual. Dengan sanksi berat pada platform yang melanggar.

h. Program literasi digital nasional di sekolah, masjid, dan rumah—mencakup bahaya adiksi digital, manipulasi algoritma, etika berinternet, dan pendidikan akhlak.




Q: Bagaimana Islam memandang perkembangan internet yang dapat menjerumuskan generasi?

A: Menurut saya, internet memiliki dua sisi:

Sisi positif: teknologi adalah anugerah untuk mempercepat dakwah. Masyarakat bisa mengakses kajian kapan saja, aktivis dakwah dapat menjangkau lebih banyak orang, dan jaringan dakwah berkembang secara nasional maupun internasional.

Sisi negatif: teknologi menjadi musibah jika, ilmu Islam disampaikan oleh dai yang tidak memiliki kapasitas; muncul paham-paham yang bertentangan dengan agama dan merendahkan ulama; tersebarnya penyimpangan seksual seperti LGBT; remaja belajar digital tanpa diajak berpikir, sehingga malas dan akalnya melemah; paparan zina, pornografi, bullying, dan pelecehan seksual marak.

Islam melarang zina dan seluruh hal yang mendekatinya. Islam juga melarang fitnah, konten asusila, ujaran kebencian, dan informasi palsu. Pengguna internet dituntut bijak, berakhlak, dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. 



Q: Apa yang harus dilakukan umat Islam agar generasi tidak terus-menerus menjadi sasaran konten negatif dunia maya?

A: Saya menyarankan hal-hal berikut: 1. Orang tua harus serius membimbing anak, menggunakan parental control, dan memberi jadwal penggunaan gawai.

2. Pendidikan Islam, akhlak, dan parenting harus diberikan secara terus-menerus.

3. Melatih mental anak tanpa “obat instan”; biarkan waktu menyembuhkan sebelum memberi nasihat.

4. Menguatkan komunikasi keluarga, terutama peran ayah.

5. Tidak memberikan kunci kamar kepada anak agar kontrol lebih mudah.

6. Membaca Al-Qur’an bersama setelah Magrib dan mengevaluasi perasaan anak setiap hari.

7. Memberi tanggung jawab rumah sesuai usia.

8. Mendorong keterlibatan anak di organisasi remaja masjid dan komunitas positif.

9. Memberikan teladan yang baik dari orang tua.

10. Mendisiplinkan kebiasaan membaca buku.

11. Merutinkan ibadah harian seperti salat tepat waktu, tilawah, dan zikir.

12. Menghidupkan masjid sebagai pusat aktivitas seperti pada zaman Rasulullah Saw.


Ancaman maya yang mengintai anak-anak Indonesia menuntut langkah nyata dari semua pihak. Seperti disampaikan Ibu Arifah, perlindungan digital tidak bisa hanya dibebankan pada keluarga, tetapi harus menjadi gerakan bersama antara negara, sekolah, dan masyarakat. Jika Indonesia ingin menyelamatkan generasinya, maka inilah waktunya untuk benar-benar bergerak.[]

Posting Komentar

0 Komentar