Bencana di Sumatra: Saat Kapitalisme Merusak Alam, Islam Menawarkan Jalan Pemulihan

 


Shiha Utrujah 


#Wacana — Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 telah menyisakan luka mendalam bagi ribuan warga. Rumah-rumah tersapu derasnya arus, jembatan-jembatan terputus, dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Foto-foto dari lokasi kejadian memperlihatkan gelondongan kayu tersangkut di jembatan dan permukiman sebuah bukti kuat bahwa kerusakan ekologis di hulu sudah mencapai titik krisis dan tidak lagi bisa dinafikan.


Di tengah situasi ini, akademisi ITB Saut Aritua Hasiholan Sagala memberikan peringatan keras bahwa bencana tersebut bukan semata akibat cuaca ekstrem, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan tata kelola ekologis. Ia menjelaskan bahwa laju deforestasi di Sumatra termasuk yang tertinggi di Indonesia, dan ini berkaitan erat dengan konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, tambang, atau kepentingan ekonomi lainnya. Ketika daerah tangkapan air hilang akibat eksploitasi, ekosistem yang seharusnya menahan air justru berubah menjadi sumber bencana. Alam pun kehilangan kemampuan alaminya untuk melindungi manusia (news.okezone.com, 4/12/2025). 


Karenanya, bencana banjir di Sumatra bukan sekadar bencana alam. Ia adalah bencana kebijakan, bencana tata kelola, dan bencana moralitas. Diperlukan komitmen politik yang radikal untuk memulihkan kembali fungsi hutan sebagai penjaga kehidupan, memperbaiki tata ruang berbasis risiko, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pihak yang merusak lingkungan.


Namun jika ditelusuri lebih dalam, akar dari semua persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma kapitalisme yang selama ini menjadi fondasi dalam mengelola sumber daya alam. Kapitalisme yang merupakan wajah lain sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dari urusan tata kelola tambang, hutan, dan kekayaan alam. Dalam sistem ini, sumber daya alam diserahkan kepada swasta, bahkan kepada pemodal asing, dengan alasan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Negara hanya bertindak sebagai fasilitator atau regulator pasar, bukan pelaku utama dalam mengelola kekayaan alam.


Kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme telah membuka ruang eksploitasi tanpa batas. Perusahaan-perusahaan raksasa diberi akses luas untuk menguasai hutan, tambang, dan lautan. Negara pun kehilangan wibawa di hadapan para pemilik modal, hingga berbagai kebijakan yang seharusnya melindungi alam justru disesuaikan untuk mengakomodasi kepentingan korporasi. Rakyat kecil menjadi korban yang tak mampu melawan, sementara kerusakan lingkungan makin tak terkendali. Ketika investasi dan inovasi sektor swasta dipuja, yang terjadi justru perampokan sumber daya alam yang membawa bencana ekologis serta ketidakadilan sosial.


Padahal, pohon, gunung, air, dan tambang adalah anugerah Allah bagi seluruh manusia. Pertanyaannya: apakah manusia tidak boleh memberdayakannya? Tentu boleh. Tetapi caranya harus mengikuti aturan Allah, bukan mengikuti logika kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan. Hadis Rasulullah saw. mengingatkan bahwa Allah telah membagi-bagi kepemilikan sumber daya alam melalui ketentuan syariat. Rasulullah saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (Hadis Riwayat Abu Daud)


Padang rumput—yang tumbuh karena kehendak Allah adalah milik bersama, bukan milik pribadi atau korporasi. Dalam perspektif ini, yang berhak menguasai sumber daya tersebut adalah rakyat secara kolektif, yang direpresentasikan oleh negara. Negara mengelolanya bukan untuk keuntungan swasta, melainkan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Bencana ekologis bermula ketika sumber daya tersebut diserahkan kepada swasta; mereka akan bersaing satu sama lain demi harga dan profit, bukan demi konservasi dan keberlanjutan. Berbeda ketika negara menjadi pengelola tunggal yang mengelola kekayaan alam dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Maka negara akan memiliki anggaran dan kewajiban untuk melakukan konservasi sebagaimana mestinya.


Islam mengatur sumber daya alam dalam kerangka yang sangat jelas. Dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Negara bukan sekadar regulator, tetapi pelindung dan pengelola yang memastikan hak rakyat atas lingkungan yang sehat dan aman terpenuhi. Khalifah dalam sistem Islam menerapkan syariat secara menyeluruh, termasuk dalam pengaturan kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan pribadi.


Jika syariat ini ditegakkan, hutan tidak akan jatuh ke tangan korporasi, tambang tidak akan menjadi milik swasta, dan rakyat tidak akan menjadi korban kebijakan yang melayani kepentingan pasar. Kerusakan lingkungan dapat dicegah sejak awal karena negara wajib mengelolanya dengan penuh amanah dan tanggung jawab.


Bencana di Sumatra seharusnya menjadi cermin bahwa kita membutuhkan perubahan paradigma, bukan sekadar perbaikan teknis. Selama kapitalisme menjadi dasar pengelolaan alam, bencana akan terus berulang. Namun jika Islam dijadikan pedoman, pengelolaan lingkungan akan kembali pada fitrahnya: menjaga, memelihara, dan memastikan alam tetap menjadi sumber kehidupan bagi seluruh umat manusia.[]

Posting Komentar

0 Komentar