Bencana Pilu Sumatra

 



 

Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Tanah Sumatra tengah berduka. Jumlah korban jiwa di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pasca diterjang banjir bandang dan longsor kian bertambah. Per Minggu (30/11) sore, jumlah korban meninggal yang tercatat telah mencapai 435 orang yang tersebar di Aceh (96), Sumatra Utara (210) dan Sumatra Barat (129). Laporan situs bnpb.go.id juga mencatat adanya 406 korban hilang, 646 warga mengalami luka-luka dan jumlah pengungsi sebanyak 290.100 orang (bbc.com, 30/11/2025). 

 

Tidak hanya itu, bencana Sumatra telah merusak puluhan ribu rumah warga beserta infrastruktur vital seperti sekolah, rumah sakit, jembatan hingga jalan raya. Sekalipun curah hujan telah menurun drastis, tanah Sumatra yang terdampak banjir dan longsor banyak tertutup lumpur tebal. Kerusakan infrastruktur disertai dengan tumpukan lumpur menyulitkan proses evakuasi dan pencarian korban. Hingga kini regu penyelamat yang diterjunkan di lapangan masih berupaya keras menjangkau daerah-daerah yang terisolasi (merdeka.com, 29/11/2025). 

 

Sayangnya, sekalipun sudah banyak jatuh korban, pemerintah pusat masih enggan menetapkan bencana banjir bandang dan longsor di tiga provinsi Sumatra sebagai bencana nasional. Pemerintah melalui BNPB berkilah bahwa bencana Sumatra belum memenuhi kriteria yang cukup. Tidak ditetapkannya bencana Sumatra sebagai bencana nasional kemudian berimbas pada penanganan pemerintah terhadap bencana. Artinya, banjir Sumatra bagian utara ditangani oleh pemerintah dalam skala daerah dan memusatkan proses pengendalian bencana pada Pemerintah Daerah (pemda). Padahal beberapa bupati seperti halnya Bupati Aceh Tengah dan Bupati Gayo Lues menyatakan ketidaksanggupan mereka menangani bencana.

 

Guna menurunkan risiko banjir susulan, BNPB telah memulai Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di beberapa titik secara serentak. OMC sendiri adalah operasi rekayasa pengalihan awan hujan ke wilayah yang dianggap lebih aman. Dari sini diharapkan OMC dapat menghambat proses kondensasi dan mengurangi intensitas hujan di wilayah terdampak banjir. OMC di Sumatra Utara telah dimulai pada Kamis (27/11) dari Posko Bandara Kualanamu melalui 4 (empat) sortie penerbangan dengan total 3.200 kg bahan semai NaCl (Natrium Klorida) dan CaO (Kalsium Oksida). Sedangkan di Aceh telah dimulai pada Jumat (28/11) menggunakan pesawat PK-SNP dari Posko Bandara Sultan Iskandar Muda. Terakhir adalah wilayah Sumatera Barat pada Sabtu (29/11) dengan mengerahkan pesawat PK-SNK dan PK-DPI dari Posko Bandara Internasional Minangkabau (kompas.com, 29/11/2025).

 

Adapun terkait penyebab banjir Sumatra, Ketua Program Studi Meteorologi ITB (Institut Teknologi Bandung) Dr. Muhammad Rais Abdillah S.Si. M.Sc. menjelaskan bahwa secara klimatologis memang wilayah Sumatra bagian utara tengah berada pada puncak musim hujan. Dr. Rais menuturkan pula adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di wilayah tersebut yang pada akhirnya memperkuat hujan ekstrem (itb.ac.id, 28/11/2025). Kondisi ini kemudian berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar yang memperkuat pembentukan awan hujan, meningkatkan suplai uap air dan memperluas cakupan presipitasi (proses jatuhnya materi awan seperti hujan dan salju).

 

Namun, sejatinya proses alam tersebut bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya banjir di wilayah utara Sumatra. Faktor lainnya yang memperburuk dampak banjir adalah kerusakan lingkungan, penurunan kapasitas tampung air hujan, dan perubahan tutupan lahan. Air hujan yang tumpah ke daratan Sumatra bagian utara seharusnya bisa diterima, diserap dan dikelola secara maksimal oleh permukaan bumi. Hanya saja pemberian izin usaha pada sektor tambang dan perkebunan justru menurunkan jumlah serapan air oleh bumi. 

 

Krisis ekologis yang tengah melanda Sumatra bagian utara sejatinya adalah bukti kegagalan struktural pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam melindungi alam. Bencana banjir bandang telah menjadi siklus tahunan setidaknya dalam lima tahun terakhir. Kondisi ini seiring dengan kian parahnya kerusakan hutan yang terjadi di area tersebut. Di wilayah Sumatra Barat misalnya, laju kehilangan hutan selama periode 2020–2024 terjadi secara masif. Pada tahun 2020 deforestasi wilayah tersebut mencapai 12.790 hektare, sedangkan pada 2021 mencapai 12.037 hektare, 2022 sebanyak 27.447 hektare, pada 2023 berjumlah 15.000 hektare dan di 2024 sebanyak 11.000 hektare (lbhpadang.org, 30/11/2025).

 

Sedangkan untuk wilayah Sumatra Utara khususnya area Tapanuli Selatan, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menuding PT Agincourt Resources sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas deforestasi. Perusahaan tersebut telah memegang konsesi 30 tahun tambang Martabe dengan luas cakupan mencapai 130.253 hektare yang diterbitkan sejak 1997. Deforestasi wilayah tersebut menjadikan tiga sumber aliran air kehilangan sebagian area tutupan hutan (bbc.com, 26/11/2025). Dari sini wajar jika wilayah Tapanuli termasuk dalam zona merah bencana banjir dan longsor. 

 

Hutan yang menjadi kawasan dengan tutupan vegetasi alami justru telah berubah fungsi menjadi perkebunan, area permukiman atau area terbuka yang dibiarkan begitu saja oleh para penjahat lingkungan. Celakanya, deforestasi kini telah mengepung dan kian menekan wilayah konservasi dan hutan lindung. Akibatnya tidak ada lagi pohon-pohon yang cukup untuk menyerap air hujan yang berujung pada timbulnya bencana banjir serta longsor di wilayah Sumatra bagian utara. Oleh karenanya tidak mengherankan jika banjir menjadi bencana musiman di area tersebut, khususnya Sumatra Barat.

 

Pada 2022 saja tercatat 131 kasus longsor dan 122 kasus banjir di wilayah Sumatra Barat. Kemudian pada 2023 bencana banjir dan longsor terjadi hampir di seluruh kabupaten besar provinsi tersebut. Bencana kian tidak terkendali hingga akhirnya pada 2024 menelan setidaknya 40 korban jiwa di Sumatra Barat dengan 19 korban jiwa berasal dari Kabupaten Agam (pedomanrakyat.com, 13/05/2024).    

 

Dari sini terlihat jelas bagaimana bencana Sumatra bukanlah sekadar perubahan alam tetapi lebih dari itu adalah kesalahan manusia dalam mengelola alam itu sendiri. Lebih jauh pemerintah benar-benar bertanggung jawab dalam pembiaran deforestasi di hulu, ekploitasi tambang secara ugal-ugalan, alih fungsi hutan tak terkendali disertai lemahnya pengawasan bertahun-tahun lamanya. Manusia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan alam karena permukaan bumi tidak lagi sanggup menampung hujan sebagai akibat dari akumulasi kebijakan yang salah urus. Pemerintah juga benar-benar terbukti lebih mengutamakan kepentingan para cukong dibanding dengan urusan rakyat melalui maraknya pemberian izin tambang dan perkebunan.

 

Bencana Sumatra juga kian menyingkap kelalaian penguasa dalam melakukan mitigasi bencana. Mitigasi bencana tidak lain adalah serangkaian tindakan yang dilakukan dengan tujuan mengurangi risiko dan dampak bencana. Artinya, mitigasi seharusnya dilakukan sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana guna meminimalkan kerugian akibat bencana. Apalagi bencana banjir khususnya di wilayah Sumatra Barat berulang kali terjadi dan kerusakan yang ditimbulkan kian meningkat di tiap tahunnya. Namun, sayang mitigasi negeri ini begitu buruk hingga berada di level mengkhawatirkan.

 

Pada langkah pencegahan bencana, pemerintah justru memiliki andil meningkatkan potensi bencana banjir dan longsor. Padahal seharusnya penguasa membuat peta wilayah rawan banjir yang akurat disertai dengan upaya penghijauan hutan guna mencegah banjir. Ironisnya yang terjadi justru negara memberi izin tambang di daerah resapan yang kemudian memperluas area penggundulan hutan dan meningkatkan potensi banjir. Parahnya lagi, upaya penghijauan hutan pun jalan di tempat yang pada akhirnya membuat upaya perbaikan alam jalan di tempat.

 

Pada saat terjadi bencana, negara sepatutnya fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan melakukan langkah-langkah antisipasi kerusakan ataupun bencana susulan. Sayangnya yang terlihat pada bencana Sumatra, evakuasi korban tampak kurang sigap. Hingga kini masih banyak korban hilang dan belum bisa dicari atau diselamatkan karena persoalan teknis seperti putusnya akses komunikasi dan akses jalan yang buruk. Pemerintah pusat pun masih belum tergerak untuk terjun secara penuh dan mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait.

 

Sedangkan dalam tahap pascabencana, pemerintah belum sepenuhnya secara optimal mengirimkan bantuan kepada korban. Memang benar, pemerintah telah mengirimkan bantuan logistik dengan mengerahkan 11 helikopter TNI dan Basarnas dari Jakarta (detik.com, 29/11/2025). Namun, upaya tersebut masih jauh dari cukup mengingat banyaknya wilayah terisolasi yang belum terjangkau baik melalui akses darat maupun udara. Kesigapan pemerintah juga masih dipertanyakan karena negara kerap mengandalkan swasta dan sumbangan warga dalam memberi bantuan bencana.

 

Tidak hanya pemberian pertolongan pascabencana, pemerintah cenderung lambat dalam melakukan pemulihan infrastruktur yang rusak akibat banjir dan longsor. Pembangunan infrastruktur menjadi masalah krusial untuk memulihkan kehidupan warga pascabencana. Pemulihan infrastruktur juga dibutuhkan guna memberi stimulus perputaran ekonomi masyarakat. Namun jangankan pemulihan infrastruktur, negara hingga kini masih banyak lalai dalam pembangunan infrastruktur dasar seperti bangunan sekolah, rumah sakit, jembatan dan jalan khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).

 

Demikianlah, bagaimana paradigma sekuler-kapitalisme menjadikan penguasa negeri ini nirempati dan tidak benar-benar secara serius mencari solusi bencana. Bukannya mengantisipasi bencana, kebijakan penguasa justru menjadi penyebab utama meningkatnya risiko bencana melalui pemberian izin tambang dan perkebunan yang merusak alam secara ugal-ugalan. Negara sekuler-kapitalisme juga tidak menempatkan dirinya sebagai posisi sentral dalam setiap permasalahan masyarakat termasuk dalam mitigasi bencana. Tidak jarang negara melimpahkan kewajibannya pada warga ataupun 'kroco-kroco' oligarki sebagaimana yang dilakukan pemerintah pusat dalam menolak pemberian status bencana nasional dalam kasus banjir Sumatra. Lebih dari itu, pemerintah lebih siap untuk ‘pasang badan’ dalam mengamankan kepentingan kaum kapital dan cenderung lamban dalam menyelesaikan bencana.

 

Padahal Rasulullah saw bersabda, “Tidak seorang pemimpin pun yang mengurusi perkara kaum muslimin, kemudian dia tidak bersungguh-sungguh bekerja untuk mereka dan menasihatinya, kecuali pasti tidak akan masuk surga bersama mereka.” (Hadis Riwayat Muslim)  Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

Posting Komentar

0 Komentar