#EDITORIAL – Indonesia kembali berduka. Setelah longsor di wilayah Cilacap dan Banjarnegara Jawa Tengah yang menghilangkan dua dusun pada 13-11-2025 beserta bencana lainnya, kali ini wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pun dilanda bencana memilukan.
Pada 29-11-2025, ketiga wilayah tersebut dihantam banjir maut yang menelan banyak korban jiwa. Update data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (3-12-2025) menyebutkan jumlah korban jiwa sudah mencapai 753 orang, 650 orang hilang, 2.600 luka-luka, 3,3 juta orang warga terdampak di 50 kabupaten/kota, dan 576.300 tinggal di pengungsian. Sementara itu, jumlah bangunan dan infrastruktur yang rusak tercatat 3.600 rumah rusak berat, 2.100 rusak sedang, 3.700 rusak ringan, 299 buah jembatan, 9 fasilitas kesehatan, 323 fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
Kesan Lamban dan Meremehkan
Banyak pihak menilai pemerintah sangat lamban dan terkesan cuci tangan. Pernyataan beberapa pejabat bahkan dinilai meremehkan. Sebutlah perkataan Ketua BNPB Letnan Jenderal Suharyanto saat konferensi pers (28-11-2025). Saat itu ia mengatakan bahwa bencana Sumatra hanya mencekam di media sosial. Kritikan netizen pun memaksanya meminta maaf. Akan tetapi, sikapnya itu tetap saja menunjukkan ketidakpedulian dan nirempati yang besar.
Begitu pun pernyataan Presiden Prabowo yang terkesan lepas tangan. Ia—yang baru turun lapang per 1-12-2025—tampak enggan menyebut status bencana ini sebagai bencana nasional. Ia menyatakan bahwa status sekarang sudah cukup. Padahal, fakta di lapangan, korban yang angkanya terus bertambah, besarnya dampak dan sumber daya daerah yang sangat kurang telah membuat rakyat benar-benar kesulitan. Kesaksian para relawan menyebut, banyak para korban yang berhari-hari kelaparan. Bahkan di beberapa tempat akhirnya muncul aksi-aksi penjarahan.
Hingga saat ini, beberapa pejabat pun, masih menyebut buruknya cuaca sebagai kambing hitam, khususnya kedatangan siklon tropis Senyar yang telah menyebabkan hujan satu bulan tumpah dalam satu hari. Hanya saja, beredarnya video-video seperti hantaman dahsyat air bah yang muncul dari ketinggian, seretan arus air lumpur pekat superderas yang membawa material ribuan kubik kayu berbagai ukuran dan merusak berbagai bangunan, kendaraan, infrastruktur jembatan, bahkan membunuh manusia, juga video-video udara yang menggambarkan kerusakan hutan yang diambil komunitas peduli lingkungan sebelum kejadian bencana, justru mengungkap kejadian sebenarnya, sekaligus membantah semua klaim mereka.
Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut Dwi Januanto Nugroho yang menyatakan kayu-kayu gelondongan yang hanyut itu bukan karena pembalakan liar, melainkan akibat tumbang alami, juga mendapat kritik habis-habisan: Mana mungkin air bah bisa memotong-motong kayu gelondongan dan mengupas kulitnya dengan rapi? Jika benar tumbang alami, bukankah semestinya pohon-pohon itu hanyut bersama akar?
Justru tidak bisa dibantah bahwa yang sedang terjadi ini bukan sekadar bencana biasa, melainkan merupakan dampak buruk kebijakan penguasa alias bencana terencana. Betapa tidak? Kerusakan hutan di wilayah Sumatra, baik akibat aktivitas perkebunan khususnya sawit dan konversi lahan untuk industri ekstraktif lainnya (seperti penebangan komersial dan pertambangan terbuka), pada faktanya memang berjalan masif. Khususnya di area ekosistem kritis Taman Nasional Leuser Aceh, Batang Toru Tapanuli Selatan, dan DAS Batang Anay di Padang Pariaman yang ketiganya menjadi sentrum bencana.
Semua aktivitas ini, selain telah mengancam keanekaragaman hayati, juga merebut habitat hewan seperti gajah, kera dan lainnya, juga telah mengurangi kemampuan hutan sebagai satu-satunya benteng alami menghadapi siklon. Bagaimanapun, fungsi utama hutan adalah penyimpan air dan penguat struktur tanah. Hutan juga berfungsi sebagai penyerap karbon, sehingga bisa menjadi benteng atas krisis iklim global. Sayang, sebagian hutan itu sudah hilang, termasuk di wilayah Sumatra. Wajar jika serangan siklon Senyar ini berdampak sedemikian dahsyat layaknya bencana tsunami kedua.
Problem Paradigma
Tidak dimungkiri jika sesungguhnya ada problem besar di balik semua kejadian bencana berikut problem penanganannya. Problem tersebut adalah digunakannya paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik yang dalam menentukan prioritas pembangunan tidak kenal konsep halal-haram, sangat pro kepentingan modal, membuka ruang kongkalikong penguasa-pengusaha, dan jauh dari paradigma pengurusan, alih-alih perlindungan atas rakyat.
Salah satunya tampak dari pernyataan yang disampaikan Presiden Prabowo saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN di kantor Kementerian PPN/Bappenas (30-12-2024) lalu. Kala itu, Presiden justru menekankan soal urgensi menambah penanaman kelapa sawit tanpa rasa takut dengan isu deforestasi. Ia mengatakan bahwa kelapa sawit juga merupakan pohon yang punya daun, mengeluarkan oksigen, menyerap karbon dioksida, dan lainnya. Seakan ia ingin mengatakan bahwa pembukaan hutan untuk sawit tidak akan membahayakan dan bukan penyebab bencana alam.
Pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan berbagai analisis pakar. Mereka justru menyebut bahwa salah satu penyebab berbagai bencana hidrologi—termasuk yang terjadi di wilayah Sumatra—adalah pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan sawit. Hal ini mudah dipahami karena pohon sawit merupakan tanaman monokultur dengan akar dangkal sehingga tidak bisa menahan air sebagaimana pepohonan hutan. Lebih dari itu, perkebunan sawit juga tidak mampu menjadi habitat bagi satwa liar dan keanekaragaman hayati lainnya. Terbukti, kasus-kasus penyerangan satwa liar ke pemukiman-pemukiman penduduk sekitar terus meningkat dan kerap memakan korban.
Masalahnya, pengembangan industri sawit besar-besaran, baik oleh pemerintah maupun swasta/korporasi yang dilegalisasi negara dan/atau melibatkan para penguasa-pengusaha, tampaknya sudah menjadi program pilihan pembangunan sejak pemerintahan era SBY hingga sekarang. Alasannya, industri kelapa sawit memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, terutama sebagai sumber utama devisa negara dan penyedia lapangan kerja. Bahkan disebut-sebut bahwa Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia yang dengan lahan perkebunan yang luas dan kondisi iklim yang ideal, Indonesia berhasil menjadi pemain kunci di pasar global.
Itulah sebabnya, pemerintah tampak begitu ringan melego izin pembukaan hutan kepada korporasi—tepatnya oligarki—yang bergerak di bidang persawitan. Pemerintah dalam hal ini tidak sungkan mendudukkan diri sebagai regulator untuk menjamin kebebasan para pemilik modal menguasai sebanyak-banyak sumber daya alam yang sejatinya merupakan kepemilikan umum. Sampai-sampai Zulkifli Hasan yang menjabat sebagai Menteri Kehutanan pada era SBY pernah didaulat oleh organisasi nirlaba Greenomics sebagai pemberi izin pelepasan hutan terbanyak untuk ekspansi perkebunan sawit. Konon, selama menjabat, ia sempat memberikan izin pelepasan hutan seluas 1,64 juta hektare (ha) atau setara 25 kali lipat luas DKI Jakarta.
Data mencengangkan itu baru bicara tentang alih fungsi untuk perkebunan sawit. Sedangkan untuk pertambangan, sebuah studi menyebutkan sepanjang 2001–2023, penggundulan hutan akibat pertambangan di Indonesia mencapai sekitar 721.000 ha dengan 150.000 ha di antaranya adalah hutan primer. Adapun secara global, Indonesia menyumbang 58,2% dari deforestasi hutan tropis akibat pertambangan di 26 negara antara 2000–2019.
Mirisnya, terkait hal ini, data Kementerian ESDM yang diolah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan dikutip CNN (2-12-2025) menyebutkan bahwa Sumatra telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. Terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 ha. Tidak heran jika Indonesia masih menghadapi deforestasi masif. Negeri ini bahkan sempat masuk dalam dua peringkat teratas kasus deforestasi terbanyak, yakni mencapai 10 juta ha per tahun pada 2024, yang mana di Sumatra, penggundulan hutan bahkan menyentuh separuh deforestasi neto.
Masalahnya, perusakan hutan terbukti telah memberi dampak yang besar bagi kehidupan manusia dan alam lainnya, bukan hanya untuk generasi hari ini, melainkan untuk generasi yang akan datang. Pembukaan hutan secara ugal-ugalan jelas telah merusak ekosistem dan merenggut ruang kehidupan. Apalagi dalam aktivitas pertambangan, perusakan hutan telah mengubah lanskap terdegradasi yang sulit dipulihkan, bahkan dengan reboisasi besar-besaran. Apalagi ditambah penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya, seperti merkuri di tambang emas atau adanya produksi residu berupa air asam tambang, semuanya telah membahayakan ekosistem air yang berdampak buruk bagi generasi ke generasi yang akan datang.
Tidak Layak Dipertahankan
Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik seperti ini tentu saja tidak layak dipertahankan. Sistem ini terbukti telah melahirkan para penguasa zalim yang hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan destruktif yang menonjolkan nilai-nilai materi, tetapi mereduksi nilai-nilai ruhiah, kemanusiaan, dan moral. Lihat saja, apa yang disebut sebagai “pembangunan” arahnya justru disetir oleh kepentingan kapitalisme global dan proyek-proyeknya dikuasai kalangan oligarki yang rakus tidak kepalang. Sampai-sampai pembangunan pun senantiasa identik dengan kerusakan dan keburukan, termasuk dengan munculnya berbagai bencana yang tidak berkesudahan.
Semua ini niscaya karena sistem ini memang sudah cacat sejak asas. Ia tegak di atas paham yang pemisahan agama dari kehidupan sekaligus tidak mengenal halal-haram dan begitu mengagungkan paham kebebasan, termasuk kebebasan kepemilikan yang meniscayakan munculnya sikap egois dan serakah tanpa batasan.
Adapun negara dalam sistem ini justru ada untuk menjamin kebebasan tersebut, sedangkan kursi kekuasaan menjadi jalan para pemilik modal dan kroninya untuk meraih sebesar-besar keuntungan materi dengan menciptakan berbagai aturan yang mengakomodasi kepentingan mereka. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka melegalkan kerusakan. Sebut saja UU Minerba, UU Ciptaker, UU perkebunan, Peraturan Pemerintah yang memberi kewenangan ormas mengelola tambang, berbagai peraturan pemerintah yang mengatur perizinan untuk pembukaan lahan untuk kelapa sawit dan tambang terbuka, dan lain-lain. Semuanya kental dengan kepentingan para pemilik modal dan akhirnya menuai berbagai persoalan.
Sementara itu, posisi rakyat dalam sistem ini hanyalah sebagai objek penderita. Mereka hanya dibutuhkan sebagai alat legitimasi bagi para oligark duduk di kursi kekuasaan dengan jalan memberi mereka hak suara pada pesta lima tahunan. Seakan-akan rakyatlah pemilik kedaulatan sekaligus pemilik hakiki kekuasaan. Padahal, slogan demokrasi ini hanya tipuan (yang sayangnya) masih ampuh digunakan hingga sekarang.
Kepemimpinan Islam Adalah Satu-Satunya Harapan
Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem kepemimpinan Islam. Sistem ini berangkat dari keyakinan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan mulia, yakni untuk tugas penghambaan sekaligus tugas kekhalifahan, yakni memakmurkan bumi dan seluruh alam sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Untuk itulah Allah Swt. menurunkan syariat Islam sebagai pedoman tentang bagaimana hidup harus dijalankan, hingga semua yang Allah ciptakan benar-benar bisa mendatangkan kebaikan, keselarasan, kebahagiaan, bahkan keberkahan.
Penguasa sendiri berperan sebagai penegaknya sehingga fungsinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat bisa benar-benar dijalankan. Untuk itu, syariat Islam telah menetapkan berbagai aturan atau prinsip yang berbasis iman terkait pengelolaan sumber daya alam yang menjauhkan manusia dari kemudaratan. Prinsip itu antara lain larangan melakukan kerusakan (lihat QS Al-A’raf: 56), perintah menjaga keseimbangan ekologi, serta memanfaatkan SDA untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam hal ini, syariat Islam mengatur soal kepemilikan, mulai dari kepemilikan umum, individu, hingga negara. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (seperti hutan, sumber air, dan tambang) termasuk salah satu kepemilikan umum yang wajib dikelola negara untuk kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan hadis Rasul ﷺ, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Islam juga mewajibkan negara atau penguasa bertindak sebagai pengelola dan penanggung jawab utama untuk mengeksplorasinya dengan cara yang memperhatikan aspek kelestarian dan kemaslahatan. Negara dalam hal ini akan melakukan pengaturan dan penataan wilayah sedemikian sehingga menutup berbagai celah kemudaratan, termasuk dengan memperketat pengawasan dan menegakkan hukum yang menjerakan bagi para pelanggar aturan.
Negara juga akan mendistribusikan hasil pengelolaan semua kekayaan milik umum itu demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mekanismenya adalah dengan memasukkan seluruh hasilnya ke dalam pos kepemilikan umum dalam kas negara (Baitulmal). Pos ini akan disalurkan dalam bentuk subsidi kepada seluruh rakyat atau membangun berbagai fasilitas umum dan memberi berbagai layanan publik dengan sebaik-baiknya.
Negara diharamkan untuk menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada individu, korporasi, lokal, maupun pihak asing. Apalagi kemudian membiarkan pemilik hakikinya, yaitu masyarakat, hidup dalam penderitaan seperti yang terjadi hari ini. Penguasa seperti ini dipandang sebagai penipu rakyat yang baginya layak mendapatkan ancaman sebagaimana hadis Rasulullah ﷺ.
Dari Ma’qil bin Yasâr radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih melakukan curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga di atasnya.'” (Muttafaq ‘alaih).
Konsistensi pemimpin Islam dan rakyatnya pada syariat secara kafah menjadi jaminan atas kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya, penyimpangan mereka pada syariat justru mengundang azab dan kemurkaan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam, selain segera kembali kepada syariat-Nya dan berupaya menegakkan kepemimpinan Islam sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Tentu butuh perjuangan yang serius dan panjang yang dimulai dari membangun kesadaran di tengah umat Islam. Terutama kesadaran bahwa keimanan menuntut ketaatan kepada seluruh syariat Islam, dan bahwa pelaksanaan seluruh syariat Islam butuh kekuasaan atau kepemimpinan Islam yang disebut sebagai sistem kekhilafahan.
Kesadaran ini harus diikhtiarkan oleh umat yang sadar secara masif dan berkesinambungan hingga muncul kesadaran komunal yang kelak akan berubah menjadi kekuatan politik umat yang mampu mendorong perubahan sistem. Namun, perubahan sistemis ini tentu butuh kerja masif dan terorganisasi dalam wadah jemaah dakwah yang konsisten berjuang demi menegakkan Islam. Jemaah tersebut berjalan di atas minhaj dakwah Rasulullah ﷺ—yang terbukti berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliah menjadi masyarakat Islam, dan kepemimpinannya diwariskan dari masa ke masa hingga tegak selama belasan abad sebagai negara pertama. [MNews/SNA]

0 Komentar