Di Balik Ide Tiga Periode

 



Wacana 3 periode kembali mengemuka. Meskipun Jokowi sudah meresponnya dengan sangat jelas dan lugas bahwa tak ada niat dan tak ada minat untuk lanjut 3 periode, namun banyak pihak terkesan menyangsikannya. Bukan tanpa alasan, sebab beberapa indikasi mengarah kesana. Disamping itu, masyarakat sering menyaksikan inkonsistensi pemerintah dalam beberapa kebijakan.

Demikian pula meski pihak KSP (kantor Staf Presiden) juga buru-buru menampiknya, tapi tidak sedikit yang jelas-jelas meyakini wacana ini bakal lolos. Arief Poyuono, politikus Gerindra, misalnya, berani mengatakan dalam acara Mata Najwa bahwa ia yakin 85% masyarakat Indonesia mendukung wacana ini sebagaimana dilansir TribunJateng.com.

Demikianlah pro kontra tentang tiga periode ini masih terus bergulir. Dan banyak analisa berkembang terkait berbagai kemungkinan dan spekulasi yang bakal terjadi di tengah terjadinya ragam peristiwa politik belakangan ini.            Secara umum ada beberapa poin yang setidaknya perlu dicermati jika ingin mengungkap apa dibalik wacana 3 periode ini.

Kepentingan Para Kapital

Sebenarnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode juga pernah terjadi di masa periode kedua SBY berkuasa. Juga pernah muncul diawal periode kedua Jokowi tahun 2019 yang lalu. Kini tahun 2021, wacana ini muncul lagi Artinya wacana ini kembali digaungkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan posisinya.

Telah diketahui terpilihnya Jokowi tahun 2014 yang lalu memang cukup fenomenal. Mantan walikota Solo itu sempat menjadi cover 3 majalah internasional  (majalan Time, Globe Asia dan Fortune) dengan judul “The New Hope”. Secara tidak langsung ini menunjukkan adanya harapan baru bagi berkembangnya arus bisnis dan investasi di Indonesia yang menguntungkan para pemilik modal.  Dan itu dibuktikan oleh Jokowi dengan mempersilakan para investor asing masuk ke Indonesia, “Keep calm, invest in Indonesia,” demikian ungkapan Jokowi di awal masa pemerintahannya untuk mengundang masuknya investor asing dan menjanjikan berbagai kemudahan untuk itu.

Bukti lain keberhasilan Jokowi di mata para kapitalis adalah tingginya jumlah utang Indoneisa. Utang mencapai Rp 6.000 T bukanlah angka yang sedikit. Bahkan World Bank memasukkan Indonesia dalam 10 negara berkembang dengan jumlah utang terbesar. Jeratan utang luar negeri ini tentu menyenangkan pihak pemberi utang. Sebab itu menandakan ketergantungan ekonomi Indonesia kian tinggi kepada negara-negara donor. Akibatnya, mereka bisa minta kompensasi apapun dari Indonesia jika utang telah jatuh tempo dan tak terbayarkan.

Keberhasilan lain yang membuat para kapital bertepuk tangan adalah disahkannya UU Omibus Law Ciptaker. UU inilah yang menjadi payung hukum yang sangat kuat bagi para investor asing saat melakukan invetasi di Indonesia. Keluarnya Perpres Miras adalah salah satu turunan dari UU ini. Meskipun UU ini menuai penolakan massa yang cukup besar hingga jatuh korban jiwa,  tapi rezim tak bergeming sedikitpun.

Dan yang terbaru, kebijakan rezim soal limbah batu bara juga membuat kenyamaan tersendiri bagi pengusaha batu bara. Dengan keluarnya limbah batu bara dari kategori berbahaya, pelaku usaha akan memperoleh keuntungan karena pengelolaannya lebih murah. Kebijakan yang mempertimbangkan sisi ekonomi tersebut akhirnya akan mendorong investasi masuk. Namun sisi lain limbah ini akan membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Berbagai kebijakan itu terlaksana semua dengan baik di era Jokowi berkuasa. Kelihaiannya untuk menjalankan kepentingan para kapital telah terbukti. Itu sebabnya ada upaya yang kuat untuk tetap mempertahankannya. Harapannya keuntungan yang selama ini sudah didapat akan diperoleh lebih banyak lagi. Demikianlah kerakusan para kapitalis di era ini.

Menangguk Keuntungan Bersama

            Kemenangan Jokowi di pilpres 2019 sebenarnya telah memberikan sinyal akan kuatnya dukungan para kapital di belakangnya. Rakyat harus rela kehilangan harapan terhadap sosok baru pengganti Jokowi di pilpres 2019 lalu. Meninggalnya kurang lebih 600 orang anggota KPPS dan peristiwa 21-22 Mei 2019 adalah bagian awal terjadinya kecurangan pemilu yang ujung-ujungnya perjuangan rakyat pun dikhianati dengan menyatunya dua kubu.

            Boleh dikatakan saat ini tak ada lagi parpol yang benar-benar memihak rakyat. Arief Poyuono, politikus Gerindra menyatakan bahwa dengan wacana 3 periode ini, tak hanya Jokowi yang diuntungkan. Parpol-parpol yang ada justru diuntungkan, sebab mereka tetap bisa mencalonkan kembali kandidat terbaiknya. SBY dan JK pun bisa maju kembali.  Mereka punya kesempatan yang sama dengan Jokowi untuk maju lagi. Artinya partai-partai yang ada akan menangguk keuntungan bersama dengan wacana ini. Pertimbangannya sekali lagi bukan untuk kepentingan rakyat, tapi keuntungan partai.

            Bagi-bagi kue kekuasaan sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Bahkan tak satu pun dari ketua partai yang tidak menduduki jabatan di lingkaran kekuasaan. Boleh dikatakan saat ini tidak ada lagi partai oposisi yang murni. Kalaupun ada, itu hanya lip service saja. Intinya tetap saja, kekuasaan berputar diantara mereka. Demikianlah rezim ini bekerja.

Rakyat benar-benar hanya dijadikan tumbal atas kekuasaan bersama yang mereka miliki. Kepentingan rakyat hanya tertulis diatas kertas. Fakta di lapangan, kepentingan dan hukum hanya memihak pada para elite penguasa. Atas nama rakyat, berbagai konstitusi bisa dilanggar. Menko Polhukan, Mahfudz MD saat menanggapi wacana 3 periode menyatakan hal ini. “Dalil yang berlaku umum kalau dalam ilmu konstitusi itu adalah salus populi suprema lex, keselamatan rakyat itu adalah hukum tertinggi. Kalau kamu ingin menyelamatkan rakyat, kamu boleh melanggar konstitusi, bahkan begitu,” demikian ungkapnya sebagaimana dilansir  kompas.com.

            Sungguh ini adalah semua gambaran yang nyata bahwa rezim dan sistem ini memang tidak mengakomodir kepentingan rakyat. Semua kebijakan diambil demi kepentingan elit dan para kapital yang berdiri di belakangnya.

Kebutuhan Menghadang Gerakan Radikal

            Kepentingan lain yang turut dipertimbangkan dalam mencetuskan wacana 3 periode ini adalah upaya untuk menghadang gerakan Islam. Publik sudah bisa membaca bahwa pihak yang sangat keras perlawanannya terhadap ketidakadilan yang terjadi saat ini adalah kelompok Islam. Merekalah yang masih lantang bersuara dan tidak bisa dibeli dengan uang dan jabatan.

            Jadi satu-satunya yang menghambat kepentingan para kapitalis di negeri ini adalah perjuangan umat Islam yang mampu membongkar berbagai keburukan dan strategi mereka dalam menancapkan hegemoninya di negeri ini. Itu sebabnya upaya memerangi radikalisme terus dikumandangkan agar gerakan radikal ini menjadi common enemy di tengah masyarakat.

            Dan ketika rezim ini berkuasa, harapan itu muncul kembali. Keberanian rezim mengambil langkah membubarkan HTI melalui Perppu dianggap sebagai kemenangan telak yang tidak pernah bisa terjadi di masa sebelumnya. Demikian pula kasus terhadap FPI. Pembunuhan enam laskar FPI, pemblokiran rekening hingga pembubaran organisasinya boleh disebut sebagai sebuah kemajuan yang luar biasa. Belum lagi penangkapan para ulama, kriminalisasi ajaran Islam, penghinaan dan penistaan agama Islam yang terus berjalan sepanjang masa pemerintahan ini menjadi bukti kemampuan dari rezim ini yang bisa menentramkan hati para pemilik modal.

            Kasus ketidakadilan dalam persidangan yang dialami IBHRS menjadi bukti nyata kemana rezim ini berpihak. Demikian pula yang terjadi pada ustadz Maher Ath Thuwaillibi, Gus Nur dan juga Ali Baharsyah.  Hingga langkah konstitusional yang diambil dengan menandatangai Perpres no 7 tahun 2021 tentang RAN PE, diaktifkannya polisi siber, pemberian Bagde Awards kepada masyarakat yang aktif membantu tugas polisi siber adalah rangkaian kebijakan yang dibuat dalam rangka mengokohkan posisi para kapital dan menghalau segala rintangan dan hambatan dari kelompok-kelompok Islam. 

            Oleh karenanya keberhasilan rezim ini menghadang gerakan radikal harus terus dipertahankan, jika ingin hegemoninya di negerinya terus terancap dengan kuat. Karenanya wacana 3 periode ini menjadi hal yang penting untuk diperjuangkan bagi mereka.

Khatimah      

Dari sini jelaslah sudah kemana sebenarnya arah rezim ini menuju. Bukan untuk kepentingan rakyat tapi lebih memperjuangkan kepentingan para elit dan pemilik modal. Polemik 3 periode ini memang harus dibaca dengan arah dan sudut pandang yang tepat dan benar. Dan memang hanya sudut pandang Islam yang mampu membacanya dan memberikan kritik dengan landasan yang sangat rasional dalam menyikapi hal ini.

Tak hanya itu Islam juga memiliki sistem alteratif pengganti dari sistem bobrok ini. Sistem Islam ini sudah terbukti selama 13 abad. Meski jabatan khalifah tak memiliki periode tertentu yang membatasinya, tetapi pembatasan dengan penerapan syariah justru mampu membawa pada keberkahan seluruh warga negara, bahkan bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Itu karena Allah meridoi tegaknya sistem ini. Apalah arti kekokohan sebuah sistem jika Allah tak meridoinya? Bukankah kita hidup di dunia untuk mencari keridoan Allah? Jadi kaum muslimin harus senantiasa berpikir dan mencari cara, bagaimana agar dalam kehidupan dunianya mereka bisa menggunakn sistem yang diridoi Allah swt. Saat diterapkan di dunia mereka mendapatkan berkah dan di akhirat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam jannah-Nya. Bukankah itu lebih menggiurkan? Jadi, mengapa kita tak segera berpaling pada sistem Islam?

 

 

 

Penulis: Kamilia Mustadjab


Posting Komentar

0 Komentar