Wacana 3 periode kian menyeruak pasca terjadinya KLB (Konggres Luar Biasa) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. Alasan lain yang juga mengemuka adalah karena mangkraknya pembangunan ibu kota baru, selain juga karena tidak direvisinya UU Pemilu. Berbagai analisa bermunculan hingga mengerucut pada kemungkinan menambah masa jabatan presiden menjadi 3 periode. Terlepas dari urgen tidaknya wacana ini, tetapi kaum muslimin tetap harus punya penyikapan yang tepat terhadap hal ini.
Sudut
pandang yang mendominasi masyarakat saat ini, melihat bahwa bekerja adalah salah
satu aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Tujuannya untuk mencari nafkah, baik
untuk menghidupi diri sendiri, keluarga inti maupun keluarga besar. Dalam bekerja, semakin tinggi kemampuan
seseorang, kian besar pula hasil yang didapatkan. Karenanya tak heran jika
terjadi persaingan yang ketat di dunia kerja untuk mendapatkan sebuah posisi
dan jabatan tertentu. Sebab tingginya jabatan berkorelasi dengan tingkat
pendapatan.
Persaingan yang terjadi di dunia kerja, kadang terjadi
proses yang memang seharusnya. Karena lamanya bekerja, pengalaman dan juga
skillnya kian bertambah, wajar bagi seseorang mendapatkan hasil lebih. Namun
kadang juga terjadi proses “main belakang” hanya karena seorang pekerja
mendapatkan katebelece dari pihak lain. Bahkan dijumpai juga persaingan itu
dilakukan dengan cara yang tidak sehat, sikut sana sini, menghasut, memfitnah
dan sebagainya. Demikianlah fenomena dunia kerja dalam sistem kapitalis
demokrasi yang menghalalkan segala cara dan memberikan berbagai kebebasan untuk
memiliki harta.
Dalam sistem demokrasi kapitalis, menjadi kepala negara atau
presiden juga salah satu bentuk dari aktivitas bekerja. Kepala negara atau
presiden digaji dengan ketetapan yang sudah diatur undang-undang. Pun demikian
dengan para wakil rakyat. Gaji tinggi; fasilitas yang sangat memadai;
bertambahnya klien, kolega, link dan jaringan; dan terbukanya kesempatan untuk
mengembangkan bisnis-bisnis baru adalah dampak ikutan yang sangat menggiurkan
bagi siapa saja. Jabatan adalah sesuatu yang menawan. Sebab secara logika, tak
ada orang yang ingin hidup miskin. Semua pasti ingin menikmati kekayaan.
Karena itu tidak pernah dijumpai ada yang merasa menyesal
telah menjadi wakil rakyat atau telah menduduki posisi-posisi strategis dalam
pemerintahan. Yang ada justru upaya yang sangat kuat untuk tetap bertahan pada
posisi tersebut, hatta masa jabatannya sudah habis. Mereka akan berlomba-lomba
untuk kembali mendapatkan posisinya meski harus kembali merogoh koceknya lebih
dalam demi kampanye yang akan menyukseskannya. Mereka juga berpikir keras dan
serius untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Bahkan mungkin harus sampai mengubah
undang-undang dan aturan yang ada demi meloloskan ambisinya.
Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan sistem Islam.
Islam membolehkan bekerja bahkan menganjurkannya untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun, Islam mengatur bagaimana cara seseorang mendapatkan harta, termasuk
harta apa yang boleh dimiliki dan tidak boleh dimiliki setiap individu. Islam
juga membedakan antara penguasa dengan pegawai pemerintahan. Tak hanya dalam
masalah pendapatannya tapi juga dari sisi motivasi, kemampuan, dan juga
tanggung jawab. Dalam Islam posisi penguasa berkorelasi penuh dengan tanggung
jawab dan amanah yang harus tertunaikan.
Terkait
penguasa (hukkam) atau kepala negara, kisah
Abu Dzar Al Ghifari yang pernah meminta jabatan kepada Rasul seharusnya cukup
menjadi pelajaran bagi kaum muslimin. Rasulullah mengatakan kepada Abu Dzar Al
Ghifari sambil menepuk pundak beliau, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah,
sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan
menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan
menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).
Demikian juga Nabi saw
melarang Adurrahman bin Samurah yang meminta jabatan kepemimpinan. Beliau bersabda,
"Jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan
dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)". (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain beliau
bersabda, "Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah
gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap
agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”.
(HR Tirmidzi). Demikiranlah Rasulullah saw menggambarkan kerakusan terhadap
jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah
segerombolan kambing.
Deskripsi Nabi saw dan
peringatannya menjadi sebab para khalifah menangis sejadi-jadinya saat didapuk
menjadi khalifah. Kisah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis dan
juga para khalifah lainnya pasca pembaitan menjadi khalifah menjadi gambaran
yang sangat jelas bahwa Islam memiliki cara pandang yang unik terhadap amanah
kepemimpinan. Korelasi yang kuat dengan penunaian amanah di dunia dan
pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat, membuat mereka berhati-hati dalam
mengelola jabatannya. Wallahu a’lam bis showwab
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar