Pemerintah bingung karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mulai limbung, utang menggunung sementara kebutuhan terus membumbung. Segala bentuk ekspektasi ekonomi yang menentramkan hati, pudar sirna saat pemerintah berencana mengeluarkan RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) yang menghapus pasal soal sembako yang tidak dikenai PPN.
Sembako dikenai pajak adalah indikasi bahwa perekonomian kita sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah sedang mengalami kesulitan likuiditas dan membutuhkan dana segar sesegera mungkin. Saat pemerintah mengambil kebijakan yang sangat tidak populer, mengorbankan kepentingan dan mendzalimi rakyat, ia harus bersiap untuk kehilangan elektabilitas dan dukungan politik rakyatnya. Mengapa pemerintah mengambil kebijakan yang merugikan popularitasnya?
Rizal Ramli, ekonom dan politikus senior Indonesia ungkap keprihatinannya terkait masalah rencana ini. “Memang pemerintah lagi panik karena kesulitan likuiditas serta penerimaan pajak rendah. Tapi kok tega-teganya kasih tambahan pajak sembako dan pada jasa pendidikan. Kayak kehilangan akal kita,” (pikiranrakyat.com,13/06/2021)
Panik dan kalap. Kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pemerintah saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat hingga akhir April 2021 defisit anggaran mencapai Rp 138,1 triliun. Defisit ini setara dengan 0,83% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini terjadi karena penerimaan negara yang tercatat Rp 585 triliun atau lebih rendah dari belanja negara yang terealisasi Rp 723 triliun hingga akhir April 2021. (cnbcindonesia, 24/5/2021)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini benar-benar bergantung kepada utang. Pada 2019 sebelum terjadinya pandemi utang neto pemerintah sebesar Rp 437,5 triliun. Kemudian, melonjak hingga Rp 1.226,8 triliun di tahun 2020. Lalu, pada 2021 outlook utang neto sebesar Rp 1.177,4 triliun.
Penambahan utang neto tahun lalu walhasil membuat akumulasi bunga utang pemerintah sebesar Rp 314,1 triliun, naik Rp 38,6 triliun dari tahun sebelumnya. Jumlah itu terus mekar. Jika dihitung sejak 2019 maka total bunga utang sebesar Rp 373,3 triliun pada 2021 atau bertambah Rp 97,8 triliun.
Bahkan di tahun 2022, pemerintah memperkirakan total bunga utang tembus Rp 417,4 triliun. Secara berurutan, beban bunga baru yang diakibatkan pembiayaan defisit APBN sejak 2020 hingga 2022 masing-masing sebesar Rp 38,2 triliun, Rp 49,6 triliun, dan Rp 45,3 triliun. (kontan.co.id,19/05/2021)
Per Februari 2021, total penerimaan negara adalah Rp 219,2 triliun. Sementara pembiayaan pembayaran utang mencapai Rp 273 triliun. Bayangkan, nilai utang yang harus dibayarkan lebih besar dibandingkan penerimaan negara. Pada 2020, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 39,36%. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan rasio ini akan membengkak menjadi 41,83% pada 2021. Pada 2025, angkanya diperkirakan sebesar 43,07%. (cnbcindonesia.com,24/03/2021)
Pada saat kran utang luar negeri sudah demikian mengerikan, pemerintah pun berupaya untuk menambah pendapatan negara dari kran lain. Diambil dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, jenis sumber pendapatan negara terbagi menjadi tiga yaitu dari pajak, non pajak dan hibah. Pajak adalah sumber pendapatan utama negara. Pajak terbagi dalam tujuh sektor, yaitu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk dan cukai. Biasanya pajak dikenakan saat seseorang sudah memiliki penghasilan dengan besaran tertentu.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak hingga akhir Maret 2021 masih terkontraksi 5,6%. Jumlahnya baru mencapai Rp 228,1 triliun atau 18,6% dari target pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 1.229,6 triliun. (detik.com,22/05/2021). Melihat perkembangan yang ada, nampaknya penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, penerimaan perpajakan per 23 Desember 2020 mencapai Rp 1.019,56 triliun atau 85,65 persen dari target APBN sebesar Rp 1.198,8 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan realisasi penerimaan pajak per 30 November 2019 sebesar Rp 1.312,4 triliun.. (kompas.com, 26/12/2020).
Sumber pendapatan negara non pajak terdiri dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengelolaan sumber daya alam, pinjaman, barang sitaan, percetakan uang atau sumbangan. Jika melihat kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah, tentu kita bisa berharap banyak pemasukan dari sektor ini. Namun nyatanya, pendapatan dari sektor ini tidak mampu menyumbang banyak.
Pada postur APBN 2021 dari total pendapatan negara sebesar Rp 1.743,6 T, pemerintah hanya mematok Rp. 298,2 T untuk penerimaan negara bukan pajak. Jauh dari target penerimaan dari sektor pajak yaitu Rp. 1.444,5 T. (kemenkeu.go.id). Mengapa? Karena BUMN yang mengelola kekayaan alam dan potensi strategis yang dibutuhkan oleh rakyat bukan milik negara dan rakyat Indonesia lagi.
Tak terhitung jumlah BUMN yang harus diprivatisasi semenjak Indonesia menandatangani perjanjian utang dengan International Monetary Fund (IMF). IMF—lembaga dengan pemangku kepentingan terbesar negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang—telah berperan besar meningkatkan utang luar negeri dan domestik Indonesia dan banyak negara lain. Kucuran utang untuk negara-negara yang nyaris bangkrut selalu diiringi dengan resep-resep Structural Adjustment Program (SAP) IMF.
Seperti pencabutan subsidi, privatisasi, perdagangan bebas dan pembatasan intervensi negara dalam ranah ekonomi.
Sejak saat itu pula, BUMN sebagai mesih uang negara dipaksa untuk privatisasi dengan dua cara yaitu strategic sales (penjualan langsung) dan go public (penjualan saham di Bursa Efek).
Indonesia kehilangan sumber pendapatan negara yang sangat potensial. BUMN itu seperti PT Semen Indonesia Tbk (masuk bursa 8 Juli 1991), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (masuk bursa 14 November 1995), PT Timah Tbk (masuk bursa 19 Oktober 1995).
PT Bank Negara Indonesia Tbk (masuk bursa 25 November 1996), PT Aneka Tambang Tbk (masuk bursa 27 November 1997), PT Indofarma Tbk (masuk bursa 17 April 2001), PT Kimia Farma Tbk (masuk bursa 4 Juli 2001), PT Bukit Asam Tbk (masuk bursa 23 Desember 2002), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (masuk bursa 15 Desember 2003), PT Adhi Karya Tbk (masuk bursa 18 Maret 2004). (detik.com, 09/04/2015). Dan masih banyak lagi. Hingga saat ini, usaha privatisasi BUMN masih berjalan.
Sekalipun Indonesia telah mampu melunasi utang kepada IMF pada tahun 2006, namun dampak resep-resep yang disodorkan IMF kala itu terus merusak tatanan ekonomi Indonesia hingga saat ini. IMF telah meletakkan dasar-dasar sistem perekonomian kapitalistik neoliberalistik, yaitu liberalisasi , deregulasi dan privatisasi. Sistem ini menciptakan jebakan utang (debt trap), pengambilalihan sumber kekayaan negara oleh perusahaan internasional (MNC) melalui privatisasi BUMN, pasar bebas yang tidak adil/seimbang sehingga kekayaan memusat kepada pemilik kapital.
Dalam mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan saat ini, sikap pemerintah persis seperti apa yang digambarkan dalam Al Qur’an yang artinya “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. “ (QS. Al Baqoroh: 275). Terbukti bahwa sistem ekonomi kapitalistik neoliberalistik yang dijalankan pemerintah saat ini hanya melahirkan kesengsaraan.
Pembangunan negara yang bergantung pada utang ribawi dan pajak hanya melahirkan ketidakadilan untuk rakyat. Rakyat menjadi sapi perah untuk sumber pendapatan negara dengan berbagai pajak yang terus dibebankan. Sementara kekayaan sumber daya alam dibiarkan dikuasai oleh pengusaha yang difasilitasi dan didukung penguasa.
Islam mengatur kehidupan negara dengan sangat sempurna. Sehingga negara bisa dibangun tanpa membebani rakyat dengan utang dan pajak. Bahkan kebutuhan dasar rakyat dijamin terpenuhi dengan baik dan gratis. Kuncinya adalah pengelolaan sumber daya alam yang amanah dan maksimal sebagai modal pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Sumber daya alam, menurut syariat Islam, termasuk dalam kepemilikan umum.
Negara hanya berhak untuk mengelola dan kemanfaatannya dikembalikan lagi kepada rakyat. Negara dilarang untuk menjual atau berbagi/mengalihkan kepemilikan kepada pihak lain. Oleh karena itu akan selalu tersedia anggaran dan dana segar untuk keperluan pemenuhan kebutuhan rakyat. []
Allaahu a’lam bishshowab.
Oleh D. Shalindri
0 Komentar