Hibah dan Imperialisme Gaya Baru



Sri Mulyani bertemu Michael Bloomberg di kantor pusat Bloomberg, New York. "Di sudut ruang kami berdiskusi berbagai hal. Tentang climate change dan persiapan pertemuan COP26 di Glasgow," kata Sri Mulyani dalam unggahan di akun Instagram resminya @smindrawati pada Senin (11/10).

Agenda ini akan menghadirkan negara-negara dunia untuk membahas upaya bersama menangani masalah perubahan iklim, terutama dari segi pendanaan dan kerja sama sektor publik dan swasta. Acara tersebut juga akan mengulas filantropis yang berkelanjutan untuk net-zero emission. Dana hibah diberikan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) melalui platform SDG’s Indonesia One (katadata.co.id, 12/10/2021).

Dilansir dari WWF, aktivitas manusia berupa penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin yang mengandung banyak polusi kimia, asap pembakaran rokok, pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan kegiatan industri merupakan pemicu dasar adanya perubahan iklim.

Demikian perhatian Bloomberg untuk ikut berpartisipasi aktif menyelesaikan masalah atau segala hal yang menjadi penyebab timbulnya perubahan iklim. Terbukti bahwa Bloomberg juga menerima dan merespon surat dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tertanggal 4 Juli 2019. Bloomberg dan organisasinya proaktif menangani polusi udara sebagai akibat tingginya proses pembakaran dengan fokus pada asap rokok.

Bloomberg pun mampu mengintervensi industri hasil tembakau nasional dengan menyarankan perubahan pada Undang-undang Penyiaran dan arahan untuk menerbitkan Seruan Gubernur (Sergub) yang langsung ditindak lanjuti Anies. Ucapan terima kasih Anies atas kerja sama dengan Bloomberg Philanthropies yang selama ini dijalin dinyatakan Anies secara lugas dalam suratnya, lalu menjelaskan target-targetnya untuk memenuhi 90% tingkat kepatuhan kawasan tanpa rokok sampai membentuk kerangka regulasi soal larangan iklan dan larangan pajang bungkus rokok.

Anies lalu merealisasikan janjinya dengan menerbitkan Seruan Gubernur 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Tanpa Rokok. Sergub itu melarang penjual rokok untuk memajang bungkus rokok pada etalasenya sebagai bentuk komitmen kepada Bloomberg Philanthropies.

Menyikapi hal ini, pengamat kebijakan publik, Dedek Prayudi menduga Sergub 8/2021 merupakan aksi cepat untuk mendapatkan dana hibah, alih-alih mengurangi prevalensi merokok. Sebab menurutnya, menutup bungkus rokok di etalase minimarket atau warung bukan cara yang efektif. 

“Pemprov DKI Jakarta harus dapat menjelaskan hal ini, apakah sudah memenuhi ketentuan hibah, kalau tidak berarti dana yang diterima ilegal. Ketentuan dana hibah ini diatur sedemikian rupa agar asing tidak sembarangan ke daerah, kalau sembarangan daerah bisa dikendalikan asing,” sambungnya.

Karena dana hibah akan membawa konsekuensi tertentu berupa intervensi kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan lembaga donor, sekelas Bloomberg Philanthropies atau Bloomberg Initiatives.Terbukti sebuah laporan Michelle Minton, Jurnalis AS yang merilis hasil investigasi pada Juni 2021 terkait keterlibatan Bloomberg Initiatives dalam mempengaruhi kebijakan cukai hasil tembakau di negara-negara berkembang.

Minton menerangkan dalam laman resmi Competitive Enterprise Institute yang melaporkan bagaimana Bloomberg mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat sipil di negara berkembang. Hal tersebut dilakukan Bloomberg demi kepentingannya lewat kampanye anti rokok.

Dalam temuannya, terdapat dokumen resmi dari Bloomberg tentang pendanaan dan strategi Campaign for Tobacco-Free Kids (CTFK) yang dilakukan di berbagai negara. Lebih dari 700 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun hibah disalurkan ke berbagai organisasi anti tembakau di seluruh dunia (suara.com, 28/6/2021).

“CTFK adalah salah satu organisasi yang didanai oleh Bloomberg, dengan misi membiayai seluruh gerakan anti tembakau di seluruh dunia. Akan tetapi, ada kepentingan perusahaan yang lebih besar di situ. Yakni mempengaruhi negara-negara berkembang untuk mengadopsi kebijakan tembakau tertentu,” tulis Minton.

Tidak heran apabila di berbagai negara berkembang di dunia, organisasi anti tembakau seolah menyatukan suara dan menuntut pemerintah untuk fokus pada kebijakan pengendalian tembakau.

Padahal pada kenyataannya, Bloomberg memiliki kepentingan sendiri. Yaitu, di mana penerima manfaat dari dana yang disalurkan itu justru akan memengaruhi pemangku kepentingan yang memegang kunci kebijakan.

Upaya "monopoli" oleh Bloomberg ini tentu mendapat resistensi dari industri rokok dan negara penghasil tembakau seperti Indonesia. Melihat tingginya resistensi tersebut, Bloomberg yang sangat dekat dengan hampir semua pejabat di Amerika Serikat, berupaya memainkan "trik" dan "kepentingannya" dalam tataran politisi AS yang kemudian dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dalih Tembakau Merusak Kesehatan.

Tujuannya jelas, merusak pasar dan konsumsi tembakau. Apabila pasar dan konsumsi tembakau sudah rusak, maka Bloomberg dapat melakukan penguasaan atas komoditas tersebut dengan seenaknya dan semaunya sendiri.

Untuk mewujudkan niatnya ini, Bloomberg tidak segan-segan mengucurkan dana miliaran dollar AS kepada perorangan, institusi dan lembaga yang bersedia melakukan "peperangan" dengan industri rokok di negaranya. Kepentingan industri rokok atas nikotin sudah jelas, sementara kepentingan industri farmasi adalah bisnis perdagangan obat yang dikenal dengan Nicotine Replacement Therapy (NRT).

WHO dan badan-badan pemerintah federal AS membuat industri farmasi berada di atas angin. Merangkul dalam hal ini adalah menjadi sponsor; mengucurkan dana untuk kepentingan kampanye anti-rokok. Pada 1998, Pharmacia Upjohn, Novartis dan Glaxo-Wellcome menjadi sponsor terbentuknya WHO Tobacco Free Initiative (TFI).

Ketiganya adalah perusahaan farmasi yang memasarkan produk produk-produk NRT. Pharmacia Upjohn menjual permen karet nikotin, koyo transdermal, semprot hidung, dan obat hirup. Novartis menjual koyo habitrol. Sedangkan, Glaxo-Wellcome menjual zyban.

Di belakang Bloomberg adalah salah satu Direktur Novartis, yaitu William R. Brody, yang juga teman dekat sekaligus penasihatnya. Melalui Bloomberg Initiative, dana mengalir ke banyak lembaga di dunia. Di Indonesia, dana itu menyebar ke organisasi non-pemerintah, instansi pemerintah, perguruan tinggi, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berikut ringkasan pemberian dan aliran dana Bloomberg di dalam negerinegeri.

Dikutip dari laman tobaccocontrolgrants.org, Bloomberg Initiative telah mengucurkan dana hingga Rp105,308 triliun ke pelbagai LSM, universitas dan kementerian, termasuk Muhammadiyah. Jumlah uang yang diberikan bervariasi, tergantung bentuk kampanye yang dilakukan masing-masing lembaga (merdeka.com, 23/8/2016).

Di antara lembaga yang menerima dana dari Bloomberg Initiative adalah Forum Warga Jakarta Rp9.344.551.888, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rp10.584.425.691. Selain itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rp11.247.480.827 dan Muhammadiyah Rp1.821.768.052 serta beberapa lembaga lainnya termasuk kampus dan LSM.

Lembaga donor semacam Bloomberg Initiative, jika mau membantu sektor kesehatan. Semestinya yang dikedepankan itu promo fasilitas kesehatan publik dan sanitasi, bukan kemudian habis-habisan mengampanyekan sisi negatif tembakau.

Jika kondisi demikian yang terjadi, maka ada kepentingan utama tetap memenangkan persaingan harga antara produk-produk tembakau dengan produk-produk obat-obat pengganti nikotin dari korporasi-korporasi farmasi internasional yang sama-sama menjual nikotin.

Mengutip data World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025, memprediksi dalam 15 tahun ke depan, pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT akan meningkat. Peningkatan tersebut berasal dari kelompok negara-negara BRIC, yakni Brazil, Rusia, India, China dan Indonesia.

Hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini. Tetapi, kelompok negara ini termasuk berpendapatan per kapita rendah, hingga daya beli terhadap obat-obat NRT yang relatif mahal itu saat ini masih rendah.

Terdapat kepentingan dari kelompok anti tembakau mendorong agar harga rokok di Indonesia mencapai Rp50-RP100 ribu. Harga ini memang mendekati produk NRT yang saat ini beredar di pasar di kisaran harga Rp58 ribu sehingga produk NRT bisa kompetitif dengan harga rokok.

Berdasarkan pemaparan fakta di atas, maka dapat dipastikan jika pertemuan Sri Mulyani Indrawati dan surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Bloomberg memberikan sinyalemen bahwa betapa Indonesia sedang getol memburu dana hibah dari konglomerat media tersebut. Meski harus berdampak pada intervensi kebijakan dalam negeri sebagai bentuk kompensasi.

Benar saja, jika sistem hari ini telah mengkooptasi dan menyandera kepentingan Negara. Bahwa kampanye yang gencar dilakukan pegiat anti tembakau di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia bukanlah bentuk pembelaan terhadap penyelamatan kesehatan, udara bersih dan menciptakan iklim yang lebih kondusif. Namun, semua itu demi kepentingan korporatokrasi.

Inilah watak sesungguhnya dari kapitalisme, sebuah sistem yang rakus dengan metode penjajahan dalam wujud hibah untuk menghancurkan rakyat secara pasti dan berkesinambungan. Maka mengapa rakyat masih menaruh harapan pada sistem yang menaunginya hari ini?

Bukankah sepanjang sejarah eksistensi kapitalisme nyata menggerogoti apapun dan siapapun untuk menumpuk kekayaan dan melanggengkan kekuasaan serta penjajahan mereka terhadap umat.

Olehnya, hibah merupakan bentuk dari dikte asing kepada negeri-negeri kaum Muslim. Bloomberg Philanthropies adalah representasi dari wajah kapitalisme yang berbalut perlindungan kesehatan bagi umat manusia yang sebenarnya hanya sedang membangun strategi bisnis yang sustainable demi menumpuk kekayaan, wallahu a'lam bishawab.


Oleh Rabihah Pananrangi

Posting Komentar

0 Komentar