Perjuangan penghapusan ambang batas Presiden atau Presidential Threshold (PT) nol persen terus digalakkan. Ini merupakan upaya untuk menghasilkan pemimpin negara yang "benar” menurut sistem demokrasi.
Direktur Indo Strategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam menilai penghapusan PT penting dilakukan baik lewat gugatan MK, maupun melalui revisi UU Pemilu. Ia beralasan, penghapusan PT akan membuat kandidat tidak tersandera oligarki parpol untuk maju dalam pilpres mendatang (tirto.id, 15/12/2021).
Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Direktur Pengembangan Kesetaraan dan Studi Globalisasi Northwestern University Amerika Serikat, Jeffrey Winters. Dia menyebutkan bahwa dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki (elit) dengan kepentingan kekuasaan.
Oligarki mengusung PT 20 persen agar ada ketergantungan pada partai besar. Partai dengan suara minim justru akan berebut untuk bisa bergabung dengan partai seperti PDIP dan Gerindra. Sedangkan, partai dengan suara kecil tidak punya kesempatan mengusung calon presiden dan wakil presiden atau memunculkan tokoh alternatif lainnya.
Dosen komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Kunto A. Wibowo menilai ambang batas presiden ini adalah bagian dari strategi pemenangan partai besar. Oleh karena itu, sulit bagi partai besar mendukung penghapusan atau penurunan ambang batas presiden. Kecuali, ada benefit yang diperoleh dari penurunan ambang batas itu.
PT menjadi nol persen kembali menjadi perbincangan hangat dengan tujuan agar dapat meminimalisasi polarisasi politik. PT yang mencapai 20-25 persen, sarat pertarungan kepentingan oligarki politik. Sebab, syarat tersebut membuat partai politik melakukan konsolidasi besar-besaran dan keterlibatan penuh para pemodal amat dibutuhkan.
Jika PT turun atau dihapus, maka setidaknya ada lima skenario paslon yang akan maju dengan struktur 5 faksi besar, yakni faksi Cikeas, faksi Golkar, faksi Teuku Umar, faksi JK dan faksi Jokowi. Kelima faksi besar ini bisa saja saling bergabung dalam menghadapi pilpres mendatang.
Dari sinilah oligarki politik terbentuk dan bertarung. Jika berkuasa, mereka bisa menjadi pressure group ke Presiden terpilih. Oligarki politik pun jadi tumbuh subur, Ini menjadi ciri khas demokrasi.
Hal itu dianggap menjadi ironi dalam sistem demokrasi. Karena di satu sisi partai politik didorong melakukan kaderisasi, tetapi kader-kader terbaik seringkali tidak bisa maju karena terhambat oleh persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.
Selain itu, kebijakan partai yang tersentralisasi dan tidak demokratis ditambah biaya pencalonan presiden (capres) yang besar, dinilai memberikan jalan kekuasaan bagi pemilik modal. Bahkan, menurut gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk capres diperlukan dana sebesar Rp 8 triliun (kumparan.com, 3/12/2021).
Meskipun, Pelaksana tugas Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum), Ilham Saputra saat menggelar rapat dengan Kemendagri, Bawaslu, DKPP dan Komisi II DPR RI, menyatakan bahwa dana penyelenggaraan pemilu telah dialokasikan dari APBN dengan total Rp86 triliun (cnnindonesia.com,15/3/2021).
Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat). Melihat hitungan biaya politik yang mahal dengan modal awal yang besar, orientasi dari kekuasaan yang dimiliki nantinya bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Pun kehadiran dan kontribusi pemodal menjadi kunci kesuksesan dalam meraih kekuasaan.
Mengapa keterlibatan oligarki amat dibutuhkan, karena keseluruhan proses pemilihan dalam sistem demokrasi mutlak memerlukan sokongan modal. Bahkan, kemenangan partai besar yang menjadi pengusung utama PT 20 persen, erat kaitannya dengan persekongkolan jahat antara partai, pemodal dan pemilih.
Menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengadakan survei tentang Pemilu 2019 di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen. Mereka menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Beberapa permasalahan yang ditemukan, membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019, yaitu: terdapat celah regulasi yang menyebabkan subjek hukum dapat lolos dari jeratan Undang-Undang.
Pertama, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secara tegas ((UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 228 UU Pemilu). Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan sarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak pernah sesuai dengan harapan.
Kedua, budaya politik uang mengakar kuat dalam sistem pemilu di Indonesia. Karena ongkos pencalonan yang memerlukan modal triliunan merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Maka, regulasi yang dihasilkan pun mutlak memihak kepada pemodal. Inilah alasan mengapa regulasi sengaja dibuat celah karena sesuai dengan pesanan oligarki.
Bukankah setiap capres membutuhkan dana minimal Rp8 triliun untuk mendanai pencapresan mereka? Oleh sebab itu, mempertahankan PT 20 persen adalah langkah strategis untuk memperoleh benefit yang berkepanjangan bagi oligarki dan memastikan bahwa kemenangan dalam kompetisi politik mutlak adanya bagi mereka. Demikianlah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemenangan dalam sistem demokrasi.
Ketiga, penetapan ambang batas yang mengakibatkan tendensi partai politik melakukan negosiasi dan persekongkolan jahat dengan pemodal yang pada akhirnya mereka menguasai eksekutif dan legislatif. Ambang batas ini pula yang memberi kebebasan bagi oligarki untuk menancapkan dominasinya pada semua level kekuasaan.
Sistem politik demokrasi juga rawan dari campur tangan asing yang memiliki modal yang nyaris tidak terbatas. Melalui boneka-boneka mereka yang ikut berkontestasi, negara-negara imperialis asing mendukung penuh calon unggulan yang bisa mereka kendalikan.
Situasi ini telah berlangsung sepanjang sejarah pemilihan pemimpin Indonesia yang notabene dikendalikan oleh pemodal atau penjajah asing. Olehnya, tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali cut off kejahatan, mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam yang sudah teruji selama 13 abad menyejahterakan kaum Muslim di berbagai belahan dunia .
Sudah seharusnya kaum Muslim kembali ke sistem politik Islam yang memangkas berbagai keburukan dan kejahatan. Syariat Islam jelas mengharamkan suap-menyuap, apalagi pemufakatan jahat yang dipopulerkan dengan istilah ambang batas atau presidential threshold yang motif utamanya melanggengkan kekuasaan oligarki.
Sistem politik Islam adalah sistem politik yang berbiaya murah. Khalifah (kepala negara) misalnya, dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam). Jadi, tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi.
Pemilihan Khalifah pun tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Kepala daerah pun dipilih oleh Khalifah kapan saja dan boleh diberhentikan kapan saja. Jadi, negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan tentu saja uang.
Namun demikian, tidak perlu khawatir Khalifah akan menjadi diktator. Pasalnya, dalam Islam mengoreksi Khalifah yang menyimpang bukan hanya hak, tetapi kewajiban rakyat. Karena itu, rakyat diberikan ruang untuk mengoreksi kebijakan Khalifah yang keliru.
Terdapat pula Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini akan mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa. Memang tugas ini sangat berat, karena melibatkan pembuat kebijakan. Ketika kebijakan yang dilakukan penguasa dianggap menzalimi rakyat.
Bahkan, Dr. Raghib as-Sirjani menuturkan bahwa tugas mereka tidak hanya sebatas itu. Tetapi, juga menghentikan keangkuhan sikap serta kecurangan penguasa terhadap rakyatnya. Mereka juga bertugas memeriksa para sekretaris negara terkait tugas yang diserahkan kepada mereka.
Semisal, jatah para pasukan yang dikurangi, terlambat, atau kelalaian dalam memberikan perhatian yang semestinya. Mereka juga ditugaskan untuk mengembalikan harta rakyat yang dirampas serta mengkaji dan mengadili kebijakan penguasa.
Dengan sistem politik Islam, dominasi oligarki dalam pembuatan UU yang berbahaya yang bisa menjadi jalan legal untuk menguasai negeri Muslim pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan itu ada ditangan hukum syara’. Karena itu pemodal yang punya banyak kepentingan tidak bisa mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi.
Dalam Islam, sumber hukumnya sudah jelas, yaitu al-Quran dan as-Sunnah dan fungsi Khalifah adalah menerapkan syariat Islam dan meng-istinbât hukum-hukum Islam yang berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Namun ada pertanyaan yang menggelitik, sudahkah umat siap mencampakkan politik oligarki dan sistem demokrasi? Wallahu’alam bish Shawab./
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar